by Zeng Wei Jian
semarak.co -Banyak Miskonsepsi terhadap Tionghoa. False history dan false beliefs. Mispersepsi dikira realitas ding an sich.
“Perception is reality to the one in the experience,” kata penulis Danielle Bernock.
Segalanya tentang Tionghoa menjadi superstition, al-khurāfa dan takhayul. Ada semacam “infodemic”. Semuanya negative. Hasil dari irrational hatred & ignoransi. “In ordinary society, superstition sells faster than science,” tulis Amit Kalantri.
Tionghoa dipersepsikan monolith, a-nasionalistik, global player, fifth column, exclusive, corona disease, red imperialism dan sebagainya.
Kata “Tionghoa” bahasa Hokian. Transformasi phonetik dari “Zhongguo Ren”. Artinya; citizens of China, including Han, Manzu, Mongol, Tibetan, Uighur ethnicity. Ada 55 suku bangsa di Tiongkok.
Newcomers di Indonesia adalah Suku Han Tionghoa. Etnis terbesar di dunia. Sekitar 18% atau 1,3 milyar orang dan terdiri dari 16 subgroups.
Setelah jadi “Tionghoa-Indonesia” atau “Yinnihuaren”, Hanzu pecah lagi; Cina Jawa, Cina Medan, Cina Benteng. Semuanya varian “Min Nan” (Orang Selatan). Hokian, Hokcia, Hoklo, Teochiu, Konghu dan lain-lain masuk kategori “Orang Selatan”.
Tionghoa Hakka mayoritas ada di Singkawang, Bangka-Belitong dan Jakarta.
Masuk abad 20, di Era transisi Kolonialisme, Tionghoa terbagi tiga kelompok.
Pertama; Sinpo Group di Batavia tanggal 01 Oktober 1910. Satu tahun sebelum Xinhai Revolution. Sejak pecah Bolshevik revolution 1917 di Rusia, Sinpo Group mengambil posisi Pro-Peking. Di akhir 1920an, Sinpo Group erat kolaborasi dengan Nasionalis Indonesia menentang Belanda.
Kedua; Chung Hwa Hui (CHH) berdiri tahun 1911 di Netherlands. Mahasiswa Tionghoa-Indonesia yang kuliah di sana menjadi pioneer gerakan Tionghoa Pro Belanda. Organisasi ini masih hidup sampai sekarang.
Ketiga; Partai Tionghoa Indonesia (PTI) berdiri tanggal 25 September 1932 di Surabaya. Liem Koen Hian, Ko Kwat Tiong, Kwee Thiam Tjing si “Tjamboek Berdoeri” dan sebagainya tercatat sebagai tokoh penting di kelompok ini.
Partai Tionghoa Indonesia Pro Kemerdekaan dan menolak kewarga-negaraan Tiongkok.
Mr. Liem Koen Hian mendorong Abdurahman Rasyid Baswedan mendeklarasikan “Partai Arab Indonesia” tahun 1934. Mr Liem Koen Hian menginginkan adanya representasi Ethnik Arab dalam Volksraad dan akhirnya BPUPKI.
Pasca Agresi Belanda 1947 sampai Gestok 65 pembelahan Tionghoa berkisar pada solusi doktrin “The sons of the soil”.
Sisa-sisa Tionghoa Pro Belanda yang memutuskan tinggal di Indonesia menjadi Nasionalis Tulen. Konsepnya “Assimilasi Total”.
Turunan kedua Partai Tionghoa Indonesia bergabung ke dalam Baperki dan mengusung Konsep “Integrasi Wajar”.
Sukarno dan PKI tumbang tahun 1967. Baperki bubar. Tionghoa Assimilasionis melebur ke dalam organisasi agama dan CSIS.
Semasa era 1970-1990, tidak ada aktivitas politik. Tionghoa popular yang dikenal publik ya konglomerat. Dimulai Era Stigmatisasi “economic animal” dan “exclusive”. Superstar-nya Edi Tansil dari Golden Key Group.
Nama “Soe Hok Gie” mulai luntur dari ingatan. Lenyap ditelan kabut Semeru. Entah di mana Arief Budiman. Adanya Sofyan Wanandi, Onghokham, Penglaykim dan Liem Bian Kie.
Di Era ini ada nama pejuang hukum terbesar Yap Thiam Hien yang erat berteman dengan Princen, Adnan Buyung Nasution dan lain-lain.
The wind of change menerpa Eropa Timur tahun 1992. Soviet Union collapse. The end of Cold War era. Muncul aktivis ethnik Tionghoa seperti Andreas Harsono, Stenly Adi Prasetyo dan Ester Jusuf.
Euforia kebebasan trigger kelahiran 400an organisasi berbasis Ketionghoaan. Sebagian rakyat pro-dem minta Tionghoa masuk arena politik. Jangan cuma dagang dan cari duit. Karena seperti kata Napoleon Bonaparte; “Money has no fatherland”.
Reformasi pecah di Indonesia. Orde Baru tumbang. Kwik Kian Gie menjadi role-model dan antithesa Taipan Tionghoa yang dekat dengan penguasa.
Twenty-first century ditandai kebangkitan global economy, Third World consumerism, mistrust in government, deepening global concern over terrorism, an increase in private enterprise dan the rise of Republik Rakyat Tiongkok.
Perubahan situasi melahirkan generasi baru. “As a rule it is circumstances that make men,” kata Napoleon Bonaparte.
Tionghoa mulai masuk dimensi politik. Ada belasan orang terpilih jadi anggota dewan.
Pasca Arab Spring 2010, Tionghoa melahirkan “Ahok” diikutin lesser players seperti Charles Honoris, Grace Natalie, Yunarto, Arif Poyuono, Surya Chandra dan sebagainya. Di extrimitas lain ada Lieus Sungkharisma dan Jusuf Hamka.
Ahok dicina-cinain, disebut sebagai proxy Beijing. Sedangkan Lieus Sungkharisma orang Hokcia diberi label “Cina keturunan Arab Bersyariah”.
Lieus Sungkharisma adalah Tokoh Tionghoa pertama setelah 50 tahun yang masuk penjara kena Pasal Subversif atau Makar.
Sebelumnya ada “Siauw Giok Tjhan” yang namanya terdaftar di “Dewan Revolusi” dengan nomor urut 16. Selain Go Gien Tjwan dan Oei Tju Tat yang mendekam di Penjara Nirbaya.
THE END