Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (DK PWI) Pusat kembali mengingatkan pentingnya wartawan memiliki kompetensi dan mematuhi Kode Etik Jurnalistik.
semarak.co– Ketua DK PWI Pusat Ilham Bintang mengatakan memang termasuk juga pelanggaran kode etik pada kasus pemanggilan terhadap 27 pengelola media online dan media elektronik oleh Dewan Pers, terkait kekeliruan dalam melaporkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
“Itu bukan kategori hoaks namun kekeliruan pemberitaan akibat wartawan tidak melakukan cek dan ricek atau klarifikasi secara akurat. Kami prihatin dengan banyaknya kekeliruan pemberitaan dan pelanggaran kode etik jurnalistik sehingga menurunkan kredibilitas media berbagai platform,” kata Ilham anggota DK PWI usai rapat lewat zoom meeting, Kamis sore ( 25/6/2020).
Dalam rilis melalui WA Group Pleno PWI DKI 2019-2024, pada Jumat (26/6/2020) menyebut juga, hadir dalam rapat tersebut Sekretaris DK PWI Sasongko Tedjo, anggota Suryopratomo, Asro Kamal Rokan, Rossiana Silalahi, Tri Agung Kristanto, Teguh Santosa dan Raja Pane.
Dalam pertemuan secara daring (dalam jaringan) atau online tersebut disoroti kasus pemanggilan terhadap 27 pengelola media online dan media elektronik oleh Dewan Pers, terkait kekeliruan dalam melaporkan putusan PTUN Jakarta.
Putusan PTUN Jakarta tertanggal 3 Juni 2020 terkait gugatan terhadap kebijakan pemerintah yang memperlambat dan memutus hubungan internet di Papua dan Papua Barat pada masa krisis Papua periode Agustus – September 2019.
Gugatan tersebut dikabulkan karena majelis hakim menyatakan tindakan pemerintah tersebut melanggar hukum. Sejumlah media siber segera mengunggah berita dengan menyebutkan PTUN perintahkan Jokowi minta maaf atas pemblokiran internet Papua. Padahal itu tidak ada dalam putusan majelis hakim.
Walaupun Dewan Pers hanya sebatas memberikan sanksi teguran namun sanksi merosotnya kredibilitas terhadap media justru lebih berat dirasakan. Walaupun di sisi lain DK juga menyoroti sistem administrasi peradilan, khususnya PTUN Jakarta, yang tidak diperbarui sesuai perkembangan perkara itu.
Juga lambatnya proses penyampaian salinan putusan kepada pihak-pihak yang berperkara. Padahal, putusan dan proses administrasi di pengadilan itu menjadi sumber utama pemberitaan media.
Selain masalah kurangnya kompetensi dan penaatan kode etik jurnalistik, DK PWI Pusat menyoroti berbagai persoalan yang dihadapi wartawan, khususnya cara kerja, model bisnis yang berkembang di dunia media saat ini dan kekuranglengkapan informasi yang diberikan narasumber.
Kasus kekeliruan pemberitaan terkait kegiatan Presiden Jokowi di Bekasi yang diberitakan akan membuka kembali mal juga mendapatkan sorotan masyarakat. Kondisi ini diperburuk perilaku baru wartawan yang bahkan menjadi model bisnis dari sejumlah media khususnya media siber.
Model kloning atau juga disebut multi level quotes jelas merupakan praktek jurnalistik yang keliru dan mengabaikan persoalan siapa yang bertanggung jawab atas berita yang sudah menyebar luas.
Model bisnis dengan kolaborasi juga memunculkan fenomena tidak sehat dalam konteks profesionalisme media dan wartawan. Di sisi lain saat ini berkembang model bisnis yang menjadikan media siber di daerah sebagai penyedia konten atau content produser bagi media siber di Jakarta.
“Praktek ini berbeda dengan kantor berita yang selalu disebutkan sebagai sumber sehingga jelas siapa yang bertanggung jawab. Semua itu belum dijangkau Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dan kalau tidak segera diantisipasi bisa merugikan kredibilitas wartawan maupun media. Sementara praktek jurnalisme yang profesional dan taat kode etik makin diabaikan,” tuntasnya. (smr)