Tak Terelakkan Lagi, Indonesia Resesi karena Ekonomi Triwulan III-2020 Minus 3,49%, Ini 6 Penyebabnya

ilustrasi resesi ekonomi satu negara. foto: akuratnews.com

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III-2020 mengalami kontraksi atau minus 3,49% year on year (yoy). Dengan demikian, Indonesia resmi mengalami resesi seperti yang sudah dialami berbagai negara terdampak COVID-19, karena selama dua triwulan berturut-turut mengalami pertumbuhan negatif.

semarak.co-Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, BPS juga mencatat terjadi kontraksi dalam perekonomian Indonesia pada triwulan II-2020. Atau tumbuh minus 5,32% pada triwulan II-2020 karena pandemi COVID-19 telah membatasi aktivitas ekonomi.

Bacaan Lainnya

“Meski mengalami pertumbuhan negatif, namun secara kuartal (qtq) ekonomi mengalami kenaikan sebesar 5,05 persen pada triwulan III-2020, yang memperlihatkan adanya tanda-tanda pemulihan yang signifikan,” ujar Suhariyanto dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (5/11/2020).

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada sesi pertama perdagangan saham Kamis (5/11/2020) ditutup menguat, meski Indonesia resmi mengalami resesi per hari ini.

IHSG sesi pertama ditutup naik 94,49 poin atau 1,85 persen ke posisi 5.199,69. Sementara kelompok 45 saham unggulan atau Indeks LQ45 bergerak turun 21,08 poin atau 2,7 persen menjadi 802,21.

Analis Bina Artha Sekuritas M Nafan Aji Gusta mengatakan, market mengapresiasi terjadinya recovery perekonomian di Tanah Air. “Secara kuartalan, sudah mulai terjadi recovery,” kata Aji di Jakarta, Kamis (5/11/2020).

​​​​​Dari eksternal, lanjut Aji, pelaksanaan pemilu di Amerika Serikat yang berlangsung dengan sangat demokratis juga memengaruhi pergerakan IHSG. “Market juga menanti hasil rapat The Fed dalam rangka mempertahankan tingkat suku bunga acuan sebesar 0,25 persen,” ujar Aji.

Dibuka naik, IHSG relatif nyaman bergerak di teritori positif pada sesi pertama perdagangan saham. Secara sektoral pada pukul 11.30 WIB seluruh sektor meningkat dengan  sektor infrastruktur naik paling tinggi yaitu 3,71 persen, diikuti sektor industri dasar dan sektor keuangan masing-masing 2,42 persen dan 2,15 persen.

Penutupan IHSG sesi pertama diiringi aksi beli saham oleh investor asing yang ditunjukkan dengan jumlah beli bersih asing atau net foreign buy sebesar Rp201,04 miliar.

Frekuensi perdagangan saham tercatat sebanyak 480.382 kali transaksi dengan jumlah saham yang diperdagangkan sebanyak 7,59 miliar lembar saham senilai Rp4,72 triliun. Sebanyak 277 saham naik, 139 saham menurun, dan 164 saham tidak bergerak nilainya.

Sementara itu, bursa saham regional Asia siang ini antara lain Indeks Nikkei menguat 356,53 poin atau 1,5 persen ke 24.051,76, Indeks Hang Seng naik 624,42 poin atau 2,51 persen ke 25.510,56, dan Indeks Straits Times meningkat 58,06 poin atau 2,31 ke 2.574,04.

Memang selain Indonesia, beberapa negara lain juga telah mengalami resesi. Di antaranya, Amerika Serikat, Singapura, Korea Selatan, Australia, Uni Eropa, hingga Hong Kong.

Berbagai kebijakan yang dilakukan untuk menekan penyebaran virus Covid-19, seperti penutupan sekolah dan beberapa kegiatan bisnis, pembatasan sosial berskala besar, bahkan lockdown wilayah yang mengakibatkan penurunan tingkat konsumsi dan investasi.

Resesi sendiri adalah hasil, resultansi dari ekonomi yang menciut. Ekonomi bisa menciut karena penurunan aktivitas dunia usaha dan rumah tangga. Dari sisi dunia usaha, PSBB membuat proses produksi terganggu karena belum semua karyawan bisa pergi ke kantor.

Apalagi kalau ada kasus positif, kantor atau pabrik wajib ditutup sementara. Sementara aktivitas masyarakat yang terbatas dan bahkan sebagian masih di rumah saja membuat penjualan menurun.

Berdasarkan laporan Analisis Hasil Survei Dampak Covid-19 terhadap Pelaku Usaha keluaran BPS dari 34.559 unit usaha yang disurvei nyaris 83 persen mengaku mengalami penurunan pendapatan.

Unit Usaha Kecil (UMK) ternyata lebih terpukul ketimbang yang pengusaha besar. Sebanyak 84,2% pelaku UMK mengaku mengalami penurunan pendapatan, sementara di Unit Usaha Besar (UMB) adalah 92,29%.

