Temuan kunci laporan Situasi Kependudukan Dunia/State of World Population Report (SWP) 2025 menyebutkan, jutaan orang tidak bisa memiliki jumlah anak yang mereka inginkan. Bukan karena tidak ingin jadi orangtua tapi karena hambatan ekonomi dan sosial.
Semarak.co – United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia Representative Hassan Mohtashami menyatakan, laporan ini menemukan bahwa satu dari lima orang secara global memperkirakan tidak akan memiliki jumlah anak yang mereka inginkan.
“Dari 1015 responden di Indonesia yang disasar survei itu, pemicu utamanya adalah biaya membesarkan anak yang tinggi, ketidakstabilan pekerjaan, perumahan, kekhawatiran tentang situasi dunia, dan tidak adanya pasangan yang sesuai,” ujarnya, dirilis humas melalui WAGroup Jurnalis Kemendukbangga/BKKBN, Kamis sore (3/7/2025).
Dia menyatakan, krisis fertilitas sesungguhnya bukanlah soal orang yang tidak ingin punya anak, melainkan banyak yang ingin punya anak tapi tidak mampu. Laporan ini menemukan bahwa dari responden yang disurvey, lebih dari 70% orang ingin punya dua anak atau lebih.
“Untuk meresponnya, kita harus merespons pada apa yang dibutuhkan individu dalam membuat pilihan fertilitas mereka, seperti cuti melahirkan, layanan fertilitas yang terjangkau, dan lingkungan yang mendukung,” katanya.
Deputi Pengendalian Kependudukan, Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga/BKKBN) Bonivasius Prasetya Ichtiarto menyatakan, peran kementeriannya adalah memastikan pembangunan keluarga yang berkualitas dan pembangunan kependudukan yang fokus pada manusia.
Pemerintah sudah menyiapkan Desain Besar Pembangunan Kependudukan (DBPK) untuk 20 tahun ke depan yang kemudian dioperasionalisasikan melalui Peta Jalan Pembangunan Kependudukan lima tahunan dimana akan implementasi dalam bentuk Rencana Aksi per tahun.
“Laporan SWP menjadi masukan. Pemerintah juga sudah memiliki strategi dan program dalam mengoptimalkan layanan KB, kesehatan ibu dan anak, angkatan kerja perempuan, serta kesejahteraan keluarga seperti Quick Wins Kemendukbangga yang di antaranya ada Taman Asuh Sayang Anak,” kata Bonivasius.
Bonivasius mengatakan implementasi program Kemendukbangga/BKKBN yang disusun dalam bentuk Peta Jalan Pembangunan Kependudukan dan Rencana Aksi di tingkat daerah disusun secara asimetris.
“Di kota-kota ada tekanan ekonomi sehingga TFR cenderung rendah di bawah 2. Tapi di sejumlah daerah masih tinggi di atas 2,5 seperti di Papua dan NTT. Masih terjadi disparitas. Maka, pendekatan atau intervensinya harus berbeda antar daerah,” papar Bonivasius.
Dengan kondisi seperti itu, Bonivasius menegaskan Indonesia tidak dalam kondisi krisis fertility, sehingga program KB tetap diperlukan. Ia kemudian menyinggung fenomena childfree, yang dinilainya belum begitu mengkhawatirkan untuk Indonesia.
“Angka childfree di negara kita sangat rendah, masih 0,001 persen. Namun fenomena ini harus menjadi perhatian kita juga, karena sudah terjadi di beberapa negara,” terang Bonivasius. (hms/smr)