Oleh Nuim Hidayat *
semarak.co-“Mengapa tokoh-tokoh Islam Partai Masyumi tahun 1945 setuju dengan pemerintahan demokrasi di Indonesia? Ini patut direnungkan.” (anonim) Setelah mengatur penceramah-penceramah di instansi-instansi pemerintah dan BUMN, kini Jokowi akan mengatur penceramah di TNI/Polri.
Dalam ceramahnya di Rapat Pimpinan TNI-Polri kemarin (01/03), Jokowi menyatakan bahwa anggota TNI-Polri untuk lebih disiplin dalam berperilaku hingga bertutur di sosial media. Salah satu ketidakdisiplinan yang terjadi adalah menyelenggarakan kegiatan ceramah dengan mengundang penceramah yang tidak kredibel.
“Nggak bisa, menurut saya, nggak bisa ibu-ibu itu ngumpulin ibu-ibu yang lain, memanggil penceramah semaunya atas nama demokrasi,” kata Jokowi. Ia melanjutkan, “Tahu-tahu mengundang penceramah radikal, nah hati-hati. Juga hal kecil-kecil harus mulai didisiplinkan,” terangnya.
Ia juga menyatakan bahwa TNI/Polri harus setuju dengan pemindahan ibukota negara, karena sudah mendapat persetujuan pemerintah dan DPR. Pernyataan Jokowi ini menunjukkan bahwa pemerintah saat ini memang programnya anti radikalisme. Banyak orang lupa bahwa dalam dalam kepemimpinannya Jokowi menegaskan bahwa ‘program utamanya’ adalah anti radikalisme.
Program anti radikalisme ini nampak hanya ditujukan kepada umat Islam. Gerakan Organisasi Papua Merdeka yang jelas-jelas melakukan kegiatan terorisme, pejabat-pejabat pemerintah tidak ada kesepakatan. Menkopolhukam menyebutnya teroris, Kepala Densus 88 tidak sepakat disebut teroris.
Bagi pemerintah (seperti BNPT/Densus 88), radikalisme dianggap langkah awal menuju terorisme. Tapi BNPT tidak jelas mendefinisikan tentang radikalisme. Sehingga ratusan pesantren dikategorikan radikal dan setelah banyak tokoh Islam protes, akhirnya BNPT minta maaf.
Penangkapan terhadap dai atau aktivis-aktivis Islam pun terjadi. Banyak aktivis yang kini ditangkap tidak ada bukti terorisme. Dr Zain an Najah, Ustadz Farid Okbah dan Dr Anung misalnya, ditangkap hanya karena terlibat sebuah organisasi yang dianggap pemerintah mendukung terorisme.
Pemerintah atau Polri sampai saat ini tidak bisa membuktikan keterlibatan ketiganya dalam jaringan terorisme dan kegiatan terorisme yang dilakukan atau akan dilakukan ketiganya. Bila kita bandingkan penanganan terorisme di masa SBY dan Jokowi, maka terjadi perbedaan. Bila di masa SBY, penangkapan terhadap teroris adalah mereka yang terlibat dalam pengeboman-pengeboman, maka di masa Jokowi lebih meluas.
Mereka yang ikut pengajian atau terlibat dalam kegiatan Jamaah Islamiyah (dan jaringannya), Jamaah Ansharud Daulah dan semacamnya ‘akan ditangkap.’ Karena mereka dianggap ‘punya potensi’ untuk kegiatan terorisme. Pemerintah atau Polri tidak peduli misalnya perubahan jamaah itu.
Seperti pendapat ahli terorisme Al Chaidar yang menyatakan bahwa Jamaah Islamiyah sejak tahun 2009 telah berubah menjadi organsisasi dakwah dan kemanusiaan. Pembubaran HTI dan FPI adalah bukti bahwa pemerintah ngawur dalam penanganan terorisme.
Pemerintah Jokowi seperti meniru periode awal Orde Baru yang membuat ekstrem kiri PKI dan ekstrem kanan NII (umat Islam radikal). Kini pemerintah sudah ‘tidak memusuhi PKI’ lagi, tapi tetap memusuhi NII. Agar aktual musuhnya, maka kini yang dilarang adalah gerakan-gerakan Islam yang pro khilafah.
Meski FPI dan HTI cita-cita atau cara pembentukan khilafahnya lain, pemerintah tidak peduli. Inilah yang patut disesalkan. Khilafah adalah cita-cita. Khilafah adalah keinginan umat Islam mempunyai negara besar yang berpengaruh terhadap dunia. Indonesia bisa menjadi khilafah yang demokratis dengan dasar Pancasila.
Umat Katolik punya ‘khilafah’ di Roma, mengapa tidak dilarang. Kaum sekuler punya ‘khilafah Amerika’, mengapa tidak dilarang. Kaum komunis punya ‘khilafah Cina’, mengapa juga tidak dilarang.
Begitu problematisnya istilah radikalisme ini, maka Prof. John L Esposito, Guru Besar Studi Islam di Universitas Georgetown Amerika Serikat menyatakan, ”Isu radikalisme agama merupakan taman bermain bagi intelijen dan ini membahayakan masa depan agama.”
Ketidakadilan pemerintah terhadap umat Islam ini, menjadikan banyak tokoh umat bertanya, siapa di balik Jokowi ini? Mereka tahu bahwa Jokowi yang ilmu dan pengalamannya dari Solo, mantan pengusaha kayu, tidak punya pemahaman yang luas tentang politik, militer, ideologi dan lain-lain.
Pasti ada lingkaran kecil yang mengelilingi Jokowi. Sebagian ahli politik menyebutnya ‘inner circle’. Di antara lingkaran terkecil yang mengelilingi Jokowi adalah Luhut Pandjaitan dan Andi Widjajanto. Luhut adalah tentara yang cerdas dan Andi adalah ahli militer yang cerdas. Luhut dan Andi berteman akrab.
Luhut yang ‘membawa’ Jokowi ke Jakarta dan Andi yang setia menemani Jokowi dalam banyak kampanye Jokowi sejak 2014. Bila kita jeli, maka Tim Jokowi inilah –tentu tidak hanya Andi dan Luhut- sebenarnya yang menggodok arah ekonomi dan politik di Indonesia.
Bukan Jokowi. Tim inilah yang menentukan siapa Kapolri, siapa Panglima TNI, siapa Gubernur Lemhanas, siapa menteri yang harus diangkat dan dicopot, apa program utama pemerintah, mengapa ibukota negara harus pindah ke Kalimantan, bagaimana mempengaruhi opini masyarakat dan seterusnya.
Maka jangan heran bila Fadli Zon menyatakan bahwa Jokowi hanyalah boneka. Jokowi hanyalah menerima masukan-masukan dari timnya ‘apa yang dilakukan dan dikatakan. Kembali ke masalah radikalisme. Jokowi menyuruh TNI/Polri termasuk ibu-ibunya tidak mengundang penceramah radikal. Apa definisi radikalisme, nggak jelas.
Jokowi kini menyatakan bahwa mereka yang menolak pemindahan ibukota negara baru termasuk radikal. Jadi bila ditelusuri maka definisi radikal menurut pemerintah adalah mereka yang beroposisi dengan pemerintah, mereka yang mempunyai cita-cita negara Islam/khilafah, mereka yang menganggap Islam lebih mulia dari agama lain dan seterusnya.
Jadi tim Jokowi setelah ‘sukses’ mengatur penceramah di instansi-instansi pemerintah, mereka kini akan mengambil alih mengatur penceramah agama di TNI-Polri. Bila di bawah SBY, TNI Polri dan keluarganya bebas bermain medsos, di bawah Jokowi, mereka diawasi.
Beberapa kejadian menunjukkan bahwa istri yang bermain medsos sembarangan, menjadikan suaminya yang TNI/Polri dikenai sanksi. Melihat arah kebijakan pemerintah ini, kita khawatir Indonesia meniru Mesir yang tidak peduli dengan demokrasi atau China yang ‘menyetir ideologi’ rakyatnya.
Mesir dengan presidennya as Sisi bertindak keras terhadap umat Islam di sana. Bukan hanya ribuan tokoh dan aktivis Islam dipenjara serta dihukum mati (khususnya yang tergabung dalam Ikhwanul Muslimin), tapi juga buku-buku Islam yang ditulis ulama-ulama Ikhwanul Muslimin dilarang.
Padahal Ikhwanul Muslimin adalah ‘organisasi Islam terbesar’ di Mesir, bahkan di seluruh dunia. Ikhwanul Muslimin adalah partai resmi yang merakyat di Mesir, yang kini dilarang presiden Mesir. Mesir kini dikendalikan oleh penguasa militer sepenuhnya. Mereka tidak peduli terhadap demokrasi.
Dan apa hasilnya? Mesir terus menerus dalam konflik, miskin dan tidak menjadi negara maju, adil dan makmur. Kini banyak tokoh umat Islam yang sabar terhadap politik yang ‘mencekik’ dan merugikan umat Islam saat ini. Amien Rais membuat Partai Ummat. Din Syamsuddin membuat Partai Pelita.
Abdullah Hehamahua membuat Partai Masyumi. Cholil Ridwan membuat Partai Dakwah Rakyat Indonesia. Anies Baswedan bersiap menyongsong 2024. Mungkinkah terjadi perubahan 2024? Mungkinkah presidennya bukan calon dari PDIP lagi? Walahu azizun hakim. Allah Maha Perkasa, Allah Maha Bijaksana.
*) penulis adalah Anggota MIUMI dan MUI Depok
sumber: Faktakini.info/Rabu, 2 Maret 2022 dari suaraislam.id di WAGroup PERKOKOH PERSATUAN MUSLIM (postJumat4/3/2022/misra)