Akademisi dari Universitas Muhammadyah Kupang (UMK) Ahmad Atang mengatakan, wacana menaikkan ambang batas perolehan kursi di DPR perlu dicermati agar isu dibalik ambang batas tidak terselip niat yang lain.
semarak.co -Secara politik, nilai Atang, wacana menaikkan ambang batas perolehan kursi atau parlementary threshold (PT) perlu dicermati secara baik, agar isu dibalik ambang batas (PT) ini tidak terselip niat yang lain.
“Terkait wacana menaikkan ambang batas perolehan kursi di parlemen atau DPR mulai digulirkan kembali menjelang perubahan undang-undang pemilu, partai politik, dan MD3,” kata Ahmad Atang di Kupang, baru-baru ini.
Muncul gagasan agar ambang batas berlaku secara nasional, namun beda persentase peroleh kursi, yakni DPR pusat 7 persen, DPRD provinsi 5 persen dan DPRD kabupaten/kota 3 persen perolehan kursi.
Model ini menurut mantan pembantu Rektor I UMK itu, merupakan sebuah lompatan pemikiran yang cukup maju, agar partai politik mempersiapkan diri secara matang. Hal ini menuntut partai di daerah hingga pusat tidak hanya sekedar papan nama, namun memiliki militansi untuk memperkuat ruang kompetisi.
Dengan demikian, partai tidak dikelola hanya sekadar momen pemilu dan pilkada semata-mata, namun partai harus eksis sebagai representasi publik. Sungguhpun begitu, wacana tersebut muncul secara kencang justru dari partai papan atas, akan tetapi lemah dari partai papan tengan ke bawah.
Menurut dia, fenomena ini dapat terbaca pada dua sisi, yakni kenaikan ambang batas sebagai upaya untuk penyederhanaan partai agar lebih berkualitas, atau bagian dari strategi partai papan atas untuk menyingkirkan partai menengah dan kecil.
“Karena itu, secara politik, wacana dimaksud perlu dicermati agar isu dibalik ambang batas tidak terselip niat yang lain,” kata Ahmad Atang mengakhiri.
Pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang Marianus Kleden mengatakan, pemilu dengan sistem proporsional, baik tertutup maupun terbuka sama-sama memiliki kelemahan dan keunggulan.
“Kelemahannya adalah, banyak kader bagus di luar partai yang tidak bisa diakomodasi, dan keunggulannya kader partai dihargai dan anggota DPR lebih berkomitmen untuk bekerja bagi partai,” katanya, di Kupang, Senin (20/1/2020).
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unwira Kupang itu mengemukakan, berkaitan wacana yang digulirkan PDI Perjuangan agar pemilu kembali ke sistem proporsional tertutup.
Wacana itu mengemuka setelah PDI Perjuangan merumuskan sembilan rekomendasi dalam Rapat Kerja Nasional PDI Perjuangan pada Minggu (12/1/2020). Dalam rekomendasi itu, PDI Perjuangan hendak mengembalikan pemilu Indonesia kembali menggunakan sistem proporsional daftar tertutup.
“PDI Perjuangan ingin kembali ke sistem proporsional tertutup karena ingin lebih independen, dan lebih menghargai kader dalam proses penetapan calon legislatif dan eksekutif,” katanya.
Hanya saja, kelemahannya, banyak kader bagus di luar partai yang tidak bisa diakomodasi, dan keunggulannya kader partai dihargai dan anggota lebih berkomitmen untuk bekerja bagi partai, katanya menambahkan.
Pandangan sedikit berbeda disampaikan Ahmad Atang. Menurut dia, usulan kembali ke pemilu dengan sistem proporsional tertutup merupakan bagian dari keinginan PDI Perjuangan untuk mengambil kembali hak institusi partai dalam menentukan calon anggota legislatif.
“Dengan mengembalikan sistem proporsional tertutup ke proporsional terbuka, sebetulnya PDIP ingin mengambil kembali hak instutusi partai dalam menentukan caleg sesuai nomor urut,” kata Atang. (net/lin)