Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makariem meluncurkan empat program kebijakan pendidikan Merdeka Belajar. Salah satu isinya menghapus Ujian Nasional (UN) mulai 2021.
Padahal penghapusan UN ini sudah jadi bahan debat calon presiden (Capres) Maret 2019, lalu, seperti disampaikan calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 02 Sandiaga Uno yang berpasangan dengan capres Prabowo Subianto (sekarang Menteri Pertahanan/Menhan). Walau tentu alasan dan konsepnya berbeda tujuan dan maksud.
Nadiem mengatakan pada 2020 penyelenggaraan Ujian Sekolah Berbasis Nasional (USBN) akan diterapkan dengan ujian yang diselenggarakan hanya oleh sekolah. Ujian tersebut dilakukan untuk menilai kompetensi siswa yang dapat dilakukan dalam bentuk tes tertulis atau bentuk penilaian lainnya yang lebih komprehensif, seperti portofolio dan penugasan (tugas kelompok, karya tulis, dan sebagainya).
“Kita memberikan kemerdekaan dari guru bagi guru-guru penggerak di seluruh Indonesia untuk menciptakan penilaian yang lebih holistik yang benar-benar menguji kompetensi dasar kurikulum kita bukan hanya atau khayalan saja,” kata Nadiem Makarim dalam rapat koordinasi bersama Menko PMK dan Kadisdik seluruh Indonesia di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu (11/12/2019).
Jika kepala dinas pendidikan di daerah sudah terlanjur mengajukan anggaran untuk USBN, anggaran tersebut bisa dialihkan untuk mengembangkan kapasitas guru dan sekolah, serta meningkatkan kualitas pembelajaran.
Sementara untuk UN, tahun 2020 merupakan pelaksanaan UN untuk terakhir kalinya. Penyelenggaraan UN tahun 2021, akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter.
“Ini sudah menjadi beban stres bagi banyak sekali siswa guru dan orang tua karena sebenarnya ini berubah menjadi indikator keberhasilan siswa sebagai individu, padahal maksudnya Ujian Nasional berstandar nasional adalah untuk mengakses sistem pendidikan,” jelas bos Gojek.
Pelaksanaan ujian tersebut akan dilakukan oleh siswa yang berada di tengah jenjang sekolah misalnya kelas 4, 8, 11, sehingga dapat mendorong guru dan sekolah untuk memperbaiki mutu pembelajaran.
Hasil ujian ini tidak digunakan untuk basis seleksi siswa ke jenjang selanjutnya. “Arah kebijakan ini juga mengacu pada praktik baik pada level internasional seperti PISA dan TIMSS,” tutup Nadiem.
Sedangkan untuk penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Kemendikbud akan memangkas beberapa komponen. Dalam kebijakan baru ini guru bebas memilih, membuat, menggunakan, dan mengembangkan format RPP.
Tiga komponen inti RPP terdiri dari tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen. “Penulisan RPP dilakukan dengan efisien dan efektif sehingga guru memiliki lebih banyak waktu untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran itu sendiri. Satu halaman saja cukup,” kata Nadiem.
Selain itu, dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), Kemendikbud tetap menggunakan sistem zonasi dengan kebijakan yang lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah. Komposisi PPDB jalur zonasi dapat menerima siswa minimal 50 persen, jalur afirmasi minimal 15 persen, dan jalur perpindahan maksimal 5 persen.
Sedangkan untuk jalur prestasi atau sisa 0-30 persen lainnya disesuaikan dengan kondisi daerah. “Daerah berwenang menentukan proporsi final dan menetapkan wilayah zonasi,” ujar Nadiem.
Nadiem berharap pemerintah daerah dan pusat dapat bergerak bersama dalam memeratakan akses dan kualitas pendidikan di Indonesia. “Pemerataan akses dan kualitas pendidikan perlu diiringi dengan inisiatif lainnya oleh pemerintah daerah, seperti redistribusi guru ke sekolah yang kekurangan guru,” katanya.
Seperti diberitakan, cawapres nomor urut 02 Sandiaga Uno mengatakan dalam debat ketiga Pilpres 2019 bahwa bila dirinya dan Prabowo terpilih, maka ujian nasional akan dihapus.
Sebagai gantinya, Sandi mengatakan pelajar akan menjalani konsep penelusuran minat dan bakat. “Kami pastikan bahwa ujian nasional dihentikan dan diganti dengan penelusuran minat dan bakat,” kata Sandi dalam debat yang digelar di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/3/2019).
