Tim Kuasa Hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) calon presiden dan wakil presiden Prabowo-Sandi berharap Mahkamah Konstitusi (MK) mempertegas kemuliaan putusannya, besok Kamis (27/6/2019).
Artinya, sebuah putusan yang berlandasakan pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan (the truth and justice) sesuai dengan kesepakatan bangsa dan mandate konstitusi dimana MK terikat pada UUD 1945, seperti tercantum Pasal 22E ayat 1 UUD 1945.
Ketua Tim Kuasa Hukum BPN, Bambang Widjojato mengatakan, keputusan MK hasil gugatan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) oleh pasangan calon (Paslon) Prabowo –Sandiaga diharapkan bener-bener menegakkan kebenaran dan keadilan secara utuh.
“Jika tidak, keputusan MK akan kehilangan legitimasi. Karena tidak ada public trust di dalamnya. Akibatnya lebih jauh, bukan hanya tidak ada public trust, namun juga tidak akan ada public endorsement pada pemerintahan yang akan berjalan,” desak BW, sapaan akrab Bambang Widjojanto dalam rilisnya, Rabu (26/6/2019).
Satu saja unsur yang menjadi landasan atau rujukan keputusan MK mengandung unsur kebohongan (terkait intergritas) dan kesalahan (terkait profesionalitas), nilai BW, maka keputusan MK menjadi invalid.
“Misalnya, dengan mempertimbangkan kesaksian saksi ahli Prof Eddy Hiariej yang memberikan labelling buruk sebagai penjahat kemanusiaan kepada Le Duc Tho padahal Le Duc Tho (lahir di Nam Din Province pada 10 Oktober 1911,red) adalah Nobel Prize for Peace tahun 1973, meski ia akhirnya menolaknya,” beber BW.
Kesaksian Prof. Jazwar Koto dari saksi ahli paslon nomor urut 02 dalam persidangan tentang adanya angka penggelembungan 22 juta yang ia jelaskan secara saintifik berdasarkan digital forensic, lanjut dia, sama sekali tidak dideligitimasi Termohon (KPU) maupun Terkait (paslon 01 Jokowi-Ma’ruf).
“Yang dipersoalkan terhadap Prof Jazwar Koto hanyalah soal sertifikat keahlian. Padahal ia telah menulis 20 buku, 200 jurnal internasional, pemegang hak patent (patent holder), penemu dan pemberi sertifikat finger print dan eye print, serta menjadi Direktur IT di sebuah perusahaan yang disegani di Jepang,” sindir BW, mantan Wakil Ketua KPK.
Terkait kesaksian ahli Prof Jazwar Koto di persidangan yang tidak dibantah itu, lanjut dia, dapat dibayangkan, jika mekanisme pembuktiannya dilakukan secara manual, mengadu C1 dengan C1 sungguh akan sangat membutuhkan waktu yang lama.
“Katakanlah pengecekan C1 dengan C1 membutuhkan waktu 1 menit sekali pengecekan, maka pengecekan tersebut akan memakan waktu sekitar 365 tahun dengan asumsi pemilihnya sekitar 192 juta pemilih,” ujarnya sambil merinci.
Atau kalau pengecekannya didasarkan per TPS, rinci dia, dengan asumsi jumlah TPS 813.330 TPS, dan waktu pengecekan setiap TPS memakan waktu 30 menit, maka waktu yang dibutuhkan untuk pengecekan secara keseluruhan dapat memakan waktu sekitar 46 tahun lamanya.
Wakil Ketua Tim Kuasa Hukum BPN Prof Denny Indrayana menambahkan, berdasarkan keterangan saksi Idham Amiruddin telah ditemukan 22 juta DPT siluman dalam bentuk NIK Rekayasa, pemilih ganda dan pemilih di bawah umur.
“Pemohon telah berkali-kali mengajukan protes dan keberatan terhadap adanya DPT siluman ini, namun Termohon tidak pernah melakukan perbaikan yang serius terhadap DPT bermasalah tersebut,” imbuh Denny.
Pemohon juga, kutip dia, telah melaporkan soal DPT siluman tersebut ke Bawaslu. Namun laporan tersebut tidak pernah ditindaklanjuti. Tidak jelasnya DPT, klaim dia, sebenarnya telah cukup menjadi alasan bagi majelis hakim MK untuk membatalkan pelaksanaan Pilpres 2019 sebagaimana MK telah membatalkan Pilkada Sampang dan Maluku Utara Tahun 2018 karena ketidakjelasan DPT.
Anggota Tim Kuasa Hukum BPN Teuku Nasrullah menambahkan, tidak adanya jaminan keamanan dan kehandalan terhadap system pengitungan suara KPU, ini sangat tampak dari pemaparan yang disampaikan saksi ahli dari termohon (KPU) maupun dari pemaparan komisioner KPU sendiri yang senantiasa menghindari (ngeles).
“Hal itu sempat diutarakan Majelis Hakim Suhartoyo dalam persidangan ketika ditanya oleh Yang Mulia Hakim MK maupuan oleh pihak Pemohon perihal upaya-upaya perbaikan atau komparasi dalam rangka pembenahan system perhitungan suara di KPU. Padahal UU ITE Pasal 15 ayat 1 ditegaskan bahwa penyelenggara system informasi dan IT wajib memenuhi standar keamanan dan kehandalan,” imbuhnya.
Setelah mendengar kesaksian Hairul Anas dari paslon 02 dan mendengarkan keterangan saksi Anas Nasikin dari paslon 01 ternyata tidak ada perbedaan. “Kesaksian Anas 02 telah dibenarkan dan diamini oleh saksi Anas 01,” paparnya.
Di antaranya, kutip Nasrullah, tentang power point yang berjudul “Kecurangan adalah Bagian Dari Demokrasi” beserta isi isi power point lainnya. “Kedua, bahwa dalam acara ToT tersebut dihadiri petahana, Presiden RI Joko Widodo, Kepala KSP Moeldoko, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Sekjen PDIP dan anggota DPR Hasto, komisioner KPU, Bawaslu RI dan DKPP,” imbuhnya.
Anggota Tim Kuasa Hukum BPN Luthfi Yazid mengatakan, dalam persidangan juga terbukti, setelah dilakukan inzage/pemeriksaaan, ternyata Termohon tidak dapat membuktikan adanya C7 (daftar kehadiran).
“Ketidakadaan C7 sangat fatal terkait dengan kepastian atas hak pilih rakyat atau daulat rakyat. Karena Termohon (KPU) tidak sanggup menghadirkan C7, Pemohon berharap MK memerintahkan Termohon (KPU) menghadirkan C7 sejalan dengan semangat judicial activism,” imbuhnya.
Sebab itu, kata Luthfi, dengan tidak dapat dibuktikannya siapa yang hadir memberikan suaranya dalam pemungutan suara di TPS, muncul pertanyaan suara itu suara siapa? “Siapa yang melakukan pencoblosan?” sindirnya.
Anggota Tim Kuasa Hukum BPN Iwan Satriawan menyebut bagian akhir. “Bahwa terbukti juga sebagai fakta persidangan dimana Termohon (KPU) membuat penetapan DPT tertanggal 21 Mei 2019.
Ini artinya penetapan KPU tersebut dibuat setelah Pemilu tanggal 17 April 2019. Tentu, ini sesuatu yang sangat aneh,” pungkas Iwan didampingi anggota timl ain, Iskandar Sonhadji, Dorel Almir, dan Zulfadli. (lin)