Oleh Hersubeno Arief
semarak.co– Siapapun yang berniat menjadi presiden, mulai sekarang harus mewaspadai Ganjar Pranowo. Termasuk internal PDIP yang berminat menjadi penerus Jokowi. Dia bakal menjadi penantang yang cukup serius.
Bila kita jeli mengamatinya, mesin politik Gubernur Jawa Tengah ini sudah mulai bekerja. Bukan lagi sekedar dipanaskan.
Silakan perhatikan aktivitasnya di media sosial. Sangat aktif.
Mulai dari bertemu warga, sidak ke berbagai aktivitas perkantoran, inspeksi jalan, sampai aksinya turun dari mobil, mengatur lalu lintas, ketika terjadi kemacetan.
Di musim pandemi Corona, Ganjar juga terlihat eksis. Dia bahkan tak sungkan menjadi host di channel akun youtubenya. Mewawancarai virolog, tenaga medis Dll
Tampil super santai. Mengenakan kaos oblong dengan tulisan “Bersama Lawan Corona.” Memakai sarung kain batik dan hanya mengenakan sandal kulit. Sangat informal.
Beberapa hari berselang Ganjar juga terlihat terjun langsung ke Bandara Ahmad Yani, Semarang. Dia memberi petunjuk teknis secara detil agar calon penumpang diatur tidak bergerombol.
Kesan yang ingin dibangun, Ganjar sangat responsif dan merakyat. Tak segan turun tangan langsung ke lapangan.
Barangkali karena aktivitasnya itu lembaga survei Indikator Politik menyebut Ganjar sebagai kepala daerah yang elektabilitas naik di tengah pandemi.
Pada Februari 2020 elektabilitas berada di 9,1 persen. Pada Mei 2020, naik menjadi 11,8 persen. Sebagai capres, dia berada di posisi kedua setelah Prabowo yang elektabilitasnya anjlok dari 22,2 persen menjadi hanya 14,1 persen.
Sebaliknya Gubernur DKI Anies Baswedan yang kiprahnya menangani pandemi dipuji komunitas internasional, elektablitasnya malah turun. Dari semula 12,1 persen menjadi 10,4 persen pada Mei 2020.
Itu kalau kita percaya dengan data yang dilansir oleh Indikator Politik. Sebab survei lembaga lain menunjukkan angka sebaliknya.
Survei Indobarometer pada akhir Februari melansir data elektabilitas Gubernur DKI Anies Baswedan paling tinggi. Sangat jauh dibandingkan kepala daerah di Jawa. Termasuk Gubernur Jabar Ridwan Kamil dan Gubernur Jatim Khofifah.
Dia menjadi kepala daerah terkuat sebagai capres. Angkanya 31,7 persen. Sementara Ganjar yang berada di urutan kedua angkanya terpaut sangat jauh, hanya 11,8 persen.
Lembaga survei Median merilis data akhir April lalu menempatkan Anies sebagai gubernur yang paling jitu menangani Corona.
Angkanya juga jauh di atas Ganjar. Selisih lebih dari satu digit. Anies Baswedan 24,1 persen, sementara Ganjar hanya 9,6 persen.
Biasanya kepuasan atas kinerja, berbanding lurus dengan elektabilitas.
Tapi biarlah itu menjadi urusan lembaga survei. Sejauh ini toh publik sudah sama-sama maklum, lembaga survei banyak digunakan sebagai bagian dari strategi pemenangan.
Yang bisa kita simpulkan saat ini, Ganjar dan timnya, atau setidaknya sekelompok orang yang menjagokannya, sedang serius bekerja.
Mereka tampaknya sangat menyadari bencana pandemi Covid bisa berubah menjadi bencana politik. Tak ada salahnya bergerak cepat, tanpa harus menunggu Pilpres 2024. Jangan sampai terlambat.
(Meniru track Jokowi)
Bagaimana kira-kira skenario yang disiapkan untuk Ganjar?
Kalau kita amati cara mainnya tidak akan beda jauh dengan kemunculan Jokowi pada Pilpres 2014.
Tracknya akan sama, namun dengan berbagai modifikasi dan berbagai penyesuaian.
Saat itu sebagai Ketua Umum PDIP Megawati menginginkan kembali maju Pilpres. Namun Megawati dikepung dan dibombardir dengan hasil survei, opini pengamat, dan pemberitaan media.
Megawati difait-accomply bila PDIP ingin memenangkan pemilu sekaligus memenangkan pilpres, maka Jokowi lah yang harus dicalonkan. Bukan dia.
Megawati yang biasanya kukuh pada pendirian, berani menentang arus, akhirnya tunduk juga. Dia menyerahkan tiket ke Jokowi.
Capres yang diusung PDIP itu menang Pilpres 2014, tapi suara PDIP kendati menjadi partai pemenang, tidak melonjak seperti yang digembar-gemborkan pengamat dan lembaga survei.
Celakanya dalam perjalanan waktu, Jokowi juga tidak sepenuhnya berada dalam kendali PDIP. Ibarat kata dia yang menanam, orang lain yang panen raya.
Megawati terpaksa harus sering mengingatkan bahwa Jokowi adalah “petugas partai.”
Skenario serupa bisa kembali digunakan Ganjar. Sampai sejauh ini naga-naganya Megawati ingin mengajukan putrinya Puan Maharani. Dia disebut-sebut akan dipasangkan sebagai cawapres Prabowo Subianto.
Keinginan yang sangat wajar bila Megawati tetap ingin mempertahankan trah Soekarno dalam tampuk kekuasaan nasional. Apalagi sebagai Ketua umum partai, dia sudah memegang tiket. Mosok harus diserahkan ke orang lain.
Tragedi pencalonan pada Pilpres 2014, jangan sampai kembali terulang.
Masalahnya berbeda dengan Megawati, figur Puan tidak sekuat ibunya. Berbagai lembaga survei juga tidak pernah menempatkan nama Ketua DPR itu sebagai kandidat yang diperhitungkan.
Sangat mudah bagi siapapun, termasuk Ganjar dan timnya untuk mendowngrade dan kemudian menyingkirkan Puan dari perebutan tiket yang dimiliki PDIP.
Sementara figur Prabowo yang bakal dipasangkan dengan Puan juga tidak kuat-kuat amat. Benar saat ini dia termasuk kandidat dengan elektabilitas yang tinggi, namun dengan trend yang terus menurun.
Bila benar Ganjar yang akhirnya mendapat tiket PDIP, maka dia akan menjadi kandidat yang harus diperhitungkan oleh siapapun, termasuk Anies.
Sebagai kandidat dari partai nasionalis, mengendalikan Jateng sebagai salah satu lumbung suara di Indonesia, dia tinggal mencari cawapres yang tepat.
Gubernur Jatim Khofifah akan menjadi salah satu calon yang sangat ideal digandeng Ganjar. Koalisi PDIP-PKB sudah cukup untuk mengajukan calon sendiri.
Duet mereka akan menjadi perpaduan sempurna. Nasionalis-Islam, lelaki-perempuan.
Jangan lupa jumlah suara Jatim dan Jateng secara nasional menempati posisi kedua dan ketiga terbanyak. Modal mereka sangat kuat.
So mulai sekarang waspadai lah Ganjar Pranowo. Jangan anggap remeh. end
sumber: WA Group KAHMI Nasional (post: Rabu 10/6/2020)