Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto ikut prihatin. Saat muda, pekerja akan tenang menjalankan aktivitasnya saat bekerja, karena jika mengalami kecelakaan ada BPJS Ketenagakerjaan yang menanggung, dan bila meninggal dunia, keluarganya dapat menjalankan kehidupannya dengan santunan kematian dan santunan hari tua yang diberikan BPJS Ketenagakerjaan. Dimasa tua, lanjut Agus, saat pekerja sudah tidak bekerja dan memasuki usia pensiun, mereka akan survive dari kemiskinan, karena memiliki tabungan JHT yang dapat dimanfaatkan sebagai modal usaha untuk melanjutkan kehidupan dan menghidupi keluarga.
“Pengambilan JHT sebelum waktunya ini akan merugikan pekerja sendiri. Apalagi di usia produktifnya. karena nanti dia harus mulai dari nol tahun lagi saat didaftarkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan lagi. Sehingga tabungan JHT-nya nanti tidak cukup untuk bekal hari tua. Hal ini juga akan merusak tatanan struktur jaminan sosial untuk melindungi pekerja yang menapaki usia tidak produktif,” keluh Agus di Bali, Kamis (8/12).
Karena itu Agus tak pernah lelah mengimbau kalangan pekerja peserta BPJS Ketenagakerjaan agar mereka memahami benar filosofi manfaat JHT sesungguhnya sebagai tabungan hari tua, yang bisa dijadikan modal dalam mengisi hari tua. “Mereka bekerja di perusahaan yang benar-benar mentaati Undang-Undang Ketenagakerjaan sehingga menyertakan pekerjanya pada program jaminan sosial, terutama JHT yang dapat dijadikan harapan setelah tak bekerja lagi. JHT merupakan program BPJS Ketenagakerjaan bagi tenaga kerja atau peserta. Program ini sebagai pendukung Jaminan Kematian (JK) dan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sehingga pesertanya sangat terbatas yakni untuk pekerja penerima upah saja. Karena itu, pemberi kerja/pengusaha adalah pemberi iuran. Sedang pekerjanya dikenakan 2% dari jumlah gaji yang diterima,” terangnya.
Program JHT ini diwajibkan bagi pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya. Harapannya, dana yang terkumpul dapat digunakan modal usaha setelah tidak bekerja lagi. “Saya menangkap langkah yang kurang bermanfaat bagi pekerja yang mencairkan JHT. Karena itu, saya meminta pemerintah supaya mencabut kebijakan yang membolehkan penarikan JHT sebulan setelah pekerja terkena PHK agar dikembalikan sesuai UU. Di mana JHT baru bisa ditarik setelah lima tahun satu bulan,” imbuhnya.
Sejak sembilan bulan lalu JHT yang ditarik mencapai Rp 13,5 triliun, atau rata-rata per bulan Rp 1,5 triliun rupiah. Namun, hal itu tak mempengaruhi keuangan BPJS Ketenagakerjaan. Meski demikian, ia menaruh perhatian serius karena penarikan itu mengakibatkan pekerja tak lagi punya tabungan yang bisa dijadikan modal usaha setelah pensiun
Kepala Divisi Komunikasi BPJS Ketenagakerjaan Abdul Latif mengatakan, sejatinya filosofi JHT yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan sebagai tabungan bagi pekerja saat memasuki usia pensiun, yang sangat penting untuk kesejahteraan para pekerja di masa tuanya. Namun, akibat turunnya Permenaker Nomor 19 Tahun 2015, peserta berbondong-bondong mencairkan JHT sebelum waktunya. Ini turunan dari perubahan regulasi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2015, tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (JHT) yang berlaku, pada 1 Juli 2015. Dimana memungkinkan pekerja untuk mencairkan dana JHT yang mereka miliki tanpa melihat masa kepesertaan peserta yang sebelumnya diatur selama lima tahun satu bulan.
“Berlakunya PP No 60 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program JHT yang isinya pengambilan JHT dapat dilakukan sebulan setelah tidak bekerja atau sebulan setelah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Fakta yang terjadi saat ini, sebanyak lima persen dari para pekerja yang mengundurkan diri dari perusahaannya dan mencairkan JHT, kembali bekerja. Dari 110.751 peserta yang bekerja kembali setelah mencairkan JHT, ternyata sebanyak 14.294 (lebih kurang 13 persen, periode September 2015 – Juni 2016,red) kembali bekerja di perusahaan yang sama. Sementara sisanya bekerja di perusahaan lain. Sehingga tabungan masa depan mereka dihabiskan. Padahal tabungan itu sangat berguna bagi mereka di masa pensiun nanti,” ulas Latif dalam satu diskusi di Jakarta, baru-baru ini.
