Terbentur Aturan Sendiri

Grafis pemilihan umum (Pemilu). foto: ist

Oleh Yona Mardiona *)

semarak.co-Kalau diperhatikan dalam satu tahun terakhir ini banyak ketua partai rantang-runtung menyambangi ketua partai lainnya bersilarurahmi, berdiskusi dan ujungnnya mengajak berkoalisi dalam pemilihan presiden di tahun 2024.

Bacaan Lainnya

Koalisi itu terjadi untuk mencukupi syarat ambang batas pencalonan presiden sebagaimana diatur dalam pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), yang berbunyi:

“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

Semula partai-partai pemenang Pemilu 2019, telah sempat membentuk beberapa koalisi, yaitu Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) terdiri dari Partai Gerindra dan PKB, kemudian Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) terdiri dari Golkar, PAN dan PPP.

Namun KIB ini pecah, karena PPP merapat ke PDIP dan mengusung Ganjar Pranowo sebagai calon presidennya. PDIP sendiri sejak awal tidak membuat koalisi, karena sudah memenuhi ambang batas.

Dan koalisi terakhir adalah Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), yang terdiri dari Partai Nasdem, PD dan PKS. Koalisi ini telah terbentuk dan mengikrarkan mencalonkan Anies Baswedan sebagai calon presidennya.

Jadi sekarang partai koalisi yang sudah terbentuk baru dua, masing-masing dengan calon presidennya, dan masing-masing sedang menjaring calon wakil presidennya. Adapun KKIR nampak jelas belum ada kesepakatan yang mengikat antara Gerindra dan PKB.

Gerindra sangat percaya diri mengajukan kembali ketua umumnya, Prabowo Subianto untuk ketigakali nyapres. Namun PKB belum bersepakat, karena nampaknya syarat PKB adalah minta agar Cak Imin sebagai wapresnya. Karena itu KKIR belum mufakat dan bahkan bisa terancam bubar.

Begitu juga KIB, yang tinggal dua partai adalah koalisi yang paling rentan untuk bubar, karena mereka tidak punya capres yang unggul. Alih-alih makin solid, Golkar sendiri makin ringkih dengan adanya panggilan Kejaksaan Agung kepada Airlangga dan angin Munaslub makin kencang menerpa beringin hingga oyong terkena goyang.

Pembentukan koalisi adalah untuk memenuhi syarat sesuai Undang-Undang yang dibuat oleh DPR dan anggota DPR yang terhormat ini adalah terdiri dari orang-orang partai. Jadi yang membuat aturan itu adalah partai dan mereka sekarang sedang “menikmati” hasil kerjanya sendiri.

Coba kalau ambang batasnya diturunkan menjadi 5% misalnya atau bahkan 0%. Maka calon presiden akan lebih banyak dimunculkan. Ketua partai tak harus wara wiri, sowan sini sowan sana, negosiasi, barter, tukar guling atau entah apalagi yang dilakukan supaya bisa berkoalisi.

Sesungguhnya peninjauan ulang atas ambang batas pencalonan presiden telah sering diajukan kepada Mahkamah Konstitusi, namun semuanya kandas, alias ditolak. Jalan lain untuk merevisi besaran ambang batas bisa dilakukan sendiri oleh DPR dengan kesepakatan semua partai tentunya.

Masalahnya tidak semua partai sependapat untuk merubah. Keadaan sekarang ini mengingatkan kita pada ucapan dalang OVJ:  “Disana gunung disini gunung, ditengah-tengahnya Pulau Jawa… Dalangnya bingung wayangnya bingung yang penting bisa ketawa” Jreng…

Bekasi, 23 Juli 2023

*) Loyalis Capres Anies Baswedan

 

sumber: WAGroup Anies Baswedan For RI 1 (postMinggu23/7/2023/yonamardiona)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *