Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan permasalahan dalam pengelolaan anggaran yang digunakan untuk penanganan Covid-19 senilai Rp2,94 triliun. Dana itu masuk dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
semarak.co-Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan, permasalahan itu ditemukan lembaganya dari 241 objek pemeriksaan yang terkait dengan Program Penanganan Covid-19 dan PEN. BPK, kata Agung, telah melakukan pemeriksaan komprehensif terhadap 241 objek pemeriksaan terkait Program Penanganan COVID-19 (PC) dan PEN.
“BPK menemukan dana senilai Rp2,94 triliun untuk PC-PEN bermasalah. Pemeriksaan dilaksanakan terhadap 27 kementerian dan lembaga, 204 pemerintah daerah, dan 10 BUMN, dan badan lainnya,” kata Agung dalam Workshop Anti Korupsi daring bertajuk Deteksi dan Pencegahan Korupsi di Jakarta, seperti dilansir cnnindonesia.com/ekonomi/20210914.
Permasalahan terkait dana PC PEN yang ditemukan BPK tersebut meliputi 887 kelemahan sistem pengendalian intern, 715 ketidakpatuhan terhadap ketentuan Undang-Undang, dan 1.241 permasalahan terkait keekonomian, efisiensi, dan efektivitas.
“Dalam pemeriksaan PC PEN selama tahun 2020 tersebut, BPK mengidentifikasi sejumlah masalah terkait identifikasi dan kodifikasi anggaran PC PEN, serta realisasinya. Kemudian pertanggungjawaban dan pelaporan PC PEN, dan manajemen program dan kegiatan pandemi,” tutur Agung.
Untuk mengatasi masalah tersebut, menurutnya, BPK telah memberi rekomendasi antara lain agar pemerintah menetapkan grand design rencana kerja satuan tugas penanganan COVID-19 yang jelas dan terukur.
Kemudian ia berharap pemerintah menyusun identifikasi kebutuhan barang dan jasa dalam penanganan covid-19, memprioritaskan penggunaan anggaran untuk program PC PEN, dan menetapkan kebijakan serta prosedur pemberian insentif bagi pelaku usaha terdampak covid-19.
BPK juga merekomendasikan pemerintah untuk membuat perencanaan distribusi, pemenuhan distribusi, serta pelaporan distribusi alat kesehatan. Di samping itu, harga alat kesehatan dari rekanan pemerintah juga diminta untuk diuji terlebih dahulu.
Selanjutnya BPK merekomendasikan pemerintah melakukan validasi dan pemutakhiran data penerima bantuan by name by addres, serta menyederhanakan proses dan mempercepat waktu penyaluran bantuan ke penerima akhir.
Kemudian pemerintah direkomendasikan untuk memperkuat pengawasan dan pengendalian penyaluran dana PC PEN, serta memproses kerugian yang berpotensi dialami pemerintah daerah dan pusat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Kita menghadapi situasi luar biasa. Karena itu BPK mendukung upaya pemerintah yang merespons dengan langkah luar biasa. Namun sejak awal BPK mengingatkan adanya resiko yang perlu diidentifikasi dan dimitigasi agar langkah pemerintah menghadapi pandemi dan memulihkan ekonomi nasional dapat dilakukan secara transparan, akuntabel, ekonomis, efisien, dan efektif,” ucap Agung.
Kemudian ia berharap pemerintah menyusun identifikasi kebutuhan barang dan jasa dalam penanganan COVID-19, memprioritaskan penggunaan anggaran untuk program PC PEN, dan menetapkan kebijakan serta prosedur pemberian insentif bagi pelaku usaha terdampak COVID-19.
Sebelumnya sempat trending berita Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaporkan, sebanyak 70,3% harta kekayaan para pejabat negara naik selama setahun terakhir atau di masa pandemi Covid-19. Termasuk Presiden Joko Widodo, Menko Marvest Luhut B Pandjaitan, Menteri KKP Trenggono, dll.
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengatakan, laporan kenaikan itu tercatat setelah pihaknya melakukan analisis terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) pada periode 2019-2020.
“Kita amati juga selama pandemi, setahun terakhir ini, secara umum penyelenggara negara 70,3 persen hartanya bertambah,” kata Pahala dalam webinar LHKPN di YouTube KPK, Selasa (7/9/2021) seperti cnnindonesia.com/20210907/ 21:05 WIB.
