Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengusulkan penyusunan undang-undang atau kerangka hukum mengenai financial technology (fintech) dalam rangka penegakan hukum. Jadi fintech tidak hanya lagi bersandar pada peraturan-peraturan Bank Indonesia dan OJK.
Deputi Komisioner OJK Sukarela Batunanggar mengatakan, usulan ini penting karena untuk melakukan penegakan hukum dibutuhkan kerangka hukum yang lebih kuat serta bagaimana nanti fintech diregulasi.
“Jadi ke depannya terdapat kebutuhan bagi kita bagaimana membuat undang-undang terkait financial technology. Saya kira pada intinya undang-undang itu memuat pertama cakupannya,” ujar Sukarela Batunanggar di kegiatan Fintech Summit dan Expo 2019, Senin –Selasa (23-24) di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta Selatan.
Artinya, lanjut Batunanggar, cakupan bisnis lembaga itu sendiri apakah itu fintech atau lembaga lain yang sejenis. Kedua, kita juga menyusun koridor-koridor, aturan, atau prinsip pokok yang harus dia penuhi seperti perlindungan konsumen, tata kelola, manajemen risiko dan sebagainya.
“Undang-undang fintech tersebut juga mengatur otoritas yang berwenang dan mekanisme koordinasi antar instansi terkait. Selain itu penting juga untuk mendorong ekosistem untuk ekonomi dan keuangan digital ke depan,” terangnya.
Dengan demikian, kata dia, undang-undang ini menjadi sebagai landasan dan juga suatu visi ke depan bagaimana Indonesia mengarahkan perekonomian, keuangan dan industri kepada tiga hal yakni sistem keuangan yang sehat, sistem keuangan yang berkontribusi pada pembangunan ekonomi yang bertumbuh tetapi juga inklusif.
Namun deputi komisioner OJK tersebut mengingatkan bahwa sebelum menuju pada usulan undang-undang fintech, dibutuhkan kolaborasi yang baik antara regulator, pelaku industri dan media untuk melakukan edukasi terhadap konsumen. (net/lin)