Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berbhineka. Kebhinekaan ini patut disyukuri dengan cara saling menghargai perbedaan dan keragaman, bukan saling cela, apalagi unjuk kekuatan.
semarak.co-“Mari bersyukur atas kebhinekaan kita dan merawatnya dengan penuh kebahagiaan dan sukacita. Indonesia milik kita, tidak boleh ada kelompok orang yang merasa hebat lalu unjuk kekuatan dengan tidak menghormati aturan yang ada,” ungkap Menag saat membuka Munas Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta, Senin (23/11/2020).
Itu bukan gaya masyarakat Indonesia, lnjut Menag, dan bisa merusak sendi kehidupan berbangsa. “Mari tunjukkan akhlak mulia yang diajarkan setiap agama,” sambung Menang dalam rilis Humas Kemenag melalui WAGroup Jurnalis Kemenag, Rabu (25/11/2020).
Semua agama di Indonesia tidak mengajarkan gaya-gaya yang arogan dan unjuk kekuatan. Semua agama mengajarkan kesantunan dan ahlak terpuji. Menjadi pemimpin adalah amanah dan tidak seharusnya melakukan tindakan provokatif. “Ajak umat untuk bersama, bergandengan tangan menjaga NKRI dan kebhinekaan Indonesia,” jelasnya.
Penduduk Indonesia saat ini mencapai 270 juta. Seberapapun besar jumlah anggota organisasi di negeri ini, tidak lebih besar dari jumlah penduduk Indonesia. Kalau ada organisasi yang memiliki anggota hingga 1 juta misalnya, masih ada banyak organisasi lain yang anggotanya juga tidak kalah banyak.
“Jumlah yang ada bukan untuk unjuk kekuatan, tapi untuk dioptimalkan dalam meneguhkan cinta kedamaian dan ketenangan dalam negara NKRI ini. Jangan teriakkan hal-hal yang memicu sentimen keagamaan dan pemahaman agama. Mari kedepankan keteladanan untuk tegaskan persatuan,” pesan Menag.
Di bagian lain, Kementerian Agama (Kemenag) RI sedang menggodok rencana penyiapan naskah khutbah Jumat. Naskah yang disiapkan diharapkan bisa menjadi alternatif para Khatib Jumat saat akan menyampaikan khutbah.
Staf Khusus Menteri Agama (Menag) Kevin Haikal mengatakan, penyusunan naskah khutbah Jumat semata-mata dengan tujuan memperkaya khazanah bagi para Khatib, bukan menunjukkan ketakutan berlebihan atau paranoid.
“Apalagi dianggap sebagai bentuk ketidakpercayaan kepada para ulama, kiai atau habaib. Penyusunan naskah khutbah ini pun melibatkan mereka, para ulama, kyai, dan habaib,” terang Kevin di Jakarta, Kamis (26/11/2020) dalam rilis Humas Kemenag melalui WAGroup Jurnalis Kemenag.
Menurut Kevin, naskah khutbah Jumat disusun untuk menjadi referensi tambahan bagi para khatib, utamanya bagi mereka yang membutuhkan. Sifatnya alternatif, sehingga tidak ada keharusan menggunakannya.
Hal ini penting ditegaskan, lanjut Kevin, karena memang ada beberapa negara, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab yang mengatur ketat materi ceramah yang disampaikan khatib. Bahkan, teksnya juga disediakan pemerintah setempat.
“Naskah-naskah yang disiapkan Kemenag bukan sesuatu yang mengikat atau wajib dibaca khatib saat khutbah seperti di negara-negara tadi. Menag Fachrul Razi menyatakan kita tidak ingin menerapkan hal seperti itu di Indonesia. Ruang ekspresi para khatib di atas mimbar tidak dibatasi,” tuturnya.
Kemenag menyiapkan naskah khutbah sebagai opsi jika dibutuhkan, kata dia, sekaligus guna memperkaya khazanah keislaman utamanya yang berkenaan dengan tema-tema terkait dinamika keberagamaan, sosial, dan persoalan ekonomi umat masa kini.
Materi yang disiapkan, menurut Kevin, diproses melalui tahapan kajian yang panjang dengan melibatkan ulama, pakar, praktisi, dan akademisi. Selain merespon perkembangan zaman, materi khutbah juga mengandung pesan wasathiyah atau moderasi beragama.
Sumber rujukan yang digunakan juga otoritatif dengan penjelasan yang komprehensif. “Jadi penilaian bahwa pemerintah paranoid apalagi tidak percaya kepada para ulama jelas tidak berdasar dan mengada-ada,” tegasnya.
Ini perlu diluruskan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dan kegaduhan di masyarakat, lanjutdia, jangan sampai di salah tafsirkan. “Kemenag membuka diri bagi siapa saja yang ingin memahami lebih jauh tentang program ini untuk bertabayyun atau klarifikasi,” ujarnya.
Jangan kemudian belum memahami tujuan dari program ini, pinta dia, kemudian bicara kepada publik dengan tafsirnya sendiri seolah-olah paham dan mengerti. “Padahal, dia salah dalam menerjemahkan maksud dan tujuan dari kegiatan tersebut,” sindirnya.
Kevin menambahkan, gagasan sejenis ini sebelumnya juga digulirkan oleh Bawaslu RI. Saat Pilkada serentak 2018, Bawaslu menyampaikan agar masjid jangan dijadikan sebagai mimbar politik dan diisi dengan muatan-muatan negatif.
Khutbah harus diisi dengan sesuatu yang menentramkan. Untuk itu, Bawaslu saat itu mengajak pemuka agama untuk bersama-sama menyusun kurikulum materi khutbah yang jauh dari politik, suku, ras, dan agama. (smr)