Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) menilai usulan Kementerian negara Koperasi (Kemenkop) dan UKM layak ditingkatkan fungsinya menjadi Kementerian Koordinator (Kemenko) Ekonomi Rakyat harus dilihat dari berbagai perspektif. Misalnya, masalah masih kuatnya ego sektoral kementerian. Sementara koperasi tidak jamannya lagi merengek menuntut fasilitas apa pun.
Ketua Harian Dekopin Agung Sudjatmoko mengatakan, pada perspektif undang-undang dalam UU No 39 Tahun 2008 memang Kementerian Koperasi dan UKM masuk kategori level III, yaitu kementerian yang mempunyai tugas mengkoordinasikan penajaman visi misi presiden. Sehingga keberadaanya tergantung penting tidaknya visi misi presiden tentang koperasi dan UKM.
“Berikutnya eksistensi kementerian kaitan dengan koordinasi lintas sektor. Dengan sistem pembagian tugas dan kewenangan yang disebar di beberapa kementerian berdasarkan sector, hal ini membutuhkan koordinasi, singkronisasi, dan sinergi antarkementerian untuk memberdayakan koperasi dan UKM,” ujar Agung dalam pesan elektroniknya, Kamis (10/8).
Pada sisi ini, lanjut Agung, permasalahan yang ada, yaitu masih kuatnya ego sektoral kementerian untuk memperkuat peran koperasi dalam berbagai sektor pembangunan ekonomi rakyat. “Bagian ketiga, ketidakadilan dan kesalahan dalam membuat budget policy. Terkait dengan butir satu dan dua sebelumnya, konsekuensi logis pelaksana pembangunan ada pada alokasi sumber daya pembangunan yang dikelola kemenerian,” ujar Agung sambil memberi contoh.
Alokasi anggaran Kemenkop yang hanya Rp 980 miliar, kata dia, dibanding total anggaran negara sebanyak 2.100 triliun, ini jumlah yang sangat kecil. “Jika alokasi anggaran yang Rp 980 miliar untuk menjalankan tupoksi Kemenkop membina 152 ribu koperasi aktif dan 57 juta UMKM, maka anggaran yang teralokasikan tersebut jelas tidak akan memberikan dampak yang signifikan untuk memberdayakan koperasi dan UKM,” sindirnya.
Belum lagi alokasi anggaran Kemenkop dan UKM itu, kata dia, untuk dana rutin membayar gaji dan operasional kementerian. “Jadi dengan posisi kementerian koperasi seperti sekarang, memang tidak bisa diharapkan banyak pemerintah membangun koperasi, dan memang koperasi maju bukan oleh pemerintah tetapi oleh koperasi itu sendiri,” ulasnya.
Di tengah masalah tidak jalanya secara optimal koordinasi dan singkrobisasi antar kementerian dalam pembangunan, kata dia, bukan hanya di sektor koperasi. “Ada pemikiran kementerian koperasi menjadi Kemenko boleh saja. Tapi faktor menghilangkan ego sektor dan kekuatan kepemimpinan presiden menjadi orkestra pembangunan serta keberpihakan pemerintah menjadi syarat mutlak untuk keberhasilan sektor-sektor pembangunan,” tulis Agung.
“Toh dibanyak negara yang koperasinya besar dan kuat justru tidak ada kementerian koperasinya, tetapi pemangku kepentingan yang ada mempunyai komitmen dan keberpihakan membangun koperasi melalui regulasi, fasilitasi dan promosi ke koperasi yang sangat kuat,” bebernya.
Sekali lagi, kata dia, di alam demokrasi wacana itu boleh saja. Tapi membangun koperasi menjadi kewajiban insan koperasi itu sendiri. Jadi proses kesadaran bersama menyatukan potensi ekonomi, social dan budaya anggota, partisipasi ekonomi anggota, pendidikan, membangun kepercayaan bersama di koperasi, transaparansi pengelolaan koperasi dan penguatan bisnis koperasi merupakan kewajiban insan koperasi.
“Di era sekarang tidak boleh koperasi selalu menuntut dan merengek meminta fasilitasi. Era sekarang era dimana membangun kemandirian dan kebersamaan serta kerjasama antarkoperasi harus diperkuat, karena itulah kunci keberkasilan koperasi memberikan kesejahteraan untuk anggotanya,” ujarnya sambil menyebut program utama Dekopin.
Saat ini Dekopin mendorong koperasi untuk: 1) koperasi fokus melakukan usaha, 2) konsolidasi bisnis usaha dan potensi ekonomi anggota, 3) modernisasi manajemen pengelolaan koperasi 4) peningkatan profesionalisme sdm koperasi dan 5) sinergitas kerjasama antar koperasi dan koperasi dengan usaha lainya.
Sebelumnya pengamat koperasi Suroto mengklaim, Kemenkop dan UKM layak ditingkatkan menjadi Kemenko Ekonomi Rakyat. Pasalnya, fungsi Kemenkop dan UKM selama ini selalu dianggap sebagai Kementerian yang dikhususkan untuk mengurusi Koperasi dan UKM. Sementara tanggungjawab pemberdayaan koperasi dan UKM di Kementerian dan Lembaga Negara lainya tidak diperhatikan. “Padahal masalah krusialnya itu bagaimana pengembangan koperasi di seluruh sektor ekonomi,” ujar Suroto dalam sebuah diskusi, di Jakarta, Rabu (9/8).
Ketua Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (AKSES) ini mencontohkan, masalah pemberdayaan nelayan. “Petambak itu kan ada di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Masalah peternakan dan pertanian ada di Kementan. Masalah perindustrian rakyat ada di Kementerian Perindustrian. Masih banyak lagi yang kalau dilihat Kementerian-kementerian itu beberapa hanya menempatkan fungsi perkoperasiannya, di tingkat eselon tiga atau empat. Tidak jadi komitmen serius dari Kementerian atau Lembaga (K/L),” paparnya.
Akibatnya, nilai dia, masalah nelayan, petani, petambak, perajin, pedagang kecil dan basis kehidupan ekonomi rakyat selama ini, seakan semuanya ditumpukan ke Kementerian Koperasi dan UKM. Sementara Kementerian lainya seolah cuci tangan. Bahkan, ada yang memunculkanya sebagai ego sektoral. Contohnya, Kementerian Desa dan PDT yang mengabaikan entitas badan hukum koperasi ketika mengembangkan BUMDes. (ilc/lin)