Dia mengatakan, kenaikan paling banyak terlihat pada harta kekayaan pejabat di instansi kementerian dan DPR yang angkanya mencapai lebih dari Rp1 miliar. Sedangkan, di tingkat legislatif dan eksekutif daerah, penambahannya masih di bawah Rp1 miliar.
Meski sebagian besar tercatat mengalami kenaikan, KPK juga mencatat penurunan harta kekayaan pada 22,9% pejabat di hampir semua instansi. Namun, penurunan paling banyak terlihat pada kekayaan pejabat legislatif daerah tingkat kabupaten kota.
“Kita pikir pertambahannya masih wajar. Tapi ada 22,9 persen yang justru menurun. Kita pikir ini yang pengusaha yang bisnisnya surut atau bagaimana. Kenaikan pada LHKPN bukanlah dosa, selama masih dalam statistik yang wajar,” terangnya.
Kenaikan harta kekayaan, kata dia, tak menunjukkan seorang pejabat adalah koruptor. Sebab boleh jadi, kenaikan tersebut karena ada apresiasi nilai aset. Selain itu, dia menerangkan, ada beberapa sebab lain harta kekayaan seorang pejabat naik.
Antara lain, penambahan aset, penjualan aset, pelunasan pinjaman, hingga harta yang baru dilaporkan. “Misalnya saya punya tanah, NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) naik, maka di LHKPN, saya laporkan naik. Jadi, tiba-tiba LHKPN saya tahun depan naik jumlahnya,” kata dia.
Meski begitu, pihaknya tetap mewaspadai kenaikan harta kekayaan karena hibah. Sebab, katanya, bila seorang pejabat secara rutin menerima hibah, maka harta kekayaannya patut dipertanyakan. “Kalau hibah rutin dia dapat dalam posisi sebagai pejabat, kita harus pertanyakan. Ini kenapa kok banyak orang baik hati memberikan hibah, kepada yang bersangkutan,” kata Pahala.
Dalam laporan harta kekayaan para penyelenggara negara meningkat selama pandemi virus Covid-19, salah satunya Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal itu tercantum dalam LHKPN. Berdasarkan laporan periodik 2020 yang disampaikan pada 12 Maret 2021, total harta Jokowi mencapai Rp 63.616.935.818 atau Rp 63,6 miliar.
Harta Jokowi terdiri dari 20 tanah dan bangunan senilai Rp 53.281.696.000. Sebanyak 19 tanah dan bangunan Jokowi tersebar di berbagai daerah Jawa Tengah dan satu bangunan senilai Rp3,5 M di Kota Jakarta Selatan.
Selanjutnya, alat transportasi dan mesin senilai Rp 527.500.000. Untuk kendaraan, Jokowi memiliki tujuh mobil dan satu motor. Lalu, harta bergerak lainnya senilai Rp 357.500.000, kas dan setara kas senilai Rp 10.047.790.536. Jokowi juga memiliki hutang senilai Rp 597.550.718.
Dibandingkan 2019, harta kekayaan Jokowi ini mengalami kenaikan sekitar Rp 8,9 miliar. Pada tahun 2019 lalu, harta yang dilaporkan Jokowi dalam LHKPN sebesar Rp 54.718.200.893 atau Rp 54,7 miliar.
Pada 2019, tanah dan bangunan Jokowi senilai Rp 45.643.588.000 dan alat transportasi dan mesin Rp 647.500.000. Kemudian harta bergerak lainnya senilai Rp 360.000.000 serta kas dan setara kas senilai Rp8.928.471.262. Pada 2019, Jokowi juga memiliki hutang senilai Rp 861.358.369.
Mengutip law-justice.co-Rabu, 08/09/2021 19:40 WIB/BPK menemukan ada selisih alokasi dana program PEN dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020. BPK menemukan alokasi anggaran PEN sebesar Rp841,89 triliun dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) hanya menyebutkan Rp 695,2 triliun atau ada selisih mencapai Rp 147 triliun.
Menanggapi temuan BPK tersebut, mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu mengatakan, tidak adanya laporan senilai ratusan triliun jadi menarik untuk dicek sosok di balik penanggung jawab anggaran negara.
