Oleh Mustolih Siradj *
semarak.co-Sudah memasuki tahun 2021 pandemi Covid-19 yang melanda dunia belum juga kunjung ada tanda-tanda akan benar-benar mereda. Di beberapa negara pagebluk ini justru cenderung mengalami grafik terus menanjak.
Negara maju seperti Jepang tengah bersiap menghadapi gelombang ketiga yang akan mendorong kenaikan kasus virus corona secara signifikan pada klaster sosial ekonomi pada periode tertentu, utamanya di tempat kerja.
Padahal sebelumnya negera Sakura ini berhasil menekan laju kasus Covid-19. Pemerintah Inggris baru-baru ini menaikkan kesiapsiagaan setelah berhasil mendeteksi jenis varian baru mutasi Covid-19.
Otoritas penasihat kesehatan negara Ratu Elizabet tersebut menyebut varian mutasi baru virus penyebab Covid-19 di negara itu memiliki tingkat penularan yang lebih tinggi, lebih mematikan, dan pergerakan penularan yang lebih cepat. Virus varian baru ini bahkan sudah sampai di Italia.
Lembaga kesehatan dunia WHO terus memantau dan bersiap siaga. Di Indonesia, berdasarkan data-data harian yang disampaikan Satgas Penanggulangan Covid-19 terus mengalami kenaikan signifikan jumlah penduduk yang mengalami positif Covid-19 terutama di DKI Jakarta.
Bahkan diperkirakan beberapa minggu setelah libur panjang Nataru lalu, akan ada ‘bonus besar’ masyarakat yang positif Covid-19 yang menyebar melalui klaster pariwisata dan keluarga yang diprediksi akan terus meluas.
Kabar kurang baik ini makin mengkhawatirkan manakala ketersediaan kamar isolasi makin menipis. Kondisi ini bisa akan terus memburuk jika masyarakat abai dengan protokol kesehatan.
Akibat Covid-19 secara nyata dan jelas telah benar-benar memukul berbagai sektor kehidupan khususnya ekonomi karena ruang gerak masyarakat dibatasi demi memutus atau setidaknya menghambat penyebaran penularan yang lebih masif.
Baru-baru ini bahkan Menko Perekonomian mengumumkan kebijakan baru pembatasan secara ketat untuk wilayah Jawa dan Bali. Pembatasan kegiatan ekonomi akibat pandemi Covid-19 mengakibatkan banyak pelaku usaha tumbang alias bangkrut dan harus gulung tikar, PHK karyawan di mana-mana, angka penggangguran terus merangkak naik, daya beli lesu sedangkan kebutuhan hidup terus meningkat.
Keadaan ini makin terasa jika menilik beranda (timeline) media sosial akan terlihat jelas kabar silih berganti kerabat, sahabat, kiai, tokoh masyarakat bahkan pejabat publik menyatakan diri positif Covid-19 atau bahkan menghadap Sang Pencipta karena serangan virus tersebut.
Secercah harapan mulai datang, masyakakat saat ini menyandarkan masa depan kehidupan pada langkah pemerintah untuk mengakhiri krisis kesehatan yang sudah berlangsung selama berbulan-bulan ini melalui program vakasinasi nasional secara serentak dan bertahap yang akan dimulai pertengahan Januari ini.
Diharapkan kebijakan ini bisa meningkatkan daya tahan kesehatan masyarakat membendung laju penularan dan penyebaran Covid-19. Mereka yang telah divaksin akan memiliki kekebalan (imunitas) sehingga tidak mudah rontok diserang virus Covid-19 dan secara bersama-sama segera bisa bangkit, sehat dan keluar dari tekanan hidup.
Program vaksinasi diperkirakan akan berlangsung selama 1,5 tahun untuk menjangkau 181 juta penduduk. Pemerintah menerapkan skala prioritas siapa saja pihak-pihak yang akan mendapatkan vaksin pada gelombang pertama dan tahap berikutnya.
Mereka yang mendapatkan vaksinasi lebih dulu adalah dokter, perawat dan tenaga kesehatan karena kelompok ini selama ini menjadi ujung tombak dan berada di garda terdepan menghadapi pandemi sehingga wajar bila diutamakan.
Berikutnya TNI, Polri dan para guru, tahap selanjutnya masyarakat umum. Seluruh biaya vaksinasi nasional ini dibiayai melalui skema dana APBN yang menelan biaya kurang lebih Rp.74 triliun.
Angka tersebut tentu saja cukup menguras dan menekan keuangan negara. Tapi apa boleh buat, tidak ada pilihan lain. Karena situasi saat ini kesehatan dan nyawa masyarakat menjadi taruhan, semakin cepat vaksinasi dilakukan, akan semakin baik.
