Pemilihan Presiden (pilpres) diwacanakan kembali menjadi kewenangan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Sejumlah politisi banyak menginginkan supaya MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara. Karena Pilpres langsung dinilai banyak mudhorotnya.
Ketua DPR Bambang Soesatyo misalnya. Ia menginginkan supaya dikaji lagi agar pilpres dilakukan oleh MPR. Pasalnya pemilihan Presiden secara langsung dianggap berbiaya tinggi.
Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo mengingatkan, agar Bamsoet tidak memaksakan keinginannya itu. Menurutnya, dari berbagai riset dan survei, mayoritas publik tetap menginginkan pemilihan langsung.
“Selain lebih demokratis, juga transparan. Mayoritas responden dalam berbagai survei justru banyak menginginkan pemilihan langsung,” ujar Karyono ketika dihubungi wartawan, Selasa (13/8/2019).
Argumentasi Bamsoet yang menyebut bahwa pemilihan langsung menimbulkan sentimen SARA, tak bisa menjadi alasan. Perlu ada instrumen hukum lain yang bisa menangani. “Tinggal dipertegas jika ada perilaku SARA, aparat hukum bertindak. Adapun soal biaya besar, masih banyak celah lain untuk efisiensi,” jelasnya.
Kalau ada kendala di Undang-undang sehingga Pemilu menimbulkan politik uang, politisiasi SARA dan sebagainya, kembali dia mengingatkan, tinggal dipertegas saja dari sisi hukumannya.
Karyono menyarankan, para politisi tidak asal bicara tanpa data dan fakta. Akan lebih baik, usul itu berdasar kajian. Ada ukuran jelas, lebih efisien mana di antara pemilihan langsung atau kembali ke MPR. “Jangan sembarangan kalau usul. Hanya bikin gaduh saja. Kaji dulu baru sampaikan sesuai kajian itu,” tegasnya.
Sebaiknya kata Karyono, politisi dalam membuat usulan mengkaji dari banyak sisi, ekonomi, sosial, dan budaya. “Tidak asal usul,” jelas Karyono.
Jangan sampai kata dia, pernyataan pemilihan presiden oleh MPR justru kontra produktif dan hanya membuat gaduh dan menuai polemik tak produktif. Sebaiknya politisi justru mengikuti apa yang diinginkan publik.
“Tak kalah penting, ada evaluasi jelas. Baik dari stekaholder, DPR, tokoh politik, akademisi, lembaga survei. Tidak bisa asal bicara,” pungkasnya.
Analis politik Jerry Sumampouw mempertanyakan wacana Bamsoet karena terlalu buru-buru dan tidak ada urgensinya. Ia curiga, ada motif politik lain. Untuk menaikkan posisi tawar. “Wajar kalau kemudian orang ada kepentingan politik,” kata dia ketika dihubungi wartawan.
Karena itu, ia melihat usul itu tak relevan dengan semangat publik yang ingin transparan dalam demokrasi. “Karena jika benar diterapkan, sebuah kemunduran politik jika hak pemilihan langsung masyarakat hilang kemudian dialihkan ke MPR yang rentan penyimpangan, seperti pernah terjadi di era Orde Baru,” terangnya.
Bambang mendorong lembaga survei untuk menguji respons masyarakat jika pemilihan presiden kembali menjadi kewenangan MPR. Bamsoet sendiri menilai sistem pilpres yang berlaku di Tanah Air saat ini memakan biaya yang besar.
“Pertanyaan saya, kenapa Cyrus Network juga tidak menguji kepada publik. Dengan kejadian kemarin apakah tidak sebaiknya Pilpres dikembalikan lagi ke MPR. Ini dipertanyakan ke publik,” kata Bamsoet, sapaan akrabnya, di Jakarta, Jumat (9/8/2019).
Hal itu disampaikan Bamsoet saat menghadiri pemaparan survei dari Cyrus Network. Bamsoet menilai Pemilu yang saat ini terlihat lebih ribet, banyak potensi ancaman perpecahan.
“Kalau begini ancamannya, kalau begini keruwetanya, kalau begini biayanya luar biasa, kenapa kok tidak dikembalikan ke MPR. Tapi kan ada keinginan beberapa orang juga,” ujarnya.
Bamsoet menyebut penyelenggaraan demokrasi di Indonesia harus berdasarkan sila ke-4 Pancasila. Politikus Golkar itu menilai sistem pilpres saat ini lebih banyak mudaratnya.
“Karena kita memiliki dasar filosofi sila keempat Pancasila, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyarawatan perwakilan. Itu dasar kita. Kita nggak perlu sok demokratis kaya barat, tapi kita punya budaya sendiri,” jelasnya.
Tujuan kita berdemokrasi, kata dia, tentunya untuk mensejahterakan rakyat. “Tapi kalau di sini menyengsarakan rakyat dengan kita saling gesek, saling fitnah, ini lebih banyak mudaratnya,” ulasnya.
Namun, Bamsoet mengaku tidak akan memaksakan wacana tersebut. Ia berharap para lembaga survei lebih dulu mengujinya langsung ke publik. “Kami di DPR, MPR harus mendengarkan suara rakyat, suara publik yang lebih banyak itu yang didahulukan,” ujarnya.
Dari mana indikasinya, dari tren awalnya dari survei kita ingin tahu. Kemudian dipetakan lagi di Jawa bagaimana, Sumatera, Kalimantan, bagaimana dengan pemetaan itu kita tahu sebetulnya keinginan masyarakat. (net/lin)
sumber: indopos.co.id