Usai Pertanyakan Netralitas Jokowi di Pilpres 2024, Komite HAM PBB Soroti Putusan MK soal Gibran-Intimidasi Oposisi dan Khawatirkan Proses Pemilu

Anggota Komite HAM PBB Bacre Waly Ndiaye yang mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo dan pencalonan Gibran Rakabuming Raka dalam Pilpres 2024. Foto: internet

Komite HAM PBB atau OHCHR khawatir atas proses pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) 2024 di Indonesia yang diduga ternodai oleh pengaruh yang tidak semestinya. Temuan itu memuat kekhawatiran dan rekomendasi mengenai penerapan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) bagi para negara pihak dari perjanjian.

semarak.co-Dalam keterangan pers tentang temuan pelanggaran HAM dan hak-hak sipil di berbagai negara, Kamis (28/3/2024), OHCHR memublikasikan temuannya mengenai pelanggaran HAM di Chile, Guyana, Indonesia, Namibia, Serbia, Somalia, dan Kerajaan Inggris Raya dan Irlandia Utara setelah memeriksa tujuh negara tersebut pada sesi terbarunya.

Bacaan Lainnya

Diberitakan bahwa Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau CCPR mempublikasikan temuan berisi keprihatinan mereka terhadap sejumlah negara dalam mengimplementasikan Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.

Salah satu negara yang disoroti adalah Indonesia. Komite mengungkapkan kekhawatiran mereka atas dugaan adanya pengaruh yang tidak semestinya terhadap pelaksanaan Pemilu 2024 di Indonesia. PBB juga menyoroti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menurunkan batas usia minimum calon presiden dan wakil presiden yang menguntungkan putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.

“Komite juga merasa terganggu dengan pelecehan, intimidasi, dan penahanan sewenang-wenang terhadap tokoh oposisi,” bunyi laporan Komite HAM PBB, Kamis (28/3) yang dikutip dari website resmi mereka ohchr.org dilansir cnnindonesia.com, Jumat, 29 Mar 2024 10:04 WIB.

Karena masalah itu, PBB mendesak Indonesia menjamin pemilu yang bebas dan transparan, mendorong pluralisme politik yang sejati, menjamin independensi komisi pemilihan (KPU), dan merevisi ketentuan hukum.

Mereka juga meminta pemerintah Indonesia memastikan tempat pemungutan suara dapat diakses mudah dan bebas pengaruh yang tidak semestinya dari pejabat tinggi. Sebelumnya, Anggota Komite HAM PBB Bacre Waly Ndiaye juga mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo dan pencalonan Gibran Rakabuming Raka dalam Pilpres 2024.

Pertanyaan itu disampaikan pada Sidang Komite HAM PBB CCPR di Jenewa, Swiss, Selasa (12/3). Ndiaye melontarkan sejumlah pertanyaan terkait jaminan hak politik untuk warga negara Indonesia dalam Pemilu 2024.

“Komite mempertimbangkan kekhawatiran atas tuduhan adanya pengaruh yang tidak semestinya terhadap Pemilu 2024, serta keputusan Mahkamah Konstitusi yang menurunkan usia minimum kandidat dan menguntungkan putra Presiden,” demikian keterangan OHCHR.

Pemilu di Indonesia pada 14 Februari 2024 diduga berlangsung dengan cawe-cawe Presiden Joko Widodo sebagai petahana. Putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden yang maju bersama Prabowo Subianto; keduanya dinyatakan unggul dalam pemilu, menurut hasil akhir dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Pencalonan Gibran sebagai wakil presiden ramai dipertanyakan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan pada 16 Oktober 2023 yang memungkinkan orang berusia di bawah 40 tahun menjadi capres atau cawapres selama pernah mengikuti kontestasi pemilu atau pemilihan kepala daerah (pilkada).

Putusan tersebut membuka pintu bagi Gibran, 36 tahun, Wali Kota Solo, untuk maju sebagai cawapres Prabowo. Saat putusan tersebut dibacakan, MK diketuai oleh Anwar Usman, yang merupakan adik ipar Jokowi. Anwar kemudian dilaporkan ke Majelis Kehormatan MK (MKMK) atas dugaan memuluskan langkah keponakannya, Gibran, untuk maju dalam pemilihan presiden 2024.

Selain putusan MK yang kontroversial, Jokowi kerap kali turun gunung membagikan bantuan sosial menjelang hari pencoblosan, yang diduga sebagai upaya menggaet suara untuk pasangan calon Prabowo-Gibran.

Berbagai upaya Jokowi telah disoroti dalam laporan Majalah Tempo dan makin ramai dibicarakan setelah rilisnya film dokumenter Dirty Vote oleh sutradara Dandhy Laksono, yang menampilkan tiga pakar hukum tata negara Indonesia yakni Bivitri Susanti, Feri Amsari dan Zainal Arifin Mochtar. Ketiganya menilai ada indikasi kecurangan pada pelaksanaan Pilpres 2024.

