Wadas

Irsyad Muchtar. foto: dokpri

Oleh Irsyad Muchtar *

semarak.co-Atas nama percepatan pembangunan proyek strategis nasional, tanah di Desa Wadas, Purworejo, Jateng, diukur BPN Wilayah Jateng. Arkian untuk penambangan quary batu andesit dan, ujungnya, bikin Bendungan Bener. Rakyat keberatan dan protes. Ricuh. Ratusan aparat Polri-TNI bersenjata lengkap dengan tameng plus preman dan anjing pelacak diterjunkan untuk ‘pengamanan’.

Bacaan Lainnya

Akses menuju Desa Wadas sangat sulit karena banyaknya truk kompi kepolisian yang diparkir di pinggir jalan-jalan desa. Ricuh terjadi Selasa (8/2/2022), tapi intimidasi aparat telah terjadi sebelumnya. Sejak mereka dirikan sejumlah tenda di Lapangan Kaliboto, tak jauh dari pintu masuk desa. Desa Wadas bukan desa terbelakang. Sudah banyak rumah-rumah warga yang memiliki parabola sendiri.

Penangkapan ini dilakukan aparat kepolisian menyusul protes warga. “Warga yang hendak shalat ke masjid pun ditangkap,” kata Ketua YLBHI Bidang Advokasi dan Jaringan, Zainal Arifin. Tak sedikit yang melarikan diri ke dalam hutan—dan baru kembali setelah beberapa hari. Anak-anak tak berani masuk sekolah.

Pada awalnya, Ganjar menyatakan tak ada kekerasan disana. Keberadaan polisi, katanya, untuk melakukan pengamanan dan menjaga kondusivitas. Bohong ini dia ralat sendiri dengan meminta maaf dan mengaku siap bertanggung jawab kepada seluruh warga Wadas terkait peristiwa di Desa Wadas Selasa siang (8/2/2022).

Ini proyek Pusat. Pangkal balanya Gubernur Ganjar Pranowo menerbitkan izin dan IPL (Iuran Pengelolaan Lingkungan) tambang andesit yang mencakup Desa Wadas. Kebutuhan bendungan cuma 8 juta m³, tapi tambang andesit itu diduga punya potensi 18,98 miliar m³; yang sudah terukur saja 262,7 juta m³.

Dengan mengenyampingkan duit mahabesar dari hasil batu andesit (apa iya anda percaya?), bendungan dibangun dengan tujuan bagus. Yakni mengendalikan banjir, mengairi sawah demi swasembada pangan, dan membangkitkan tenaga listrik. Tapi, dalam praktik, tujuan baik yang normatif itu tidak sepenuhnya tercapai, sementara ongkos sosial dan ongkos lingkungannya sangat mahal.

Cermati usia Waduk Saguling yang lebih pendek dari perkiraan awal 50 tahun akibat pelumpuran, sampah dan pencemaran ganas Sungai Citarum yang dibendungnya. Waduk Gajah Mungkur di Jateng juga bernasib hampir serupa. Waduk Kedung Ombo di Jateng, yang menenggelamkan hampir 40 desa yang warganya digusur dengan teror, 30 tahun lalu, kini diketahui usia waduk hanya separo dari 100 tahun yang direncanakan.

Protes Kedung Ombo merupakan salah satu tonggak besar perlawanan politik terbuka terhadap rezim Orde Baru. Pengalaman seperti Kedung Ombo dan Dam Narmada di India mengilhami gerakan menolak bendungan di seluruh dunia.

Arundhati Roy, penulis dan feminis India, salah satu tokoh garda depan gerakan itu menyebut, bendungan punya daya rusak seperti bom nuklir. Makin besar, makin merusak. Waduk merangsang pertanian skala besar yang menggusur petani.

Salam,

*) Penulis praktisi media dan Pemred Majalah Peluang

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *