Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebutkan realisasi pendapatan negara semester I-2020 sebesar Rp811,2 triliun, yaitu 47,7% dari target perubahan APBN dalam Perpres 72/2020 sebesar Rp1.699,9 triliun.
semarak.co– Meski turun drastis, Menkeu tetap mengatakan itu masih normal, masih sesuai prediksinya. Sri Mulyani menuturkan pendapatan tersebut turun 9,8 persen year on year (yoy) dibanding periode sama 2019 yaitu sebesar Rp899,6 triliun yang tumbuh 7,9 persen dari semester I 2018.
“Pertumbuhannya adalah minus 9,8 persen. Ini masih akan sesuai estimasi kami yaitu negative growth pada pendapatan negara sekitar 10 persen,” kata Sri Mulyani dalam Raker bersama Banggar (Badan Anggaran) DPR RI di Jakarta, Kamis (9/7/2020).
Pendapatan negara turun, nilai dia, karena penerimaan perpajakan terkontraksi hingga 9,4 persen (yoy) pada semester I yaitu hanya Rp624,9 triliun atau 44,5 persen dari target perubahan APBN dalam Perpres 72/2020 Rp1.404,5 triliun.
Ia merinci penerimaan perpajakan terdiri dari penerimaan pajak Rp531,7 triliun yang realisasinya 44,4 persen dari target dalam Perpres 72/2020 Rp1.198,8 triliun dan terkontraksi 12 persen (yoy) dibanding periode sama tahun lalu yaitu Rp604,3 triliun.
Kemudian juga penerimaan kepabeanan dan cukai Rp93,2 triliun yang realisasinya 45,3 persen dari target dalam Perpres 72/2020 Rp205,7 triliun dan mampu tumbuh 8,8 persen (yoy) dibanding periode sama tahun lalu yaitu Rp85,6 triliun.
Selanjutnya, pendapatan negara juga berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yaitu sebesar Rp184,5 triliun yang terkontraksi hingga 11,8 persen (yoy) dan telah mencapai 62,7 persen dari target dalam Perpres 72/2020 Rp294,1 triliun.
PNBP tersebut secara rinci adalah PNBP Sumber Daya Alam (SDA) Rp54,5 triliun yang telah mencapai 68,9 persen dari target dalam Perpres 72/2020 Rp79,1 triliun, namun terkontraksi hingga 22,9 persen (yoy) dibandingkan periode sama tahun lalu Rp70,7 triliun.
Kemudian PNBP non SDA Rp130 triliun atau 60,5 persen dari target dalam Perpres 72/2020 Rp215,1 triliun dan turut terkontraksi 6,1 persen dibanding semester I tahun lalu yang realisasinya Rp138,4 triliun.
Tak hanya itu, pendapatan negara juga berasal dari realisasi penerimaan hibah Rp1,7 triliun yang telah mencapai 133,8 persen dari target dalam Perpres 72/2020 Rp1,3 triliun dan tumbuh 231,4 persen (yoy) dari periode sama tahun sebelumnya Rp0,5 triliun.
Sementara itu, Sri Mulyani mengatakan target pendapatan negara untuk tahun ini telah direvisi sebanyak tiga kali yaitu pertama adalah dalam APBN 2020 Rp2.233,2 triliun, kemudian dalam Perpres 54/2020 Rp1.706,9 triliun, serta dalam Perpres 72/2020 Rp1.699,9 triliun.
Perubahan APBN dalam Perpres 72/2020 ditujukan untuk penguatan penanganan dampak COVID-19 dan pemulihan ekonomi sehingga target pendapatan negara direvisi karena menampung perluasan dan perpanjangan insentif perpajakan untuk dunia usaha sampai Desember 2020.
Insentif perpajakan tersebut di antaranya berupa PPh 21 ditanggung pemerintah (DTP), pembebasan PPh 22 dan PPN impor alat kesehatan, serta percepatan restitusi PPN. “Hal ini karena adanya penurunan penerimaan negara yang diperkirakan 10 persen dan berbagai insentif yang kita berikan,” ujarnya.
Jauh hari sebelumnya Sri Mulyani membeberkan skenario resesi di Indonesia akibat pandemi virus corona atau covid-19. Resesi ekonomi terjadi apabila pertumbuhan ekonomi nasional kuartal III 2020 negatif, menyusul kuartal II.
Menurut Ani, sapaan akrabnya, pemerintah sebenarnya memproyeksi ekonomi Indonesia bisa tumbuh positif pada kuartal III 2020, yaitu di kisaran 1,4 persen. Namun pada saat yang sama, Ani turut menyiapkan skenario ekonomi Indonesia jatuh hingga minus 1,6 persen pada periode tersebut.
Bila laju perekonomian mencapai proyeksi minus, maka sudah dapat dipastikan Indonesia mengalami resesi ekonomi. Sebab, pertumbuhan ekonomi kuartal II 2020 diperkirakan terkontraksi dalam dengan proyeksi sebesar minus 3,8 persen.
“Kami berharap kuartal III dan kuartal IV 2020 (pertumbuhan ekonomi) 1,4 persen atau kalau dalam negatif bisa minus 1,6 persen. Itu technically bisa resesi kalau kuartal III negatif dan secara teknis Indonesia bisa masuk zona resesi,” ungkap Ani saat rapat bersama Komisi XI DPR, Senin (22/6/2020).
Lebih lanjut bendahara negara mengungkapkan skenario ekonomi kuartal III 2020 yang positif 1,4 persen muncul karena pemerintah di berbagai daerah sudah mulai melangsungkan masa transisi dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ke tatanan hidup baru (new normal).
Selain itu, pemerintah juga terus memberikan bantuan sosial (bansos) untuk menopang daya beli masyarakat. Sementara, proyeksi perekonomian minus 1,6 persen pada kuartal III 2020 muncul bila masyarakat tidak melakukan konsumsi yang signifikan di masa transisi, meski PSBB sudah mulai dibuka oleh pemerintah.
Kendati memiliki skenario resesi ekonomi, namun mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu masih optimis bahwa laju perekonomian masih bisa positif pada kuartal IV 2020.
“Toh, sudah jauh dari masa puncak pandemi virus corona yang terjadi pada pertengahan tahun ini. Jadi range (kisaran) kami 1,4 persen sampai minus 1,6 persen untuk kuartal III 2020,” tekan Ani.
Menkeu periode kedua era Presiden Jokowi ini menambahkan, “Kuartal IV dengan akselerasi belanja pemerintah yang sudah mulai dirasakan, program UMKM yang mulai jalan, kami berharap kuartal IV 3,4 persen atau skenario sangat buruk sekitar 1 persen. Outlook (prospek) keseluruhannya (2020) minus 0,4 persen sampai 1 persen.”
Sementara untuk tahun depan, Sri Mulyani menyatakan pemerintah masih optimis memasang target pertumbuhan 4,5 persen sampai 5,5 persen. Sebab, program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sudah mulai dilakukan pada paruh kedua tahun ini.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 2,97 persen pada kuartal I 2020. Hal ini terjadi karena sumbangan konsumsi rumah tangga turun drastis dari kisaran 5 persen ke 2,84 persen akibat tertekan dampak pandemi virus corona. (net/pos/smr)
sumber: cnnindonesia.com di WA Group FILOSOFI KADAL (JUJUR) post: 29 Juni 2020/indopos.co.id