Pada konferensi pers temuan OHCHR di Indonesia, komite tersebut juga mengaku merasa terganggu dengan “pelecehan, intimidasi, dan penahanan sewenang-wenang terhadap tokoh oposisi” dalam pemilu.

“Komite mendesak Indonesia untuk menjamin pemilu yang bebas dan transparan, mendorong pluralisme politik yang sejati, menjamin independensi komisi pemilu, merevisi ketentuan hukum yang membatasi, memastikan tempat pemungutan suara dapat diakses, dan mencegah pengaruh yang tidak semestinya dari pejabat tinggi,” demikian keterangan OHCHR.

Dua paslon yang bersaing dengan Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md., hingga berita ini diturunkan sedang menggugat hasil pilpres ke MK.

Dalam gugatannya, tim kuasa hukum kedua kubu mempermasalahkan KPU yang menetapkan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres-cawapres tanpa mengubah Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Tim Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud juga meminta hakim konstitusi untuk memanggil empat menteri di Kabinet Indonesia Maju (KIM) di bawah pemerintahan Jokowi untuk diperiksa sebagai saksi dalam sengketa hasil pilpres.

Mereka adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

Sebelumnya diberitakan Anggota Komite HAM PBB (CCPR) Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan menyinggung pencalonan Gibran Rakabuming Raka dalam Pilpres 2024.

Ndiaye juga melontarkan pertanyaan terkait jaminan hak politik untuk warga negara Indonesia dalam Pemilu 2024 di Sidang Komite HAM PBB di Jenewa, Swiss, Selasa (12/3/2024) seperti dilansir detikSumbagsel, Minggu, 17 Mar 2024 19:29 WIB.

Komandan Tim Kampanye Nasional (TKN) Echo (Hukum) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Hinca Pandjaitan menyebut, pernyataan anggota Komite Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyoroti netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) di pemilihan presiden (Pilpres) 2024, tidak perlu ditanggapi secara serius. Hinca menduga bahwa orang tersebut tidak memiliki bahan lain sehingga membahas soal netralitas Jokowi.

“Saya anggap itu masukan saja lah. Bukan sesuatu yang perlu ditanggapi serius itu. Mungkin, di sana, dia enggak punya bahan lagi, terus ngomong itu, gitu,” ujar Hinca saat ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (18/3/2024) dilansir kompas.com, 18/03/2024, 16:12 WIB.

Hinca mengatakan, anggota Komite HAM PBB tersebut tidak paham bahwa segala persoalan terkait majunya Prabowo-Gibran di Pilpres 2024 sudah selesai. Jika masih ada persoalan hukum, menurut dia, maka tidak mungkin perahu Prabowo-Gibran bisa berangkat.

“Sistem hukumnya berlangsung berjalan selesai. Tidak ada yang mempersoalkan itu. Soal etikanya sudah selesai, sudah dijatuhkan hukuman kepada yang dituduhkan melanggar etik. Oleh karena itu, menurut saya berlebihanlah,” kata Hinca.

Kemudian, politikus Partai Demokrat ini mengatakan, tidak ada relevansi antara netralitas Jokowi dan komentar dari Komite HAM PBB. Dia mengingatkan bahwa sudah banyak Presiden di dunia yang mengucapkan selamat kepada Prabowo terkait hasil quick count atau hitung cepat Pilpres 2024.

“Kalau anda lihat, sudah berapa banyak presiden-presiden ternama atau pemimpin-pemimpin negara dunia memberikan ucapan selamat kepada presiden terpilih Prabowo-Gibran ini, dan menghargai dan menghormati proses pemilu kita,” ujar Hinca.

Sebelumnya, anggota Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau CCPR Bacre Waly Ndiaye menyoroti netralitas Presiden Joko Widodo dalam Pemilihan Presiden tahun 2024. Dia mengutarakan soal putusan MK yang melanggengkan jalan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, mengikuti kontestasi pilpres.

Putusan yang dimaksud adalah putusan pada perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. MK memutuskan mengabulkan sebagian putusan tersebut. Ndiaye mengatakan, kampanye calon presiden dan calon wakil presiden terjadi usai putusan tersebut keluar.

“Kampanye terjadi setelah keputusan pengadilan pada menit-menit terakhir yang mengubah kriteria kelayakan yang memungkinkan putra presiden untuk ikut serta dalam Pemilu,” kata Ndiaye dalam Sidang Komite HAM PBB CCPR di Jenewa, Swiss pekan lalu, dikutip dari UN Web TV pada Senin, 18 Maret 2024.

Ndiaye lantas mempertanyakan langkah apa yang diambil Indonesia untuk memastikan pejabat tinggi, termasuk Jokowi, tidak memberikan pengaruh atau intervensi yang berlebihan terhadap proses Pemilu.

