Wedang Ronde dan Ekonomi Rakyat

Agung Sudjatmoko. Foto: dokpri

Opini oleh Agung Sudjatmoko

Judul diatas adalah nama minuman di Jawa dengan rasa yang segar. Dibuat dari air jahe pedas, dicampur dengan ronde dari ketan serta beberapa ramuan lainnya. Minuman ini sangat nikmat jika di minum di daerah dingin atau pada sore dan malam hari.

Apa hubunganya wedang ronde diatas dengan topik yang akan bahas tentang pemberdaayaan ekonomi rakyat? Sangar relevan sebab saya akan membahas dari obrolan saya saat liburan dengan teman-teman di Kota Salatiga.

Jumat sore (3/1/2020) yang lalu saya menikmati semangkok wedang ronde di gerobak depan toko oleh-oleh di Kota Salatiga. Suasana yang dingin dan sudah sore sekitar jam 15.00 WIB saya ngobrol dengan penjual Mas Yanto sambil meramu dagangan rondenya yang sangat nikmat.

Rasa hagat manis yang pas membuat saya tergelitik menanyakan bagaimana memulai usaha tersebut. Mas Yanto usianya sekitar 35 tahun, sangat ramah menjawab pertanyaan yang saya sampaikan.

Sebelum menggeluti jualan wedang ronde dia adalah pekerja di perusahaan swasta. Karena terkena PHK dengan beban anak istri di rumah maka, dia menjatuhkan pilihan jualan wedang ronde.

Dia bercerita awalnya mempunyai 3 gerobak ronde tapi karena sulit mendapatkan pekerja yang jujur akhirnya 2 gerobaknya dihentikan dan konsen dengan satu gerobak saja. Modal awal menjual ronde bikin gerobak sendiri dan keperluan peralatan sebesar Rp1,5 juta dengan modal sebesar  Rp200 ribu telah dapat menjadi penjual ronde.

Setiap hari dia berjualan dengan target 80 mangkok. Harga semangkok ronde sebesar Rp5.000 sehingga jika laku semua, maka setiap hari omsetnya sebesar Rp400 ribu untuk keperluan usaha dan hidupnya Mas Yanto dipertaruhkan dengan bisnisnya tersebut.

Namun usaha tidak selamanya bisa memenuhi target tetapi bisnis pasti ada naik dan turunnya. Jika ramai dia bisa mencapai target 80 mangkok, namun jika sepi targetnya minimal 40 mangkok.

Sebab dengan 40 mangkok terjual setiap hari maka dia bisa mendapatkan modal kerja Rp150 ribu dan uang keperluan rumah tangganya Rp50 ribu. Apa tidak kurang dengan uang belanja keluarga tersbut? Dijawab mantab kita cukup-cukupkan, walau kurang.

Bagaimana bantuan dari pemerintah daerah atau pusat atas usaha gerobak wedang ronde tersebut? Tidak ada mas kita bisa jualan di pinggir jalan tidak digusur Satpol PP saja sudah senang, urusan politik dan kebijakan seperti itu bukan urusan saya biarkan mereka seperti itu yang penting ronde saya laku sesuai target.

Dari obrolan diatas saya sebagai akademikus sekaligus penggerak koperasi merasa bahwa kehidupan ekonomi rakyat seperti Mas Yanto ini tidak terpengaruh langsung atas kebijakan ekonomi pemerintah baik pusat maupun daerah.

Ekonomi rakyat menggelinding sebagaimana rakyat berproduksi dan berkonsumsi. Peran pemerintah dianggap biasa saja bagi usaha kecil seperti itu. Target usaha mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga tanpa berlebihan.

Mereka bisa makan, menyekolahkan anak, beli sandang dan rumah sederhana sudah cukup. Kesederhanaan, tanpa memikirkan upah dan tidak memasalahkan hingar bingar kebijakan dan politik menjadi ciri kas usaha kecil seperti ini.

Namun fakta dalam pembangunan mereka inilah sebagai pengisi kekosongan kebijakan riil pemerintah membangun ekonomi rakyat. Mereka dapat disebut sebagai pahlawan karena menjadi pekerja mandiri dengan penghasilan yang cukup untuk kehidupanya.

Dengan uang Rp50 ribu atau Rp100 ribu yang mereka dapatkan setiap hari sudah memberikan kontribusi atas beban kebijakan pemerintah untuk mengurangi pengangguran. Bahkan mereka menjadi penopang ekonomi nasional karena mampu menjaga kelangsungan hidup keluarganya.

Posisi Ekonomi Rakyat

Ada beberapa catatan posisi ekonomi rakyat dalam berbagai dimensi. Dalam kondisi politik dan derap pembangunan apapun rakyat tidak mikir asal kemudahan berusaha dirasakan. Kesulitan modal rakyat mencari sendiri dengan caranya sendiri, tatkala berbankan sulit memberikan akses dengan dalih tidak punya jaminan.

Rakyat tahu dimana harus mencari lokasi bisnis yang deket dengan konsumen, ketika pemerintah tidak mampu menata lokasi bisnis yang menguntungkan rakyat, yang penting bagi rakyat tidak digusur atau dikejar Satpol PP.

Betapa sederhana pola pikir ekonomi rakyat untuk menjalani kehidupan. Itulah kenyataan yang terjadi, pembangunan belum memberikan fasilitasi optimal bagi rakyat untuk mewujudkan kesejahteraanya. Usaha kecil tukang ronde sebagai bentuk kepasrahan karena PHK bentuk dari usaha sendiri rakyat membangun ekonominya.

Itu juga bukti bahwa usaha kecil menjadi penopang kehidupan keluarga dan menyelamatkan kehidupan rakyat. Tapi sayang pemerintah belum mempunyai model kebijakan dan pembangunan untuk memperkuat usaha kecil tersebut.

Secara makro kekuatan keluarga dengan usaha kecil akan menjadi kekuatan daerah dan nasional secara ekonomi. Inilah pekerjaan rumah pembangunan yang tidak pernah tuntas. Usaha kecil dan koperasi hanya menjadi komoditas politik saat perhelatan kampanye politik, dan akan ditinggalkan ketika kekuasaan sudah digenggam.

Kenyataan ini jauh berbeda dengan usaha  menengah besar yang telah mempunyai bargaining politik, mereka mudah mendapatkan akses ekonomi dan menguasai sumber daya ekonomi nasional.

Untuk itu pemerintah harus segera merubah pola kebijakan ke pemerataan pembanguban, tanpa meninggalkan mengejar pertumbuhan ekonomi. Saatnya ekonomi rakyat harus dibangun dengan sungguh-sungguh secara substantif bukan kamlufatif.

Hanya kesungguhan dan keseriusan yang mampu membangun kedaulatan ekonomi dimana rakyat berproduksi untuk kebutuhannya sendiri. Swadaya secara ekonomi juga akan menunjang pembangunan kedaulatan pangan karena pertanian, perkebunan, perdagangan dan home industri akan bergerak seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional. ***

Penulis adalah penggerak koperasi dan Dosen Binus

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *