Umar bin Khattab Tolak Anaknya Jadi Calon Khalifah, 3 Hukuman Bagi Pemimpin Zalim

ilustrasi grafis kezaliman penguasa terhadap rakyatnya. Foto: mediaharapan.com

Diketahui, Umar bin Khattab menolak anaknya mendapat keistimewaan keluarga pejabat. “Tidak ada keturunan Al Khattab hendak mengambil jabatan khalifah untuk mereka. Abdullah tidak akan turut memperebutkan jabatan itu,” tegas Umar ibn Khattab.

semarak.co-Perkataan tegas itu disampaikan Amirul Mukminin dalam kondisi kritisnya menjelang wafat setelah ditikam belati beracun Abu Lu’lu’ah. “Anakku Abdullah, sekali-sekali jangan, sekali-sekali jangan engkau mengingat-ingat hendak mengambil jabatan ini,” ulang Umar yang ditujukan khusus pada putranya.

Bacaan Lainnya

Dengan takzim Abdullah ibn Umar menjawab, “Baik, ayahku”. Peserta musyawarah menjadi riuh. Beberapa mengajukan protes. “Yaa Amirul Mukminan, sesungguhnya Abdullah sangat layak menggantikanm. Seandainya engkau menunjuknya, kami akan mendukung keputusanmu.”

Namun Al Faruq bergeming. Keputusannya sudah bulat. Ia tak ingin anak2nya menggantikan posisinya sebagai khalifah, sekalipun sebenarnya kemampuan Abdullah memenuhi syarat untuk itu.

Abdullah ibn Umar pun memegang teguh wasiat ayahnya. Sampai akhir hayat, ia tak tergoda dengan hiruk pikuk panggung politik. Termasuk saat terjadi perebutan kekuasaan antara Muawiyah bin Abu Sufyan dengan Ali bin Abi Thalib, ia memilih menepi ke pinggiran kota Makkah.

Muawiyah bin Abu Sufyan membentuk pemerintahan monarki pertama dalam Islam. Suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai ketika ia meminta rakyatnya menyatakan bersetia pada anaknya, Yazid ibn Muawiyyah.

Ibn Taimiyah dalam kitab As-Syiyasah As-Syar’iyah fi Islah Ar-Ra’iyah menuliskan, sistem pemerintahan Islam yang pada masa Khulafaur Rasyidin berdasar musyawarah berubah menjadi monarki heredetis (kerajaan turun-menurun).

Sahabat mulia Muawiyah tentu tidak gegabah dalam mengambil keputusannya, namun barangkali waktunya tidak tepat. Sehingga ia menjadi sosok yang terfitnah oleh sejarah. Dari kedua keputusan yang diambil manusia mulia itu, ada banyak pelajaran. Umar ibn Khattab mengajarkan pada kita soal etika.

Bukan soal kemampuan semata. Tidak ada yang kurang dari kecakapan Abdullah ibn Umar untuk menggantikan ayahnya, namun Umar ibn Khattab tak ingin muncul fitnah pada keluarganya sebab pergiliran jabatan itu.

Sebuah pelajaran berharga. Bahkan yang sudah jelas-jelas mampu pun masih punya etika, berbeda dengan bin Fir’aun. Selama menjabat, Umar bin Khattab RA dikenal sebagai sosok yang tegas pada keluarganya sendiri. Umar RA senantiasa berusaha keras untuk menjauhkan keluarganya menerima privilese atau hak istimewa sebagai anggota keluarga Amirul Mukminin.

Sikap Umar RA tidak hanya terlihat dari caranya membebani keluarga dengan tanggung jawab yang berat dibandingkan umatnya. Umar RA juga mengharamkan setiap hal yang bukan menjadi hak keluarganya, termasuk menjadi penggantinya sebagai khalifah.

Tolakan Umar saat Putranya Diusulkan sebagai Khalifah. Menurut Umar RA, latar belakang putranya yang bernama Abdullah ibn Umar, sebagai anak sang khalifah membuka peluangnya untuk mendapatkan sesuatu yang tidak bisa didapatkan orang lain.

Dinukil dari buku ‘Umar ibn Al-Khaththab oleh Khalid Muhammad Khalid, saat Umar RA berada di penghujung ajalnya, ia menolak keras ketika anaknya diusulkan sebagai calon khalifah yang akan menggantikannya.

Meski diusulkan berulang kali, Umar RA tidak memasukkan nama putranya ke dalam daftar 6 sahabat calon khalifah. Ketika ditanya, apa alasan Umar RA menolak hal itu, ia berkata, “Cukuplah satu orang saja dari keluarga ‘Umar yang akan menghadapi hisab karena urusan kekuasaan, yaitu Umar!”

Para sahabat dan kaum muslimin lainnya menyanggah, “Akan tetapi, wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya, anakmu adalah orang yang bertakwa dan adil. Apakah dosa dirinya jika dia ditakdirkan sebagai anak Amirul Mukminin? Ataukah dosa kaum muslimin yang merasa bahagia jika anakmu menjadi pemimpin bagi mereka?”

Umar RA senantiasa pula mengingatkan pada kaum muslimin lain bahwa Abdullah ibn Umar bukan satu-satunya muslim yang adil dan bertakwa. Menurutnya, masih banyak muslim lain yang memiliki keadilan dan ketakwaan seperti putranya.

Diriwayatkan oleh Ibn Al Jauzi dalam Manaqib Amir Al Mu’minin Umar ibn Al Khaththab, Umar RA memegang sebuah prinsip menghindarkan memberi jabatan karena pertalian kasih sayang atau kekerabatan.

Ia berkata,”Barang siapa memberikan jabatan kepada seseorang dikarenakan pertalian kasih sayang atau kekerabatan dan dia tak mengangkatnya, kecuali atas dasar hal itu semata, dia benar-benar telah mengkhianati Allah, rasul-Nya, dan kaum muslimin.”

Dalam kesempatan lain, nama Abdullah juga pernah muncul sebagai calon Gubernur Kufah. Umar RA yang sedang berbincang dengan para sahabat berkata, “Aku memerlukan orang yang kuat, terpercaya, dan muslim sejati untuk memimpin mereka.”

Salah seorang sahabat lantas berkata, “Demi Allah! Aku akan beri tahukan engkau, siapa orang yang kuat, terpercaya yang engkau harapkan itu.”

Umar RA bertanya dengan antusias, “Siapakah orangnya?”

Sahabat itu menjawab, “Dia adalah Abdullah ibn Umar.”

Mendengar usulan yang menyebut putranya itu, Umar RA malah menjawab, “Semoga Allah memerangimu. Demi Allah, semoga saja engkau tak sengaja bermaksud seperti itu.” Lalu, Umar RA lantas memilih orang lain sebagai Gubernur Kufah.

Umar yang Memarahi Putranya karena Rakyat

Suatu ketika, Umar RA pernah mendatangi rumah anaknya, Abdullah yang tengah menikmati sepotong daging. Namun, khalifah kedua ini justru marah dan berkata, “Apakah karena engkau anak Amirul Mukminin, engkau makan daging dengan nikmat, padahal banyak manusia yang hidup dalam keadaan susah? Apakah tak cukup roti dengan garam atau roti dengan minyak?”

Kisah lainnya diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Al Sunan Al Kubra saat Umar RA berkunjung ke pasar untuk melakukan pemeriksaan. Di sana, ia melihat seekor unta yang gemuk, berbeda dengan kawanan unta lainnya.

Namun, saat mengetahui unta yang gemuk tersebut adalah milik putranya, Umar RA lantas marah dan mengutus seseorang untuk memanggil putranya. Abdullah, putra Umar RA yang dimaksud, menghadap ayahnya sambil menceritakan bagaimana proses unta miliknya menjadi gemuk.

Unta yang semula kurus itu dibelinya lalu digembalakan dan diperdagangkan olehnya sendiri seperti muslim lainnya. Namun, Umar RA justru semakin marah dan berkata muslim lainnya akan melihat unta tersebut sebagai unta milik anak Amirul Mukminin sehingga orang lain berlomba-lomba menggembalakan untanya

Umar RA pun berseru kepadanya, “Wahai Abdullah ibn Umar, ambillah modal yang engkau keluarkan untuk membeli unta ini. Lalu, kembalikanlah semua keuntungannya ke Baitul Mal kaum muslimin!”

Umar RA memang senantiasa mengajarkan keluarganya bahwa hubungan kekerabatan atau pertalian darah dengan Amirul Mukminin tidak menyebabkan seseorang mendapat perlakukan istimewa. Sebaliknya, Umar RA membuat hidup mereka seolah menjadi sulit dan lebih berat.

Berikut 3 Hukuman Bagi Pemimpin Zalim:

1.Azab yang Pedih

Seorang Pemimpin Yang Zolim akan Merasakan Akibatnya pada Hari Pembalasan.

إِنَّمَا ٱلسَّبِيلُ عَلَى ٱلَّذِينَ بْغُونَ فِ ٱلْأَرْضِ بِغَيْرِ ٱلْحَقِّ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih. (QS.Asy Suara : 42).

  1. Didoakan Kesukaran

Rasulullah shalallahu alaihi wassalam mendoakan kesusahan bagi para Penguasa yg menindas umat bliau “Ya Allah, siapa yg mengemban tugas mengurusi umat ku kemudian dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Siapa yg mengemban tugas memgurusi umatku dan memudahkan mereka, maka mudahkanlah dia. (HR.Muslim).

  1. Dijauhkan dari Surga

“Tidaklah seseorang diamanahi Memimpin suatu kaum kemudian dia meninggal dlm keadaan curang terhadap Rakyatnya, maka diharamkan baginya Surga (HR. Bukhari – Muslim). (net/dtc/smr)

 

sumber detik.com di WAGroup Saling berbagi info ** (postRabu25/10/2023/banggun)

Pos terkait