Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dinilai gagal dalam melakukan penganggaran berbasis kinerja. Buktinya, selama ini penganggaran besar yang dilakukan pemerintah untuk menangani wabah Covid-19 belum membuahkan hasil bahkan gagal dalam menangani penurunan bahkan mendekati angka 200 ribuan korban infeksi pandemi Covid-19, begitupun kinerja ekonomi yang sudah diposisi resesi.
semarak.co– Wakil Ketua MPR Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan mengatakan, ada beberapa prinsip yang mesti diperhatikan dalam penganggaran berbasis kinerja yakni efektivitas dan efisiensi anggaran, disipilin anggaran, keadilan anggaran, dan akuntabilitas dan transparansi anggaran.
“Jika prinsip tersebut tidak dilakukan, maka bisa dipastikan penganggaran tersebut tidak berbasis kinerja dan pada akhirnya tidak membuahkan hasil yang maksimal,” kata Syarief, di Jakarta, Rabu (2/9/2020).
Mantan Menteri Koperasi dan UKM itu menyatakan mendukung langkah Menteri Keuangan (Menkeu) untuk melakukan penganggaran berbasis kinerja, dan harus konsisten.
Sayangnya hingga saat ini ternyata belum. “Ini terbukti dengan penganggaran penanganan Covid-19 yang mencapai Rp 695,7 triliun belum mampu menekan laju penambahan kasus harian Covid-19 yang semakin meningkat di atas 2000 sampai 3000 kasus perhari,” katanya.
Hal tersebut, menurut Syarief menunjukkan anggaran tersebut tidak memenuhi prinsip efektif dan efisien anggaran. Bahkan ada kecenderungan beberapa penyaluran yang salah sasaran dalam penanganan Covid-19.
Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini juga mempertanyakan beberapa target pemerintah yang tidak tercapai. “Pemerintah menetapkan maksimal defisit APBN 2020 sebesar 5,07 persen terhadap PDB yang tertuang dalam Perpres No. 24 Tahun 2020.
Tapi, ternyata defisit APBN 2020 melebar hingga 6,34 persen terhadap PDB yang mencapai Rp 1039,2 triliun. “Ini membuktikan bahwa Pemerintah tidak memenuhi prinsip disiplin anggaran karena terus menerus melakukan perubahan target dan pada akhirnya target tersebut tidak tercapai juga,” kata Syarief.
Tidak hanya itu, pemerintah juga menargetkan menekan angka pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat lewat bantuan langsung tunai (BLT). Namun ternyata jumlah pengangguran bertambah sebesar 3,05 juta selama tahun 2020.
Daya beli masyarakat Indonesia pun menurun bahkan hilang sekitar Rp362 triliun akibat pandemi Covid-19. Hal ini menunjukkan tidak terpenuhinya prinsip efetivitas dan efisiensi serta disiplin penganggaran yang dilakukan pemerintah.
Syarief Hasan juga mempertanyakan anggaran pemerintah yang lebih banyak ditujukan untuk penguatan korporasi besar dan BUMN. Padahal, masyarakat kecil dan UMKM lah yang paling harus diperhatikan pemerintah.
“Itupun anggaran untuk masyarakat kecil dalam bentuk BLT baru terealisasi sebesar 31%. Hal ini menunjukkan kurangnya keadilan penganggaran yang dilakukan pemerintah,” ungkapnya.
Syarief Hasan menilai, akibat dari penganggaran yang tidak memenuhi prinsip berbasis kinerja menyebabkan ekonomi Indonesia jatuh. Oleh karena itu, presiden harus melakukan evaluasi yang menyeluruh terhadap kinerjanya dan secara khusus harus memproritaskan program kebijakan memerangi pandemi Covid 19.
Di sisi lain, lanjutnya, ekonomi yang saat ini di prioritaskan oleh pemerintah belum juga mengalami tanda-tanda perbaikan di kuartal III/2020 dari kontraksi minus 5,32 persen di Kuartal II 2020 dan merupakan kontraksi terdalam sejak reformasi.
Pertumbuhan minus saat ini juga masih akan terjadi di kuartal III dan IV 2020 dan akan menyebabkan resesi ekonomi. “Jika semua target tidak bisa dicapai dengan anggaran yang besar dan sudah disiapkan berarti pemerintah gagal mengemban amanah rakyat,” pungkasnya. (net/smr)