Ini membuat dunia usaha kelimpungan untuk mempertahankan bisnisnya. Salah satu upaya yang ditempuh agar perusahaan tetap hidup adalah efisiensi dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Saat ini, jumlah pengangguran bertambah naik setiap harinya. Angka pengangguran saat ini tujuh juta, angkatan kerja 2,5 juta dan korban PHK tujuh juta. Total 16,5 juta pengangguran.

Di tengah ancaman tsunami PHK, rumah tangga memilih untuk meningkatkan tabungan untuk jaga-jaga menghadapi situasi terburuk. Konsumsi pun dikurangi, yang kemudian semakin menurunkan permintaan yang sudah rendah.

Bank Indonesia (BI) mencatat, pada Agustus 2020 konsumen mengalokasikan 20,42 persen pendapatan mereka untuk ditabung. Angka ini menjadi yang tertinggi sejak Desember 2018.

Dalam situasi ekonomi yang tidak pasti, seperti resesi, masyarakat tentu berpandangan bahwa langkah terbaik adalah menabung. Ya itu tadi, Selamatkan Diri Masing-masing (SDM), harus berjaga-jaga kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti PHK.

Namun kalau uang masyarakat terkumpul di bank, maka tinggal sedikit yang tersisa untuk berputar di sektor riil. Pada akhirnya peningkatan jumlah tabungan akan menciptakan paradoks, yaitu membuat resesi menjadi semakin dalam. Semakin banyak pengusaha yang tumbang, semakin banyak pekerja yang menjadi korban PHK.

Resesi ekonomi Indonesia pun bukan sesuatu yang mengejutkan. Alasannya, sejak awal tim ekonomi pemerintahan Presiden Jokowi tidak memiliki terobosan dalam membangkitkan perekonomian yang tengah terpuruk ini.

“Ini sudah diperkirakan sejak awal 2020 karena kebijakan ekonomi super-konservatif dan neoliberal yang sudah gagal. Jadi apakan akan dilakukan dengan mengulangi cara yang sama padahal g telah berulang kali gagal. Atau mengubah strategi dan memecat menteri neoliberal dan KKN,” lontar Rizal Ramli.

Namun, sebab-sebab resesi ekonomi sendiri sudah didefinisikan National Bureau of Economic Research (NBER) atau Biro Nasional Penelitian Ekonomi Amerika Serikat.

Menurut NBER, resesi yaitu penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi yang tersebar di seluruh perekonomian, berlangsung lebih dari beberapa bulan, yang biasanya terlihat dalam Produk Domestik Bruto (PDB) yang riil, lapangan kerja, produksi industri, dan penjualan grosir-eceran. (net/smr).

Berikut sebab-sebab umum terjadinya resesi sesuai riset NBER:

  1. Guncangan Ekonomi Secara Tiba-Tiba :

Maksudnya, masalah kejutan yang menimbulkan kerusakan finansial yang serius. Salah satu contohnya wabah virus Covid-19 yang mematikan ekonomi di seluruh dunia.

  1. Hutang yang Berlebihan :

Maksudnya ketika individu atau bisnis memiliki terlalu banyak utang, biaya untuk membayar utang dapat meningkat ke titik dimana mereka tidak dapat membayar tagihan mereka. Meningkatnya utang dan kebangkrutan dapat membalikkan perekonomian.

  1. Inflasi Terlalu Tinggi :

Inflasi adalah tren harga yang stabil dan naik dari waktu ke waktu. Inflasi bukanlah hal yang buruk, tetapi inflasi yang berlebihan adalah fenomena yang berbahaya.

  1. Deflasi Berlebihan

Meskipun inflasi yang tak terkendali dapat menyebabkan resesi, deflasi juga bisa menjadi lebih buruk. Deflasi adalah saat harga turun dari waktu ke waktu, yang menyebabkan upah menyusut, yang selanjutnya menekan harga. Ketika lingkaran umpan balik deflasi lepas kendali, orang dan bisnis berhenti mengeluarkan uang sehingga merusak ekonomi.

  1. Perubahan Teknologi

Penemuan baru teknologi dapat meningkatkan produktivitas dan membantu perekonomian dalam jangka panjang. Namun, kemungkinan ada periode penyesuaian jangka pendek untuk terobosan teknologi. Saat ini beberapa ekonom khawatir bahwa Artificial Intelligence (AI) dan robot dapat menyebabkan resesi lantaran pekerja kehilangan mata pencaharian.

  1. Gelembung Aset

Yakni ketika keputusan investasi didorong oleh emosi, hasil ekonomi yang buruk akan segera terjadi. Investor bisa menjadi terlalu optimis jika perekonomian kuat. Gelembung asset biasa disebabkan kegembiraan irasional” dalam menggambarkan keuntungan besar di pasar saham.

Kegembiraan irasional menggelembungkan pasar saham atau gelembung real estat. Ketika gelembung meletus memicu panic selling yang dapat menghancurkan pasar sehingga menyebabkan resesi.

 

sumber: akuratnews.com di WA Group Baznas Media Center/indopos.co.id

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *