Oleh Anonym *)
Semarak.co – Ketika Ignasius Jonan—Menteri Perhubungan (Menhub) era awalnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) — berdiri di rapat DPR RI tahun 2015 dan tegas berkata: “Jangan ada pembangunan kereta cepat di Jawa, walaupun pinjaman luar negeri.”
Banyak yang mencibirnya terlalu kaku. Hari ini, 2025, suara Jonan bergema sebagai nubuat pahit: konsorsium BUMN rugi triliunan, utang ke China belum juga lunas, dan proyek yang dipuji-puji sebagai Whoosh menjelma jadi Woe-oh-woosh.
Jonan bukan tanpa alasan. Ia menegaskan bahwa jarak Jakarta–Bandung 142 km terlalu pendek untuk teknologi kereta 300 km/jam. Waktu tempuh antarstasiun hanya 5–7 menit, membuat akselerasi tak optimal. Dengan bahasa sederhana: ngapain pakai meriam untuk bunuh nyamuk?
Tapi suara akal sehat itu kalah. Ambisi besar seorang presiden, ditambah tepuk tangan serempak para penjilat yang berharap jabatan dan proyek, menutup telinga pemerintah. Semua kritik ditenggelamkan dengan mars Hidup Jokowi! dan lagu wajib Terima kasih Pak Jokowi.
Bukan Bansos yang Bikin BUMN Kolaps
Mari luruskan fakta. BUMN tidak ambruk karena bansos, tidak pula karena subsidi pendidikan. Mereka megap-megap karena harus menanggung mimpi megalomania kereta cepat.
- 2025: Konsorsium BUMN rugi Rp1,62 triliun.
- KAI tercatat tekor Rp3,23 triliun. Padahal cicilan ke China masih menunggu di depan pintu.
Sederhananya: yang dijual ke publik adalah ambisi pribadi mirip denga istana IKN, tapi yang diwariskan adalah beban.
APBN untuk Jawa, Daerah Lain Menonton
Jonan bahkan menyebut roh APBN adalah NKRI. Kalau dana negara hanya disedot ke Jawa, apa kabar Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua? “Banyak di daerah yang lihat kereta saja tidak pernah,” katanya kala itu.
Namun, pemerintah justru mendirikan monumen beton bernama Whoosh di Jawa Barat, sementara rakyat Papua masih menunggu jalan raya yang bisa dilalui tanpa berlumpur.
Ironi Abadi: Dari Megaproyek ke Megarugi
Proyek kereta cepat dibungkus sebagai simbol modernitas: cepat, canggih, membanggakan. Namun hari ini, simbol itu berubah jadi ironi nasional. Rakyat disuguhi fakta bahwa:
- tiket kereta cepat tak mampu menutup biaya operasional,
- subsidi pemerintah tetap mengucur,
- dan utang luar negeri menempel ketat di dahi anak cucu bangsa.
Kritik Jonan dulu terdengar pesimistis. Kini, kritik itu adalah epitaf di batu nisan proyek mercusuar: dibangun dengan nafsu, dijalankan dengan ilusi, ditutup dengan kerugian.
Nafsu lebih Besar dari Otak
Kereta cepat Jakarta–Bandung bukan sekadar proyek transportasi. Ia adalah simbol betapa ambisi bisa membutakan logika, betapa jilatan bisa menenggelamkan akal sehat, dan betapa satu keputusan bisa menguras APBN bertahun-tahun.
Maka jika hari ini BUMN kolaps, jangan salahkan bansos atau subsidi pendidikan. Salahkan nafsu besar tanpa otak yang mengendalikan negara bak mainan pribadi. Jonan sudah memperingatkan sejak 2015. Tapi siapa peduli, kalau Hidup Jokowi! lebih nyaring daripada logika.
*) penulis anonym karena sampai berita ini ditayangkan belum ditemukan nama penulis, jika dikemudian hari ditemukan penulis, otomatis redaksi melakukan koreksi. Terimakasih
Sumber WAGroup EXCLUSIVE ANIES RI 1 (postSenin8/9/2025/ermitabustami)