Maraknya aksi unjukrasa berbagai elemen masyarakat yang menolak disahkannya UU Cipta Kerja (Omnibus Law) hampir di semua kota di Indonesia membuat Koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak) Lieus Sungkharisma angkat suara.
semarak.co– KomTak menilai, apalagi setelah aksi penolakan itu berdampak pada timbulnya kerugian moral dan material yang tidak sedikit. UU Cipta Kerja itu memang terkesan terlalu tergesa-gesa disahkan sementara sosialisasinya sangat minim.
Padahal, kata Lieus, di dalam 1000 halaman lebih draft RUU yang terdiri dari sebelas cluster itu, seperti menyangkut perumahan, perkebunan, pertambangan, peternakan, transportasi, energy, buruh/pekerja, pendidikan bahkan label halal dan lain-lain, masih banyak pasal-pasal yang kontroversial, tidak jelas dan multifatsir.
“Jadi pengesahan UU ini sangat terburu-buru, sementara tak ada penjelasan yang memadai baik dari pemerintah maupun DPR kepada rakyat. Wajar saja kalau rakyat kemudian menolak,” kata Lieus dalam rilis yang diterima www.semarak.co, Jumat (9/10/2020).
Sependapat dengan NU, Muhammadiyah, dan tokoh yang menolak disahkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja oleh DPR dan pemerintah, pada Senin (5/10/2020), Lieus mengatakan, tanpa sosialisasi yang memadai, wajarlah kalau masyarakat berpendapat UU ini memang berpotensi mengancam dan merampas ruang hidup.
Apalagi, tambah Lieus, hingga hari ini setidaknya sudah ada enam gubernur dan sejumlah bupati/walikota serta lembaga DPRD yang juga menolak UU itu. “Seharusnya penolakan ini menjadi masukan pada pemerintah untuk mengevaluasi substansi dari UU Omnibus ini,” katanya.
Karena itu Lieus meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak buru-buru melaksanakan UU ini. “Presiden Jokowi bisa mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti UU). Beliau pun bisa membatalkan UU yang menjadi usulannya ini. Jadi presiden harus dengerin aspirasi rakyat,” desak Lieus.
Pembatalan ini, nilai dia, tentu saja demi kepentingan yang lebih besar, yakni kemaslahatan bangsa dan negara ini. Untuk naskah UU setebal 1000 halaman lebih, yang mengatur banyak sekali persoalan di dalamnya, lanjut dia, adalah sangat musykil dibahas hanya dalam beberapa bulan.
“Tapi DPR justru membahasnya dalam beberapa bulan saja. Entah apa yang mereka kejar. Sebuah UU yang dibuat untuk kepentingan rakyat banyak, kok dikerjakan seperti supir angkot ngejar target setoran,” sindirnya.
Yang membuat Lieus semakin kesal, akibat UU itu, kini tudingan masyarakat semakin deras diarahkan pada para pengusaha Tionghoa. Dimana seakan-akan UU itu pesanan para pengusaha Tionghoa.
Padahal tidak semua pengusaha Tionghoa setuju dengan UU itu. Tapi setiap kali ada masalah di negeri ini, kita orang Tionghoa yang jadi sasaran kemarahan. “Padahal tidak semua pengusaha Tionghoa setuju dengan UU itu,” tambahnya.
Maka, kata Lieus, untuk meredam aksi yang lebih besar, pilihan terbaik bagi Jokowi membatalkan UU kontroversial ini. Tarik UU Omnibus Law Cipta Kerja itu dan bahas lagi dengan suasana yang lebih tenang dan waktu yang lebih panjang.
“Saya berharap Presiden Jokowi bersedia membuka mata dan telinganya untuk mendengar aspirasi rakyat,” ujar Lieus. (smr)