Oleh Ahmad Khozinudin *
semarak.co-Meski tidak selalu tepat, dahulu ada polarisasi yang jelas dalam konteks segmentasi pemilih, antara partai Islam dan partai politik berbasis massa Islam dengan partai nasionalis. PPP, PKB, PKS, PAN, PBB, dapat dikualifikasikan sebagai Partai Islam atau setidaknya Partai Berbasis Massa Islam.
Adapun PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, dan Demokrat dapat disebut sebagai Partai Nasionalis. Meski ada yang dibumbui dengan platform ‘Nasionalis Religius’ atau yang benar-benar nasionalis sekuler tulen. Begitu juga dalam konteks segmentasi pemilih, maka bisa dikategorikan bahwa PAN basis pemilihnya adalah Muhammadiyah. Sebagaimana PKB yang memiliki basis pemilih kaum Nahdliyyin atau Nahdlatul Ulama (NU).
Namun, hari ini nampaknya polarisasi politik telah membuat segmentasi pemilih menjadi tidak relevan lagi. Pemilih dari kalangan Nahdliyin tidak lagi bisa dipastikan menjadi basis pemilih PKB. Setidaknya, itu dapat terbaca pasca struktur Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang diketuai Yahya Staquf disisi oleh pengurus PDIP.
Nama-nama seperti Mardani Maming yang menjadi Bendahara Umum PBNU dan Nasyirul Falah Amru yang didapuk sebagai salah satu Ketua tanfidzyah PBNU adalah dua kader PDIP. Meski masih terdapat sejumlah tokoh lain baik dari PPP (Mustofa Aqil Siradj) dan PKB (Dipo Nusantara Pua Upa, Dimyati Rois), namun tak memiliki posisi signifikan seperti kader PDIP.
Secara politis, hal ini dapat saja dibaca menguntungkan PBNU dalam konteks untuk mendapatkan dukungan dan resource politik yang dapat dikonversi dan dikapitalisasi menjadi sumber pendanaan. Namun, bagi PKB kondisi ini membuat PKB tak dapat mengklaim sebagai partainya wong NU.
PDI-P telah mampu menambah ceruk pasar wong NU dengan tetap mempertahankan market wong cilik. Sementara PKB, dapat kehilangan brand sebagai partainya wong NU, juga tak akan mampu masuk segmentasi ceruk pasar nasionalis yang dimiliki PDIP.
Kohesi internal antara NU dan PDIP lebih terlihat mesra ketimbang dengan PKB. Sebagaimana belum lama ini, Ketum PBNU Yahya Staquf mengungkapkan pernyataan yang mengonfirmasi betapa dekatnya hubungan NU dan PDIP.
Yahya Cholil Staquf menyatakan bahwa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bukan sekadar partner atau rekan bagi NU. Bagi PBNU, menurutnya, PDIP adalah salah satu komponen senyawa di dalam perjuangan yang bisa terus bersinergi di hari mendatang demi membawa kemaslahatan yang lebih besar untuk bangsa, negara, dan manusia.
“Yang jelas, dalam hal ini PDIP akan menjadi bukan hanya sekadar partner, tapi akan menjadi salah satu komponen senyawa di dalam perjuangan. Dan jelas ke depan kita akan lihat, langkah yang diambil dan dijalankan Nahdlatul Ulama selama kedua belah pihak setia kepada semangat dasar perjuangannya, ini akan menjadi sinergi yang mudah-mudahan membawa kemaslahatan yang besar untuk bangsa, negara, dan untuk kemanusian,” kata Yahya dalam acara Harlah ke-96 NU yang berlangsung secara hybrid, Sabtu (12/2/2022).
Disadari atau tidak, eksistensi PDIP didalam struktur PBNU adalah ancaman bagi PKB. Sebab, naluri politik PDIP yang ‘ekspansif’ tentu akan berbeda jauh dengan kemampuan penetrasi PKNU yang pernah hadir untuk mengambil suara warga Nahdliyyin dari PKB.
PKNU adalah partai yang didirikan para kiyai yang memiliki adab dalam berpolitik. Sehingga, proses aneksasi suara Nahdliyyin tidak akan dilakukan secara kasar dengan menghalalkan segala cara. Namun, bagaimana dengan PDIP?
Sejauh ini, belum ada sikap politik resmi dari Cak Imin atas adanya potensi okupasi suara warga NU oleh PDIP. Namun, secara naluri penulis yakin kegalauan PKB atas eksistensi kader PDIP di struktur PBNU tak mungkin dapat disembunyikan, apalagi menjelang proses Pemilu tahun 2024.
Selama ini, PKB lebih terbukti dapat mempertahankan ceruk suara warga Nahdliyyin ketimbang PAN terhadap suara Muhammadiyah. Namun, sejak hadirnya PDIP di struktur PBNU, nampaknya konstelasi politik dapat saja merubah keadaan. [].
*) penulis adalah Sastrawan Politik
sumber: WAGroup INDONESIA ADIL MAKMUR (postRabu22/6/2022/)