Penulis; Yudhiarma MK, M.Si, Manajer Humas BAZNAS
“It’s better to light a candle than curse the darkness”
Kelam sering melahirkan dendam, sebagaimana gelap kerap menuai ratap. Kelam dunia yang merambah kelam hati dan gelap kalbu yang memacu gelap mata.
Seperti tragedi Rabu dan Kamis, 13-14 Juli 1977, yang menjadi sejarah kelabu Amerika Serikat. Sebuah catatan hitam menjadi cover Time, ketika pemadaman listrik memicu kerusuhan di seantero kota: New York membara dan bersimbah darah.
Media cetak dunia yang resmi ditutup dan diakuisisi Meredith Corp pada 1 Februari 2018 ini, menulis, tak jauh dari Broadway, 134 toko dijarah, 45 di antaranya dibakar. Puluhan mobil mewah Pontiac seharga 250.000 dolar AS atau Rp 3,5 miliar per unit, dirampok dari showroom yang berpintu baja.
Majalah raksasa itu menerbitkan laporan berjudul “Blackout ’77, Once More, With Looting” sepekan setelah kejadian, 25 Juli 1977. Antara lain disebutkan, sekira 550 polisi terluka dan 4.500 penjarah ditangkap. Ini menjadi aksi penertiban terbesar dalam sejarah daerah berjuluk Big Apple tersebut.
Tak hanya itu, operasional Bandara LaGuardia dan Kennedy dihentikan, turnamen basket setop mendadak karena lapangan gelap gulita, syuting film Superman yang fenomenal tertunda, televisi dan radio tak bisa siaran, terowongan-terowongan kendaraan ditutup karena ventilasi mati, 4.000 orang dievakuasi dari stasiun kereta bawah tanah. Sebanyak, 1.616 ruko rusak parah dan terjadi 1.037 insiden kebakaran.
Dan Amerika belajar dari sejarah. Pemadaman serupa terulang pada bulan lalu, namun berlangsung tertib. Tentu karena rakyat dan pemerintah setempat belajar dari pengalaman.
Hanya menerjunkan 100 tim keamanan dari kepolisian dibantu Pasukan Garda Nasional, kelam massal dalam semalam berakhir dengan tepuk tangan dan sorak-sorai warga saat lampu kembali menyala.
Padahal, kota yang dikenal selalu ramai dan terang-benderang itu, sempat meratap dalam gelap pada Sabtu (13/7/2019).
Suasana suram terlihat di berbagai fasilitas publik dan tempat-tempat yang biasa dikunjungi banyak orang. Namun, tak ada kejadian yang mengakibatkan cedera dan korban jiwa.
Hamparan blok di Manhattan, dimulai dari West 42nd Street hingga West 72nd Street hingga Times Square, gelap gulita. Teater Broadway membatalkan pertunjukannya. Dalam laporan pihak berwenang, lebih dari 73 ribu rumah dan pertokoan, terdampak pemadaman total.
Ahad, 4 Agustus 2019, rakyat Indonesia kalang kabut. Bila di Negeri Paman Sam hanya terimbas di New York, di negara ini sebagian besar warga yang tinggal di Pulau Jawa dan Bali, kelimpungan karena tak ada penerangan.
Hampir 12 jam tanpa listrik, sekitar seperdelapan dari 250 juta penduduk Republik ini mengalami krisis air, tak bisa berkomunikasi karena minus sinyal dan telepon genggam kehabisan energi; jalan-jalan, pemukiman dan tempat-tempat umum gelap gulita; pertokoan dan ATM berhenti beroperasi dan pusat-pusat perbelanjaan diserbu pembeli yang berburu cahaya dan kebutuhan darurat saat listrik mati.
Ada yang berlomba-lomba berbagi tapi banyak pula yang tak peduli dan mementingkan diri sendiri.
Menurut keterangan resmi dari PLN, pemadaman terjadi akibat Gas Turbin 1 sampai 6 Suralaya mengalami trip, sedangkan Gas Turbin 7 dalam posisi off. Selain itu, Pembangkit Listrik Tenaga Gas Turbin Cilegon juga terganggu, sehingga mengakibatkan aliran listrik di wilayah Jabodetabek mengalami pemadaman.
Pihak PLN masih terus mengupayakan perbaikan, sehingga bisa meminimalisasi dampaknya sembari memohon maaf pada publik (Tirto.id, 4/8/2019). Kelam sering melahirkan dendam, sebagaimana gelap kerap menuai ratap. Kelam dunia yang merambah kelam hati dan gelap kalbu yang memacu gelap mata.
Listrik mati, orang-orang pun emosi. Syukur, masyarakat sudah dewasa menyikapi masalah krusial ini. Mereka melampiaskan kemarahan rasional hingga caci maki lewat media massa dan medsos hingga koran-koran menerbitkan laporan dengan cover-cover berwarna hitam di halaman utama.
Presiden Jokowi marah hingga melabrak pejabat terkait di kantor PLN, Polri marah dengan mengerahkan Bareskrim melakukan penyelidikan, wakil rakyat marah dan para netizen ramai-ramai menumpahkan kesal di media sosial.
