Visa dan Mastercard Panik, QRIS Santai Saja

QRiS. Foto: internet

Catatan Peristiwa: Agus M Maksum *)

Semarak.co – “QR Kecil dari Negeri Besar: Bagaimana Indonesia Mengajari Wall Street Membayar Kopi.” Sarah Williamson bukan sembarang orang. Lulusan terbaik MBA Harvard, 15 tahun berkarir di Wall Street, dan kini Wakil Presiden Divisi Pembayaran Digital Asia Pasifik di Goldman Sachs. Hidupnya penuh angka, grafik, dan jargon keren: “cross-border payment”, “merchant fee”, “global network”.

Bacaan Lainnya

Sampai suatu pagi, Juli 2025, ia dapat laporan yang membuatnya hampir tersedak latte. Visa dan Mastercard—dua raksasa kartu dunia—mulai panik. Alasannya? Sebuah kode QR kecil dari Indonesia. Sarah cerita, dulu ia menganggap Indonesia “negeri uang lusuh.”

“Sepuluh tahun lalu, saya ke Jakarta. Mesin kartu rusak di bandara, taksi hanya terima tunai, bahkan hotel bintang lima pun lebih suka uang kontan.”

Ia menyimpulkan cepat: negara berkembang harus ikut sistem kita.

Keyakinannya makin keras setelah kariernya meroket di Wall Street.

Lalu datang Juni 2025.

Kementerian Keuangan AS memanggilnya. “Investigasi sistem pembayaran Indonesia bernama QRIS,” kata pejabat itu serius.

“Ia menghalangi bisnis kartu Amerika.”

Sarah tertawa. QR buatan negara berkembang? Paling cuma gimmick murahan, pikirnya. Tapi laporan riset Goldman Sachs membuatnya bungkam:

* Volume transaksi QRIS kuartal pertama: Rp62 triliun.

* 56 juta pengguna aktif.

* 38 juta merchant.

Dan bukan cuma di Indonesia. QRIS sudah tembus Singapura, Malaysia, Jepang, bahkan Tiongkok. “Arab Saudi dan India pun lagi negosiasi,” kata analisnya.

Sarah terdiam. Ini bukan main-main. Ia terbang ke Jakarta. Tiba di Bandara Soekarno-Hatta—dan kaget. Kopi di bandara? Bayar pakai QRIS. Naik taksi? Sopir tanya, “Tunai, kartu, atau QRIS?” Hotel yang dulu susah kartu, kini pakai QRIS untuk semua layanan. “Lima detik, selesai,” kata Sarah.

Bayarannya lebih cepat dari senyuman kasir Starbucks di New York. Hari kedua, Sarah bertemu Andi Pratama, direktur pembayaran digital Bank Indonesia. Lulusan MIT, mantan Silicon Valley. Andi menjelaskan:

* Biaya transaksi QRIS 0,7%. (Visa/Mastercard 3–5%)

* Transfer langsung antar-bank.

* Semua berbasis standar global EMVCo.

Dan yang paling mengejutkan:

“QRIS bukan sekadar teknologi. Ini inklusi keuangan. Dari warung kaki lima sampai hotel bintang lima, semua bisa pakai,” kata Andi.

Sarah ikut Andi ke Pasar di Kawasan Menteng. Di sana ia bertemu Ibu Sari, nenek 70-an penjual mangga. Ibu Sari mengangkat ponsel, menunjukkan stiker QR. Scan. Klik. Bayarannya masuk. “Penjualan saya naik 40% sejak pakai QRIS,” kata Ibu Sari.

“Tidak takut uang palsu. Tidak repot kembalian.”

Sarah menatap nenek itu lama-lama. Inovasi ini nyata. Dan ia lahir bukan di Wall Street—tapi di pasar tradisional Jakarta. Di rapat resmi Bank Indonesia dan Pemerintah, Pejabat Indonesia bicara tenang: “Kami tak menutup diri. Visa dan Mastercard boleh ikut. Tapi rakyat Indonesia memilih layanan yang lebih baik.”

Sarah akhirnya angkat tangan: “Saya datang dengan prasangka. Tapi setelah melihat sendiri… Amerika harus belajar dari QRIS.”

Ruang rapat hening. Menteri tersenyum. Di luar, Visa dan Mastercard panik. QRIS? Santai saja… Karena ternyata, kode QR kecil dari negeri besar ini diam-diam sedang mengajari Wall Street… Cara membayar kopi ☕️

 

Sumber: WAGroup PAK ANIES UNTUK INDONESIA PEROBAHAN (postKamis31/7/2025/)

Pos terkait