“Langkah-langkah apa yang diterapkan untuk memastikan bahwa pejabat tinggi termasuk presiden dicegah untuk memberikan pengaruh yang berlebihan terhadap proses Pemilu,” ujar Ndiaye dilansir Kompas.com, 18/03/2024, 16:12 WIB.

Saat diberikan kesempatan, Indonesia yang diwakili oleh Dirjen Kerjasama Multilateral Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Tri Tharyat tidak menjawab pertanyaan Ndiaye. Tri Tharyat justru menjawab masalah Hak Asasi Manusia (HAM) lainnya, seperti soal kasus aktivis Haris dan Fathia yang belum lama dinyatakan bebas hingga kasus Panji Gumilang.

Sidang tersebut dihadiri perwakilan negara anggota CCPR termasuk RI. Pembahasan seputar isu HAM terbaru di sejumlah negara dibahas di forum itu dengan sesi tanya jawab antara masing-masing anggota komite HAM PBB kepada perwakilan negara yang dibahas.

Ndiaye memulai pertanyaan dengan menyinggung putusan MK tentang perubahan syarat usia capres-cawapres. “Kampanye digelar setelah putusan di menit akhir yang mengubah syarat pencalonan, memperbolehkan anak presiden untuk ikut dalam pencalonan,” kata Ndiaye dalam sidang yang ditayangkan di situs UN Web TV, Selasa (12/3/2024) dilansir detik.com.

Dia menambahkan, “Apa langkah-langkah diterapkan untuk memastikan pejabat-pejabat negara, termasuk presiden, tidak bisa memberi pengaruh berlebihan terhadap pemilu?” Tak berhenti di situ, Ndiaye juga bertanya apakah pemerintah sudah menyelidiki dugaan-dugaan intervensi pemilu itu.

Perwakilan Indonesia yang dipimpin Dirjen Kerjasama Multilateral Kementerian Luar Negeri Tri Tharyat tidak menjawab pertanyaan itu. Saat sesi menjawab, delegasi Indonesia justru menjawab pertanyaan-pertanyaan lain.

Anggota Komite HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Bacre Waly Ndiaye menjadi sorotan setelah mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Pemilihan Umum (Pemilu) RI, di Sidang Komite HAM PBB, di Jenewa, pada Selasa (12/3/2024) dilansir kabar24.bisnis.com.

Ndiaye memberikan sejumlah pertanyaan kepada delegasi Indonesia, terkait hak bagi Warga Negara Indonesia (WNI) dalam Pemilu RI.  “Apa langkah-langkah yang diterapkan untuk memastikan pejabat-pejabat negara, termasuk presiden, tidak bisa memberi pengaruh berlebihan terhadap Pemilu,” katanya di Sidang Komite HAM PBB.

Lantas siapa Ndiaye dan seperti apa rekam jejak karirnya dalam Komite HAM PBB?  Ndiaye merupakan anggota Komite HAM PBB dari Senegal. Dia bertugas di Komite HAM PBB Jenewa dan New York sejak 1998 hingga 2014.

Menurut laporan UN Human Rights Council, Ndiaye sempat menjadi pelapor khusus PBB untuk misi HAM di Yugoslavia pada 1992. Selain itu, dia juga merupakan bagian dari Komisi Internasional untuk Investigasi Kejahatan Perang di Rwanda pada 1993 hingga 1994 serta Papua Nugini pada 1995.

Ndiaye di Senegal juga tercatat sebagai anggota Dewan Pengacara Senegal dari 1982 hingga 1998, dan menjadi Sekjen di organisasi itu selama 8 tahun. Dia juga sempat menjadi anggota Komisi Kebenaran dan Keadilan di Haiti pada 1995.

Sebelum bergabung dengan PBB, Ndiaye bekerja untuk Amnesty International. Dia menjabat sebagai Koordinator Timur Tengah dan Koordinator Penelitian dan Kampanye yang mengawasi perilisan laporan tahunan Amnesty pada 1987-1989.

Menurut situs resmi OHCHR, sebelum di posisi sekarang, Ndiaye pernah memiliki posisi strategis di Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (OHCHR) mulai 1998 hingga 2006. Dia pernah menjadi Direktur OHCHR, Direktur Divisi Hak Asasi Manusia dan Perjanjian OHCHR, serta Direktur Divisi Dewan Hak Asasi Manusia dan Prosedur Khusus OHCHR.

Kemudian, dia juga sempat menjadi Direktur Divisi Penelitian dan Hak atas Pembangunan di kantor pusat OHCHR di Jenewa dari 2006 hingga 2014. Adapun Ndiaye juga sempat diangkat sebagai Wakil Perwakilan Khusus PBB di Republik Demokratik Kongo dengan pangkat Asisten Sekretaris Jenderal, pada 2006. (net/tpc/cnn/dtc/bis/smr)

Pos terkait