Dia juga menjanjikan sistem pendidikan yang tuntas dan berkualitas. Selain itu sistem pendidikan akan diarahkan untuk fokus ke akhlakul karimah. Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu juga berjanji menyediakan pendidikan murah. Namun kesejahteraan guru, khususnya honorer, akan jadi fokus Prabowo-Sandi.
Di bidang pendidikan, pendidikan tuntas berkualitas meningkatkan kualitas guru, terutama guru honorer. Sandiaga mengatakan pihaknya akan memperbaiki kurikulum agar fokus pada akhlak yang mulia. “Kami juga punya konsep sekolah “link and match” yang mana pemberi lapangan kerja tersambung dengan lembaga pendidikan,” ujarnya.
Sejak 2015, ujian nasional tidak lagi dijadikan penentu kelulusan dan lebih memprioritas Indeks Integritas ujian nasional atau IIUN. UN dijadikan untuk pemetaan pendidikan. Nilai UN juga mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Rerata nilai UN SMP yang terus mengalami penurunan dari 61,81 pada tahun pelajaran 2014/2015 turun menjadi 50,80 pada tahun pelajaran 2017/2018.
Hal serupa juga dialami rerata nilai UN SMA/MA dari 58,27 pada 2014/2015 turun menjadi 50,80 pada tahun ajaran 2017/2018. Untuk SMK juga mempunyai kecenderungan serupa yakni terus turun dari 62,15 pada 2014/2015 menjadi 45,21 pada 2017/2018.
Namun usulan Sandiaga itu langsung direspon beragam dukungan maupun kontra. Pengamat politik dari Indonesia Public Institute Jerry Massie menilai pernyataan Sandiaga adalah konsep yang kurang jelas.
“Apalagi Sandiaga mengatakan akan menggantinya dengan penelusuran minat dan bakat. Ini konsep yang kurang jelas,” kata Jerry Massie melalui telepon selulernya, Senin (18/3/2019).
Menurut Jerry, Indonesia adalah negara besar dengan jumlah penduduk terbanyak ketiga di dunia setelah China dan India, sehingga tidak mudah untuk mengganti UN yang sudah dilaksanakan sejak lama di Indonesia.
Sejarah UN, menurut Jerry, mulai dari Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) pada 1980-2001, ujian akhir nasional (UAN) pada 2002-2004, kemudian UN pada 2005 hingga saat ini. “Apalagi jika UN dihapus dan diganti dengan penelusuran minat dan bakat, maka menjadi tidak jelas. Saya kurang setuju dengan pernyataan itu,” katanya.
Jerry menambahkan, dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mengatur secara jelas bahwa minat dan bakat sebaiknya menjadi pelajaran tambahan dalam kurikulum di sekolah.
Menurut dia, mata pelajaran di sekolah ada yang berbasis ilmu murni dan ilmu terapan. “Kalau UN dihapus, maka tidak perlu ada mata pelajaran matematika, IPA, dan IPS,” ujar Jerry.
Jerry menilai, pernyataan Sandiaga soal wacana menghapus UN tersebut, kurang masuk akal, karena berbeda antara mata pelajaran dengan keahlian dan bakat.
Jerry juga menyayangkan, Sandiaga hanya menyebut, jika terpilih untuk memimpin Indonesia selama lima tahun ke depan akan menghapus UN dan menggantinya dengan penelusuran minat dan bakat, tanpa memberikan penjelasan konsep penelurusan minat dan bakat.
“Pernyataan Pak Sandiaga hanya seperti pembukaan dan perkenalan. Hanya menyebut nama program tanpa penjelasan,” katanya.
Direktur Program Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin Aria Bima malah sedikit menyempurnakan usulan tersebut. Aria Bima mengatakan ide Sandiaga soal UN justru didukung bila UN tidak lagi dilakukan setiap tahun. Nantinya UN bisa diselenggarakan dalam periode tertentu.
“Sangat mungkin, kenapa tidak? Yang penting mungkin tidak perlu dihapus, tapi tidak setiap tahun kita adakan. Mungkin dua tahun apa empat tahun sekali,” ucap Aria di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/3/2019).