Padahal blackout terparah pernah beberapa kali terjadi, namun bangsa ini tak sanggup melawan lupa dan belajar dari sejarah.
Pada 12-13 September 2002 dan 18 Agustus 2005, sebagian jagat Nusantara mengalami padam raya. Selain Jakarta dan Banten, berbagai wilayah di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, juga terdampak.
Ketika sebagian besar warga berpesta cahaya, masih banyak rakyat jelata yang hidup dalam dunia yang gelap gulita. Meski negara sudah 73 tahun merdeka, saban malam mereka mendekam dalam kelam.
Hingga suatu ketika, pembiayaan alternatif datang sebagai solusi. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH).
Bersama lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) United Nations Development Programme (UNDP), BAZNAS mengentaskan kemiskinan dengan “zakat listrik” di beberapa titik lokasi. Antara lain di Lubuk Bangkar, Kecamatan Batang Asai, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi.
Saat peletakan batu pertama, Jumat (6/4/2019), Wakil Ketua BAZNAS, Dr. Zainulbahar Noor, SE, M.Ec, menceritakan kisah perjalanannya yang penuh rintangan menuju lokasi pembangunan PLTMH.
Menurut dia, perlu waktu sembilan jam dari Kota Jambi untuk sampai di desa terpencil itu.
Jalur perbukitan, hutan serta perkebunan sawit dan karet ini, hanya bisa dilalui kendaraan bergardan ganda, karena sebagian jalan masih berupa tanah, aspal dan beton berlubang yang dimakan abrasi dan kerap terancam longsor saat musim hujan.
Bahkan untuk sampai di desa-desa terdalam di Kabupaten Merangin, rombongan harus melewati sungai dengan perahu motor tradisional selama tiga jam, dilanjutkan dengan menyewa ojek satu jam untuk menempuh jalur setapak dengan lembah dan jurang di kiri-kanan jalan.
Wakil Direktur UNDP Indonesia kala itu, Francine Pickup mengatakan, pengadaan PLTMH merupakan bukti nyata pertama kerja sama UNDP dan BAZNAS dalam pembiayaan inovatif zakat untuk pembangunan berkelanjutan.
“Akses terhadap energi listrik ini dapat mendukung pengentasan kemiskinan dan menyejahterakan masyarakat dalam rangka pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya poin satu yaitu ‘bebas kemiskinan’, dan nomor tujuh yakni ‘energi bersih dan terjangkau,” ujar dia.
Akhirnya, seluruh PLTMH di Desa Ngaol, Air Liki dan Air Liki Baru, Kecamatan Batang Tabir Barat, Kabupaten Merangin; dan Desa Lubuk Bangkar, Kecamatan Batang Asai, Kabupaten Sarolangun, diresmikan bersama Ketua BAZNAS, Prof. Dr. Bambang Sudibyo; Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Prof. Bambang Brojonegoro; Deputy Country Director UNDP Indonesia, Shopie Kemkhaze; Gubernur Jambi, Fachrori Umar; dan Bupati Sarolangun, Cek Endra, pada 5 September 2018.
Pemadaman total mengingatkan bangsa ini pada buku populer RA Kartini, “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Sebuah pembelajaran agar kejadian serupa tak terulang lagi dan bisa diantisipasi dan ditangani dengan baik.
Bahwa mesti ada cahaya setelah gelap gulita. Karena kelam sering melahirkan dendam sebagaimana gelap kerap menuai ratap. Kelam dunia yang merambah kelam hati dan gelap kalbu yang memacu gelap mata.
Dan ternyata bukan surat-surat kepada para sahabatnya di Eropa yang dibukukan J.H. Abendanon dengan judul “Door Duisternis Tot Licht”, yang membuat Kartini mendapatkan pencerahan.
Tapi karya yang diterbitkan pada 1911 dan mengalami lima kali cetak saat itu, terdapat lampiran tulisan Sang Raden Ajeng yang merujuk ayat Al-Quran yang berbunyi min al-zhulumati ila al-nur: “dari kegelapan menuju cahaya”. Inilah yang menginspirasi pemberian judul buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” (Gomuslim.co.id, 19/4/2016).
Dalam al-Quran, kalimat itu disebutkan sebanyak tujuh kali pada enam surat, yaitu al-Baqarah: 257, al-Maidah: 16, Ibrahim: 1 dan 5, al-Ahzab: 43 , al-Hadid: 9, dan al-Thalaq: 11. Kebalikan konsep ini adalah min al-nur ila al-zhulumat (“dari cahaya menuju kelam”) yang dibahas hanya sekali pada Surat al-Baqarah: 257.
Dan akhir kata, kembali ke paragraf awal: sebuah peribahasa terkenal dunia yang pernah dikutip Presiden AS John F Kennedy dalam pidatonya, dan saat menjabat Mendikbud, Gubernur DKI, Anies Baswedan menggunakannya sebagai tagline dalam program Indonesia Mengajar:
“It’s better to light a candle than curse the darkness”
“Lebih baik menyalakan lilin dari pada mengutuk kegelapan”.
Semoga gerakan zakat mampu menjadi peredam kemarahan mereka yang menyimpan “dendam” karena karam dalam kelam. Amin ya Rab al-‘alamin. ***