Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP bekerja sama Biro Pemberitaan DPR RI menggelar diskusi Forum Legislasi bertema RUU Penyiaran untuk Kedaulatan Bangsa dan Negara di Media Center MPR/DPR/DPD RI, Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (7/3/2022).
semarak.co-Adapun narasumber Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari yang hadir secara virtual atau online, lalu dua pembicara hadir langsung Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Irsal Ambia dan Ketua Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI) Trubus Rahadiansyah dengan moderator Luki Herdian – Anggota KWP
Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari mengungkapkan, RUU yang sudah sangat lama mandeg ini ditarget selesai pada periode sekarang. Pihaknya tengah membahas revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Tahapan pembahasan pun disebut sudah sampai persiapan akhir draf revisi UU Penyiaran sebelum disampaikan ke Badan Legislasi (Baleg) DPR. Proses hari ini, sudah sampai persiapan akhir draf revisi UU Penyiaran yang ada di Komisi I. Kharis lantas mengungkapkan, Komisi I tidak hanya kali ini membahas revisi tersebut.
Ia mengatakan, pembahasan sudah pernah dilakukan pada periode masa sidang sebelumnya. “Namun juga berakhir, belum juga selesai. Namun, di periode ini, kita berencana mudah-mudahan bisa selesai,” ujar Kharis.
Politikus PKS itu kemudian menjelaskan mekanisme yang bakal dilalui Komisi I untuk membahas revisi UU Penyiaran. Mulai dari pembahasan, lalu dibawa ke rapat paripurna untuk dikirim ke pemerintah. “Setelah paripurna baru akan dikirim ke pemerintah untuk dibahas bersama dengan pemerintah,” papar Kharis.
Jadi, lanjut dia, proses di Komisi I hampir selesai untuk draf RUUnya. Ia berharap, draf revisi UU Penyiaran dari Komisi I selesai pada masa sidang berikutnya yang akan dimulai pertengahan Maret ini.
Komisioner KPI Irsal Ambia menjelaskan, urgensi dari revisi UU Penyiaran. Ada banyak hal atau faktor yang menjadi alasan utama revisi UU Penyiaran perlu dilakukan. Faktor perkembangan teknologi yang memengaruhi kerja-kerja media penyiaran.
“Jadi, sejak 2002 itu, di mana teknologi sudah mulai sudah mulai advance, tapi kemudian dalam perjalanannya sampai ke tahun 2010, sampai ke tahun 2020, perkembangan teknologi itu berjalan sangat luar biasa,” imbuhnya.
Teknologi penyiaran, rinci dia, teknologi komunikasi, teknologi telekomunikasi dan lain sebagainya itu sangat berkembang pesat sehingga kemudian perkembangan teknologi ini mendisrupsi ruang penyiaran kita. Namun, Irsal menilai bahwa pembahasan revisi UU Penyiaran justru berlarut-larut dan selalu mandeg di DPR.
“Sudah masuk di DPR, sudah dibahas bahkan sebagian ada yang sudah masuk ke Baleg, tapi kemudian tidak berlanjut lagi. Dinamika yang seperti ini sudah berlangsung lama, sudah berlangsung hampir 10 tahun,” kata Irsal.
Ditambahkan Irsal, model-model penyelenggaraan penyiaran yang kita pahami selama ini secara konvensional, itu berubah sangat drastis dengan keberadaan model dan sistem penyiaran berbasis internet, digital dan lain sebagainya.
Ketua Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI) Trubus Rahadiansyah mengungkapkan, memang terdapat urgensi dari sisi publik. Setidaknya terkait dengan upaya memastikan kebenaran informasi.
“Yang paling utama dalam proses RUU Penyiaran, kata Trubus, adalah memastikan bahwa publik bisa cukup berpartisipasi dengan baik. Sejauh ini, Ia melihat bahwa RUU Penyiaran belum cukup mudah diakses, publik belum tahu apa saja perubahan pengaturannya. (smr)