Namun, dia menilai alasan penghapusan UN harus jelas. Jika memang menyangkut pemborosan, Sandiaga harus menyebutkan angka pemborosan negara. Menurut Aria, pada dasarnya UN sudah tidak membebani siswa. UN sudah tidak dijadikan satu-satunya penentu siswa mendapat kelulusan. “UN itu sekarang sudah selesai,” tegasnya lagi.
Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Eddy Soeparno sepakat dengan usulan cawapres nomor urut 02 Sandiaga Uno yang ingin menghapuskan Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan. Menurut Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi ini menegaskan UN hanya memberi beban kepada siswa.
“Sementara apa yang kita lakukan sekarang tidak hanya membutuhkan ujian yang memang bisa dilaksanakan oleh siswa-siswa kita itu yang bisa membawa manfaat untuk jurusan yang mereka ambil berikutnya,” ucap Eddy di lokasi yang sama.
Eddy menegaskan UN sudah tidak relevan dengan pilihan mahasiswa. Ada beberapa orang yang sudah menetapkan pilihannya setelah lulus SMA untuk memilih jurusannya. Ujian kelulusan seharusnya bisa menguatkan pilihan mereka.
“Adanya UN sekarang ini menambah beban daripada siswa dari affect pendidikan. UN untuk pendidikan SMA tidak menambah manfaat bagi mereka yang sudah mengetahui jurusan apa yang diambil bagi pendidikan tinggi. Jadi kami menganggap itu lebih praktis,” tegasnya lagi.
Pada Debat Ketiga Pilpres 2019, Minggu (17/3/2019) malam, cawapres nomor urut 02 Sandiaga Uno memaparkan visi dan misi di bidang pendidikan di mana kurikulum juga menjadi perhatian utama. Terobosan program yang akan dilakukan yakni penghapusan sistem Ujian Nasional (UN).
“Kurikulum kita perbaiki agar memiliki fokus pada pembangunan karakter akhlakul karimah bahwa ujian nasional akan dihentikan dan digantikan dengan penerusan minat dan bakat,” ujar Sandiaga pada segmen 1 Debat Ketiga Pilpres 2019, Minggu (17/3/2019).
Namun dukungan pada Nadiem muncul dari kalangan akademisi, seperti dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Nanang Martono menilai wacana Mendikbud Nadiem yang akan mengganti UN dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter merupakan langkah yang tepat. “Wacana Mendikbud hapus UN sudah tepat,” katanya di Purwokerto, Banyumas, Jumat (13/12/2019).
Nanang yang merupakan dosen sosiologi pendidikan FISIP Unsoed tersebut mengatakan pelaksanaan UN memang sebaiknya dihentikan. “Pasalnya, berdasarkan pelaksanaan UN pada tahun-tahun sebelumnya pemerintah sudah dapat memetakan persebaran atau pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia,” katanya.
Dia menambahkan berdasarkan pemetaan tersebut, maka UN dapat dihentikan agar pemerintah dapat lebih fokus pada penyelesaian problematika pendidikan yang lain. “Misalnya pemerataan sarana pendidikan, pengembangan karakter, peningkatan kualitas guru, termasuk peningkatan kesejahteraan guru,” katanya.
Dia mengatakan jika problem-problem tersebut telah tertangani dengan baik maka bisa saja mekanisme ujian nasional kembali dilaksanakan. Selain itu, kata dia, anggaran yang sebelumnya dipergunakan untuk pelaksanaan UN dapat dialihkan untuk prioritas pendidikan yang lain.
Sebelumnya, pengamat kebijakan publik dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Dr. Slamet Rosyadi juga mengapresiasi wacana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim yang akan mengganti UN dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
“Saya sangat mendukung langkah Mendikbud karena UN menurut saya belum menjadi alat ukur kompetensi yang terukur. UN pada awalnya ditujukan untuk pemetaan kemampuan siswa. Namun menurut saya pada kenyataannya belum ada intervensi kebijakan untuk mengurangi kesenjangan pendidikan antardaerah,” katanya.
Dia menambahkan diperlukan metode yang lebih efektif dalam mengukur kompetensi siswa. “Jadi saya sepakat dengan Mendikbud yang berencana mengubah UN dengan metode lain yang betul-betul mengukur kompetensi siswa,” katanya.
Dia berharap, program Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter akan mendapatkan respons positif dari para peserta didik. “Program tersebut diharapkan mendapatkan respons positif dan membuat siswa makin bersemangat dalam menggali dan meningkatkan kompetensi diri,” katanya. (net/lin)
bari berbagai sumber media internet