Opini Firman Noor, Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI
semarak.co -ATMOSFER politik Indonesia saat ini ditengarai tengah masuk ke dalam situasi yang kurang menyenangkan. Dengan potensi makin menipisnya jajaran partai politik di pihak oposisi, oligarki tampak berpotensi untuk menguat. Peluang seperti ini sebenarnya bukan hal yang baru.
Ford dan Pepinsky lima tahun yang lalu misalnya sudah menyatakan bahwa di Indonesia oligarki pada akhirnya dapat dan hidup berdampingan (coexist) dengan demokrasi elektoral dan membuat demokrasi tampil secara minimalis saja atau sekadar bersifat prosedural (2014, 2).
Akibatnya demokrasi di Indonesia saat ini dinilai belum cukup mapan. Freedom House misalnya menilai bahwa dalam lebih dari lima tahun terakhir Indonesia masuk dalam kategori partly free.
Sementara menurut Economist Intelligence Unit (EIU) 2018, Indonesia berada di peringkat ke-65 (6,39/10) dan masuk dalam kategori flawed democracy serta berada di bawah Timor Timur, Malaysia, dan Filipina.
Adapun Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2018 mengisyaratkan adanya stagnasi demokrasi Indonesia yang meski ada sedikit peningkatan, dari 72,49 (2017) menjadi 75,25 (2018), pada umumnya masih berkualitas sedang saja, tidak pernah beranjak naik secara signifikan dalam beberapa tahun belakangan ini.
Bahaya Oligarki
Situasi ini sangat mengkhawatirkan dan harus ada upaya untuk mencegahnya. Apalagi aroma “rekonsiliasi elit(is)” demikian kuat dan punya potensi tergelincir dalam pusaran elitisme yang membahayakan.
Kebijakan yang disusun secara elitis di atas substansi logika yang tidak populer maupun perubahan secara drastis, agenda perjuangan politik yang disampaikan secara berapi-api saat kampanye menjadi sedikit bukti bagaimana mental oligarkis itu ada.
Ada beberapa alasan mengapa kita harus berkomitmen melawan oligarki hingga tuntas. Oligarki akan menyebabkan nilai-nilai seperti persamaan, partisipasi politik, keterbukaan, kebebasan berekspresi, dan terutama kedaulatan rakyat akan tenggelam.
Situasi ini biasanya akan berlanjut pada upaya menafikan civil society dan terbelinya institusi-institusi demokrasi. Fenomena “September 2019” adalah puncak dari gunung es situasi ini.
Selain itu oligarki yang ditujukan untuk kepentingan yang elitis dan eksklusif akan menyebabkan demokrasi berjalan setengah hati, yakni dari prosedural saja, sementara dari sisi substansi mati. Akibatnya kedaulatan rakyat akan terlihat samar dan hanya tampak pada momen kontestasi elektoral.
Sementara setelah momen itu berakhir, kebijakan ditentukan oleh invisible hand yang melibatkan hanya elite politik, birokrat, dan pengusaha. Fenomena ini terjadi masif hingga ke daerah-daerah. Jika dilihat dengan saksama, meningkatnya jumlah kepala daerah koruptor dengan para rekanannya adalah cerminan yang amat gamblang dari situasi ini.
Sebagai konsekuensinya, sistem politik yang ada juga tidak segera menyejahterakan. Demokrasi yang terbajak oleh oligarki akan menyebabkan segenap kebijakan semata diarahkan pada pemenuhan kepentingan eksklusif para elite, pengusaha, dan rekanannya.
Tidak mengherankan bila kemudian di negara-negara yang demokrasinya setengah matang, kesejahteraan rakyatnya tersendat. Tertelan oleh kartel politik (Kartz dan Meir 1995) yang menyebabkan tumpahan kemakmuran tidak kunjung melimpah.
Hal lain yang juga membahayakan adalah karena oligarki akan menumbuhkan benih-benih pemikiran dan sikap antidemokrasi serta memicu ketidakseriusan membenahi lembaga-lembaga demokrasi sehingga lambat tapi pasti menghancurkan demokrasi.
Dalam atmosfer seperti ini baik elite maupun akhirnya masyarakat banyak akan menjadi semakin terbiasa memanipulasi proses politik, menciptakan kebiasaan dan kewajaran untuk rekayasa politik.
Hasilnya sangat spektakuler: hasil Survei Pusat Penelitian Politik LIPI tahun ini menunjukkan 46,7% (hampir separuh) masyarakat Indonesia menganggap politik uang pada saat pemilu adalah sebuah kewajaran.
