Alumni Fakultas Teknologi Universitas Gajah Mada (UGM) yang kini dikenal sebagai ahli forensik digital Rismon Hasiholan Sianipar meyakini bahwa ijazah strata satu (S1) Kehutanan Presiden RI ke-7 Joko Widodo (jokowi) yang diterbitkan UGM tahun 1985 adalah palsu.
Semarak.co– Rismon lantas meyakini bahwa ijazah Jokowi palsu berdasarkan dua aspek, yakni font pada ijazah itu dan nomor seri pada ijazah yang hanya berupa foto copy itu, yang menurut dia janggal.
“100 miliar persen palsu,” kata Rismon seperti dikutip dari video berjudul Ijazah Palsu Joko Widodo Berdasarkan Analisa Jenis Font dan Operating System, Selasa (11/3/2025) seperti dilansir gelora.co, Maret 12, 2025.
Fontface atau jenis font yang digunakan pada ijazah Jokowi, yang pada video itu ditampilkan hanya dalam bentuk foto copy sebagaimana beredar selama ini dan terdapat watermark Republika pada copy ijazah itu menandakan copy ijazah Jokowi itu merupakan sampel yang dipublikasikan republika.co.id menggunakan jenis huruf Times New Romans.
Menurut Rismon, jenis huruf itu tidak mungkin sudah ada pada tanggal 5 November 1985 saat ijazah itu diterbitkan UGM. “Karena Window OS versi 1.01 dirilis 20 November 1985 atau 15 hari setelah ijazah Jokowi itu diterbitkan UGM,” terang dia.
Sedang Windows versi 3.1, di mana font Times New Romans difungsikan dirilis pada tanggal 6 April 1992. “Konfirm ijazah ini palsu,” kata Rismon lantas membandingkan copy ijazah Jokowi dengan ijazah seorang alumni UGM yang lain yang bernama Bambang Nurcahyo Prastowo.
Di mana sementara ijazah Jokowi menggunakan jenis font Times New Romans, sementara ijazah Bambang, menurut Rismon, merupakan font standar dari komputer yang masih menggunakan DOS (Disk Operating System).
“Kalau font pada ijazah Jokowi ini karena menggunakan jenis font Times New Romans, ini menggunakan Windows,” beber Rismon lantas meminta agar Jokowi mengakui kalau ijazahnya memang palsu.
“Ngaku sajalah Pak Joko Widodo. Anda mungkin saja benar kuliah di kehutanan UGM. Bisa saja kan? Karena kita tidak bisa menutup kemungkinan, tapi mungkin ijazah Anda hilang, kebanjiran atau apa, tapi bukan ini ijazah aslinya, ini pasti palsu. 100 miliar persen palsu,” demikian Rismon menambah.
Rismon juga menyoroti skripsi Jokowi yang menurut dia janggal. Skripsi itu berjudul Studi Tentang Pola Konsumsi Kayu Lapis pada Pemakaian Akhir di Kotamadya Surakarta. Sebab, kata dia, huruf² yang digunakan untuk judul skripsi itu pun menggunakan jenis font Times New Romans.
“Ini pasti gak benar, palsu, pasti diproduksi seteleh Times New Romans difungsikan tahun 1992 di Windows. UGM jujur saja; ada apa sih sebenarnya? Kebenaran itu pahit, tapi bisa jadi pembelajaran,” katanya.
Soal nomor seri pada ijazah Jokowi, Rismon mengatakan, nomor seri di ijazah ganjil karena tak ada klaster. Ia menunjukkan, pada ijazah Jokowi hanya ada angka 1120. “Ini nggak ada klasternya, sehingga nggak jelas ini dari fakultas apa dan lulusan atau angkatan ke berapa,” katanya.
Ia menunjukkan ijazah alumni UGM yang dijadikan sampel yang bertuliskan No 766/2869PA/1985. Huruf “PA” pada nomor seri ijazah ini katanya, mungkin dari fakultas Pengetahuan Alam.
Sementara ijazahnya sendiri memiliki nomor seri 28530/HYN-WBS/98/TE-ST/67-1159. “TE pada nomor seri itu menunjukkan kalau saya lulusan Teknik Elektro,” jelasnya.
Diketahui, copy ijazah Jokowi itu selama ini memang dicurigai palsu sehingga pernah dua kali digugat ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, akan tetapi gugatan pertama dicabut karena sang penggugat, yakni Bambang Tri ditangkap dan dipenjara 6 tahun oleh PN Solo.
Dasarnya karena dinilai terbukti menyebarkan kabar bohong tentang ijazah Jokowi. Gugatan kedua kandas, karena PN Jakpus pada putusan sela menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan ini.
Gugatan dengan kuasa hukum dari Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) itu didasarkan pada data yang dimiliki Bambang Tri bahwa ijazah Jokowi palsu dan juga berdasarkan foto wajah pada ijazah itu yang secara fisik berbeda dengan wajah Jokowi.
Terkait dengan kandasnya gugatan di PN Jakpus, Rismon mengatakan kalau kemungkinan hakim tidak terlalu paham soal manipulasi digital, dan hakim pun punya kecenderungan percaya kepada polisi yang menangani perkara di tingkat penyelidikan dan penyidikan, sebelum perkara dilimpahkan ke Kejaksaan dan kemudian ke Pengadilan.
“Hakim tak paham, standar berpikir hakim ya gitu, hanya percaya kepada polisi. Ya, itulah hancur negara ini. Para hakim rendah dalam pemahaman digital, apalagi digital manipulation”, katanya. (net/gel/smr)
Sumber: gelora.co, Maret 12, 2025 dari harianumum di WAGroup Alumni Mistik (postJumat14/3/2025/hakimmoestaf)