“Gawat, temuan BPK ada dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp 147 triliun yang tidak dilaporkan. Coba publik cek, siapa menteri penanggung jawab penyaluran PEN,” tulisnya melalui akun Twitter @msaid_didu, dikutip Rabu (8/9/2021) seperti dikutip law-justice.co-Rabu, 08/09/2021.
Diberitakan sebelumnya, Kemenkeu mencatat realisasi serapan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun 2021 hingga 20 Agustus 2021 mencapai Rp 326,74 triliun atau 43 persen dari pagu Rp 744,77 triliun.
Menkeu Sri Mulyani mengatakan, perkembangan signifikan terlihat pada klaster kesehatan dan perlindungan sosial. Realisasi bidang kesehatan tercatat sebesar Rp77,18 triliun atau 35,9% dari pagu sebesar Rp 214,96 triliun untuk penggunaan rumah sakit darurat, obat masyarakat, biaya perawatan pasien, insentif nakes, pengadaan vaksin, dan iuran JKN.
“Untuk bidang kesehatan tahun ini yang tadinya kita anggarkan hanya sekitar Rp70 triliun naik menjadi lebih dari Rp214 triliun karena ada varian delta dan lonjakan yang luar biasa tinggi,” ujarnya mengutip laman kemenkeu.go.id, Senin (6/9/2021).
Sementara itu, perlindungan sosial mencatatkan realisasi sebesar Rp 99,33 triliun atau 53,2% dari pagu Rp 186,64 triliun. Kemudian, dukungan UMKM dan korporasi terealisasi sebesar 29%, program prioritas 42,6 persen, dan insentif usaha sebesar 82,7%.
“Perlindungan sosial kita tingkatkan, dukungan UMKM masih kita teruskan dan bahkan ditingkatkan dari sisi kredit usaha rakyat. Program-program prioritas nasional dan insentif usaha dalam bentuk insentif perpajakan,” pungkas Sri Mulyani.
Anggota Komisi XI DPR RI Achmad Hafisz Tohir mengaku sangat prihatin dengan temuan selisih Rp147 triliun tersebut. “Bukan angka yang sedikit selisih Rp147 triliun. BPK harus segera kami undang ke DPR menyampaikan secara detail bagian mana saja yang tidak kredibel tersebut. Ini persoalan serius karena menyangkut uang rakyat,” kata Hafisz, di gedung DPR, Jakarta, Kamis (9/9/2021).
Dari ikhtisar hasil pemeriksaan BPK semester II 2020, lanjut Hafisz, ada biaya program PEN di luar skema sebesar Rp27,32 triliun dalam APBN 2020 dan sudah dibelanjakan sebesar Rp23,59 triliun.
Selain itu, Hafisz mengungkapkan ada alokasi kas Badan Layanan Umum (BLU) Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) kepada BLU-BLU Rumpun Kesehatan sebesar Rp1,11 triliun. “Ada relaksasi PNBP K/L sebesar Rp79 miliar yang berasal dari insentif penundaan pembayaran PNBP,” beber politisi PAN tersebut.
Hafisz memaparkan, temuan BPK juga mencakup fasilitas perpajakan yang diatur dalam PMK Nomor 28 Tahun 2020 selain PPN ditanggung Pemerintah dan PP Nomor 29 Tahun 2020 yang belum masuk ke dalam penghitungan alokasi program PEN dengan nilai yang belum bisa diestimasi.
Secara terpisah LSM Prodem meminta pertanggungjawaban Menteri Keuangan Sri Mulyani atas selisih dana PEN yang sangat besar tersebut. Kalau Menkeu tidak bisa mempertanggungjawabkannya berarti terjadi penggelapan anggaran.
Patut dipertanyakan ada apa sampai Menkeu tidak melaporkan adanya selisih anggaran yang sangat besar itu. Publik pasti bertanya-tanya, kok bisa ada selisih dana anggaran sampai sebesar itu, tambah Prodem. Karena itu Prodem menilai, DPR harus segera panggil dan periksa Sri Mulyani setelah mendapat laporan dari hasil pemeriksaan BPK. (net/law/cnn/smr)
sumber: WAGroup Keluarga Alumni HMI MPO (post Jumat/10/9/2021)/internet (google)