Beberapa Solusi
Dalam jangka pendek masyarakat pada dasarnya masih dapat “memanfaatkan” keberadaan oligarki. Hal ini karena pada wilayah konstituennya oligarki harus cerdik memahami kebutuhan masyarakat guna meraih simpati dan akhirnya memperoleh kekuasaan. Kerap ini berdampak pada munculnya kebijakan yang relevan bagi konstituen.
Namun kondisi itu jelas tidak terus-menerus dapat dipertahankan. Masyarakat berpotensi besar akan larut dalam kekuasaan oligarki hingga akhirnya benar-benar sepenuhnya dikendalikan. Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa hal.
Pertama, perbaikan kehidupan ekonomi bangsa. Dalam catatan Jeffery Winters dalam kajiannya mengenai oligarki kurang dari 0,0000002% dari total penduduk menguasai 10% GDP di Indonesia (Jeffry Winters 2013, 1). Saat ini situasinya masih memprihatinkan karena situasi ekonomi bangsa yang belum menggembirakan, terutama bagi rakyat kebanyakan.
Kondisi ini menyebabkan segelintir kalangan akhirnya dapat membeli, memengaruhi dan bahkan memanipulasi pilihan politik orang banyak, termasuk partai. Pada level politik lokal ini terjadi atau bahkan sudah dimulai saat prosesi pencarian kandidat yang akan berkontestasi. Dengan kata lain sejauh disparitas kekuatan ekonomi itu demikian tinggi, potensi oligarki akan sama tingginya.
Kedua, pembenahan institusi-institusi politik dan sistem pemilu. Saat ini sudah diakui banyak kalangan terjadi politik biaya tinggi (high cost) yang disebabkan pelaksanaan pemilu yang mahal. Kemahalan itu menyebabkan eksistensi oligarki menjadi selalu relevan.
Situasi ini diperburuk dengan lemahnya pelembagaan partai dan institusi demokrasi yang menyebabkan tingginya ketergantungan finansial pada pihak-pihak tertentu yang akhirnya memberi peluang pada oligarki atau plutokrat untuk memiliki akses politik.
Tidak itu saja, perlu ada pemodernan partai politik seperti keharusan kaderisasi yang diharapkan akan menguatkan aspek ideologis dan mereduksi spirit pragmatisme. Dengan itu juga ketergantungan finansial yang berujung pada pelemahan kemandirian partai dapat saja pelan-pelan diakhiri.
Dalam konteks pembenahan institusi, juga amat perlu adanya akselerasi dari modernisasi dan reformasi ASN secara murni dan konsisten. Ini termasuk penegakan disiplin yang keras atas pelanggaran ASN yang terbukti terlibat dalam politik praktis. Ini mengingat ASN kerap masih saja menjadi suatu bagian dari rekayasa oligarkis.
Ketiga, penguatan budaya berdemokrasi dan masyarakat sipil. Meski dalam berbagai survei terlihat mayoritas masyarakat kita mengakui demokrasi sebagai bentuk pemerintahan terbaik, budaya berdemokrasi kita tetap belum kuat.
Tidak saja budaya politik uang, tetapi juga bahkan hingga level pemilihan desa yang masih marak. Namun bersikap menjadi pihak yang menang atau kalah yang baik juga masih sulit terwujud.bJuga belum berkembangnya kesadaran menjadi oposisi-kritis-objektif menyebabkan masyarakat dan elite kita masih memandang minor oposisi dan mudah sekali terbawa dalam arus kuat kekuasaan.
Selain itu adalah juga mental “konservatif”, feodal, dan kelanjutan spirit illiberal democracy (David Bourchier 2015) yang memberikan jalan bagi pembenaran atas penguasaan oleh segelintir orang/oligarki.
Dalam nuansa ini, keberadaan oligarki akan selalu mendapat tempat dan diterima meski jelas-jelas bertentangan dengan kepentingan rakyat banyak. Kesemuanya jelas membutuhkan asupan penyadaran budaya berdemokrasi yang kuat.
Selain itu perlu penguatan masyarakat sipil. Saat ini dalam kondisi ketika hampir semua partai ada dalam jajaran pemerintahan, maka melalui pengutatan masyarakat sipil adalah sebuah keharusan. Hanya dengan keterlibatan masyarakat sipil dalam politik sajalah perlawanan atas oligarki dan elitisme akan tetap dapat diharapkan.
Untuk itu masyarakat sipil (berkolaborasi dengan partai-partai oposisi yang tersisa) harus terus mengupayakan penggalangan kekuatan moral rasional secara kontinum agar pemerintah dapat terus sejalan dengan aspirasi masyarakat banyak.
sumber: sindonews.com