Jika vaksinasi tidak segera dilakukan maka kondisi lebih buruk membayang-bayangi situasi negeri ini. Sederhananya, masyarakat sehat negara kuat. Sebaliknya bila masyarakat sakit maka negara akan terancam sekarat karena tidak bisa berjalan optimal akibat tidak produktif.
Belakangan muncul alternatif pandangan di kalangan masyarakat agar pemerintah membuka kran untuk vaksinansi jalur mandiri tidak hanya semata-mata mengandalkan program pemerintah tetapi juga membuka pintu layanan dari pihak swasta dengan beberapa pertimbangan.
Pertama, beban keuangan negara setelah dihantam Covid-19 selama berbulan-bulan sudah sangat berat, dengan adanya jalur mandiri maka vaksinasi gratis bisa diprioritaskan untuk masyarakat yang secara ekonomi kurang mampu dan aparat negara serta kelompok-kelompok yang rentan. Keuangan negara akan lebih efesien.
Kedua, fasilitas kesehatan yang dimiliki keterbatasan butuh kerja sama dengan fasilitas kesehatan swasta. Ketiga, vaksinasi secara mandiri bisa mempercepat dan memangkas waktu program vaksinasi nasional yang dicanangkan pemerintah.
Keempat, vaksinasi mandiri yang nantinya digalang kalangan swasta bisa memberikan efek tidak langsung yang positif mendorong percepatan perekonomian nasional agar cepat bergeliat.
Memang terselip kekhawatiran jika nantinya dibuka vaksinasi jalur mandiri bisa memunculkan persaingan yang tidak sehat di kalangan pelaku usaha, spekulam pemain harga, memunculkan kelompok kartel maupun penurunan kualitas atau ketidakseragaman standar kualitas vaksin yang beredar di pasar.
Jika itu yang jadi masalah maka Pemerintah melalui Satgas Covid-19 bisa menggandeng lembaga-lembaga seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Polri, TNI dan BPOM untuk mencegah dan menanggulangi benalu program nasional vaksinasi. Partisipasi publik juga bisa dilibatkan sebagain bagian dari pengawasan dan kontrol.
Namun, sementara pemerintah sedang berjuang keras merealisasikan program vaksinasi secara nasional, ada sekelompok kecil masyarakat yang masih coba-coba menggalang kampanye negatif dengan meragukan kualitas vaksin bahkan yang terang-terang-terangan melakukan gerakan menolak vaksinasi sama sekali yang dilakukan melalui media sosial dengan narasi-narasi konspirasi.
Hal ini tentu sangat disayangkan mengingat vaksinasi adalah upaya perintah untuk mengembalikan kesehatan masyarakat mencegah krisis kesehatan yang bisa menjalar ke krisis ekonomi. Mereka yang enggan divaksin bisa mudah terserang Covid-19 atau setidaknya bisa menjadi carrier.
Keengganan kelompok tersebut sebetulnya juga patut dipertanyakan mengingat sebelum vaksinasi dilakukan, produk vaksin dikawal oleh BPOM, Komite Nasional Penilai Obat dan ITAGI yang memastikan aspek keamanan, efektivitas dan mutu vaksin. Tidak hanya sampai di situ, MUI juga dilibatkan untuk menjaga aspek kehalalannya.
Meski ada riak-riak kecil gerakan kontranarasi program vaksinasi nasional, namun demikian kelompok semacam ini tidak perlu tangani aparat secara berlebihan apalagi dengan pendekatan represif. Mereka harus terus diedukasi secara masif, intens, dan terus-menerus. Karena bisa jadi kelompok semacam ini minim literasi kesehatan atau korban dari sebaran berita-berita yang tidak bertanggung jawab (hoaks).
Intinya, vaksinasi merupakan kebutuhan mendasar yang tidak bisa ditawar-tawar lagi agar masalah kesehatan yang selama ini membelit masyarakat benar-benar bisa segera dilepaskan.
Apapun skema vaksinasinya baik hanya dilakukan oleh pemerintah sebagain pemain tunggal (monopoli) maupun dibuka jalur mandiri masyarakat sudah siap menyambutnya. Namun begitu, harus menjadi kesadaran bersama bahwa vaksinasi akan benar-benar efektif apabila protokol kesehatan tetap dijalankan secara benar dan konsisten.
*) penulis adalah Advokat-Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta
sumber: nu.or.id (Sabtu 9 Januari 2021 07:00 WIB)