Fakta lainnya, lanjut dia, pencairan dana JHT didominasi peserta dengan masa kepesertaan satu tahun hingga lima tahun dan lima tahun hingga 10 tahun. Di mana para peserta tersebut berada dalam usia produktif mereka untuk bekerja. “Sementara di sisi lain, saldo JHT para pekerja berbanding lurus dengan masa kepesertaan yang mana akan dirasakan signifikan saat masa kepesertaan mencapai minimal 20 tahun. Dilihat dari kelompok kerja, rata-rata peserta nonaktif memiliki saldo yang relatif kecil dibanding kelompok kerja lainnya. Kesimpulannya, tenaga kerja nonaktif berasal dari golongan yang memiliki upah rendah,” ujarnya.
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional Angger P Juwono mengatakan, para pekerja ini telah menghabiskan tabungan JHT yang semestinya dinikmati pada usia pensiun dan tak prodoktif. Ini sungguh tidak sehat. Sehingga tepat kalau pencairan JHT dikembalikan seperti peraturan perundangan. “Idealnya saldo JHT para pekerja berbanding lurus dengan masa kepesertaan yang mana akan dirasakan signifikan saat masa kepesertaan mencapai minimal 20 tahun,” kata Angger di Jakarta, Jumat (11/11).
Dalam PP No 46 Tahun 2015, lanjut Angger, terdapat ketentuan baru yang mengatur bahwa dalam rangka mempersiapkan diri memasuki masa pensiun, pembayaran manfaat JHT dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu apabila peserta telah memiliki masa kepesertaan paling singkat 10 tahun (early withdrawal). Pengambilan sebagian manfaat JHT tersebut paling banyak 30 persen dari saldo JHT peserta, yang peruntukannya untuk kepemilikan rumah atau paling banyak 10 persen untuk keperluan lain untuk persiapan pensiun (Pasal 22 Ayat 4 dan 5). Substansi ketentuan tersebut merupakan tindak lanjut dari amanah UU No 40 Tahun 2004 (Pasal 37 Ayat 3).
“Kebijakan early withdrawal yang tertera dalam UU No 40 Tahun 2004 Pasal 37 Ayat 3 sebenarnya bukan untuk mereka yang berhenti bekerja karena PHK atau sebab-sebab lain, melainkan didedikasikan kepada mereka yang masih aktif bekerja dan masih aktif mengiur, dengan syarat minimal masa kepesertaan 10 tahun. Kebijakan ini diintroduksi para perumus UU No 4 Tahun 2004 agar peserta aktif bisa lebih awal memanfaatkan sebagian dana JHT-nya untuk kepentingan persiapan pensiun atau untuk kepemilikan rumah, dan sisanya baru diambil untuk kepentingan hari tua pada saat pensiun. Kebijakan ini sama dengan yang dipraktikkan beberapa negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia,” ujarnya,
Pada ketentuan lama, lanjut dia, ini diatur. Selama mereka masih bekerja dan aktif mengiur, manfaat JHT-nya baru dapat diambil setelah memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau cacat tetap total. Solusi terbaik bagi kepentingan program dan pekerja. “Sikap Presiden Jokowi akan merevisi PP JHT menunjukkan kebijaksanaan beliau sebagai pemimpin tertinggi di negeri ini. Revisi dilakukan bukan karena PP No 46 Tahun 2015 keliru, sebagaimana yang banyak diduga public, tapi PP tersebut lebih aspiratif,” klaim Angger.
Saat ini, lanjut dia, ada dua opsi yang sedang ditimbang atau dikaji pemerintah untuk menuntaskan kisruh PP JHT. Pertama, dana JHT bisa diambil seluruhnya apabila pekerja dikenai PHK, meninggalkan Indonesia untuk selamanya, dan berhenti sebagai peserta program tersebut. Kedua, dana bisa dicairkan sebesar 30 persen dari total saldo pekerja jika sudah menjadi peserta minimal selama 10 tahun. Sisa dana JHT sebesar 70 persen bisa diambil saat pekerja memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau cacat tetap total.
Di luar dinamika JHT tersebut, seluruh pekerja di Indonesia mempunyai hak yang sama untuk memiliki jaminan sosial. Perlindungan menyeluruh BPJS Ketenagakerjaan akan mampu mengakomodir para pekerja di Indonesia agar merasa aman dan tenang dalam bekerja. (lina)