Sekelompok orang menolak ditertibkan dari lahan milik negara atas nama Kementerian Agama (Kemenag) di Cisalak, Kec. Sukmajaya, Kota Depok. Di bawah izin tersebut ada 700 kepala keluarga dengan sekitar 2.000 jiwa sudah bertahun-tahun mendiami lahan tersebut.
Dimana di lahan tersebut dipilih menjadi Proyek Strategis Nasional pembangunan kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Beberapa warga yang menolak penertiban menjadikan Eigendom Verponding sebagai dasar atas penguasaan tanah milik negara.
Kuasa Hukum warga Erham yang tergabung dalam Badan Musyawarah Warga Verponding Seluruh Indonesia (BMWVSI) menyatakan, warga yang menguasai lahan tersebut salah satunya adalah pemegang kuasa lahan Verponding milik keluarga D Groot.
“Warga di kawasan ini beda. Ada perbedaan status hukum, sebab ini warga Verponding. Jangan semena-mena memainkan hukum,” ujar Erham di lokasi lahan, Senin (11/11/2019).
Kepala Seksi Pengadaan Lahan BPN Kota Depok Medi L angkat bicara. Menurut Medi, di Republik Indonesia Eigendom Verponding sudah tidak bisa dijadikan dasar hak atas kepemilikan atau penguasaan tanah bahkan pihaknya telah mensosialisasikan hal tersebut sejak lama.
Tak terkecuali untuk tanah milik Kementerian Agama dengan Sertifikat Hak Pakai Nomor 0002/Cisalak yang nantinya akan dibangun UIII. “Di negara Indonesia yang sudah jauh merdeka ini, tidak ada lagi Verponding dan kita sudah menyurat kemana-mana,” ujar Medi di kantornya, Kota Depok, Selasa (12/11/2019).
Bahwa memang dulu statusnya atau asal mulanya Verponding, lanjut Medi, itu hanya asal muasal saja atau riwayat. “Jadi Verponding itu hanya riwayat saja, tidak bisa dipakai untuk pembuktian saat ini,” ujarnya.
Sebelumnya lahan tersebut berstatus Eligendom Verponding No. 448 atas nama Samuel De Meyer atau William D Groot. Namun berdasarkan Undang-Undang (UU) No 1. Tahun 1958, PP No. 18 Tahun 1958 dan UU No 5 Tahun 1960 serta beberapa aturan lainnya atas tanah-tanah bekas hak barat telah dinyatakan sebagai milik negara.
Sebagai informasi, Eigendom Verponding atau tanah verponding merupakan produk hukum pertanahan pada zaman pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia yang melegitimasi kepemilikan seseorang atas tanah.
Setelahnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan UU No. 5 Tahun 1960 mengatur bahwa tanah verponding harus dikonversi statusnya dan setiap orang yang ingin mengkonversi hak atas tanah yang dimaksud selambat-lambatnya pada 24 September 1980 silam.
“Saya tegaskan sekali lagi, Verponding dalam status hukum untuk pembuktian kepemilikan tanah di Negara Republik Indonesia yang ada di BPN ini tidak diakui lagi keberadaannya, karena sudah banyak aturan-aturan yang cukup untuk melemahkan atau membantah (Verponding) tersebut. Jadi tidak ada lagi Verponding,” pungkas Medi.
Tim Terpadu Penertiban Lahan Pembangunan Kampus UIII membuka lagi ruang dialog bersama warga yang saat ini menempati lahan milik Kementerian Agama (Kemenag) di Cisalak, Kecamatan Sukmajaya, Depok, Senin (11/11/2019).
Kepala Satpol PP Kota Depok Lienda Ratnanurdiany menuturkan, dengan memperhatikan aspek sosial dan kemanusiaan, Tim Terpadu memutuskan untuk memberikan waktu kepada warga yang masih menempati lahan tersebut untuk membongkar sendiri bangunannya.
“Hari ini tadinya kami akan melakukan penertiban, hanya saja mereka (warga) ingin ada ruang dialog terlebih dahulu, kami akomodir itu. Atas saran dari Kapolres (Depok) dan Kuasa Hukum Kemenag kami menerima ruang dialog dari mereka,” ujar Linda di lokasi penertiban.
Dalam dialog bersama warga tersebut pihaknya menemukan bahwa mereka yang sebelumnya menolak ketentuan dalam Perpres 62 Tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional, kini berbondong-bondong untuk meminta agar diakomodir seperti yang tercantum dalam Perpres tersbut.
“Kita ingin mendengar sebenarnya mengapa mereka tidak ingin ditertibkan, ternyata mereka yang dulunya tidak tunduk pada ketentuan Perpres kini ingin balik di-appraiser (dinilai) seperti teman-teman (warga terdampak) yang lainnya,” terang Linda.
Namun, kata dia, penilaian sudah tidak mungkin dilakukan lagi, pasalnya proyek tersebut telah berjalan sesuai prosedur, warga yang sebelumnya dengan sukarela dilakukan penilaian oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) pun kini telah menerima ganti uang santunan atau kerahiman. Selain itu juga dibantu untuk sewa tempat tinggal di lokasi lain.
“Warga yang menempati lahan Kemenag, karena dianggap sudah melanggar, warga yang tidak memenuhi kriteria Perpres, tapi dia menempati lahan yang bukan haknya. Itu kan pelanggarannya di situ, lain halnya dengan rekan-rekan yang lain, dimana mereka juga menempati, menggarap tapi kemudian tunduk pada Perpres, itu diberikan santunan. Kalau ini ditawati nggak mau, ya sudah, berarti dilaksanakan penertiban,” tandasnya.
Tim Hukum Kemenag Misrad menuturkan, sebelum menggelar penertiban pihaknya telah melakukan sosialisasi sesuai standar oprasional prosedur (SOP) penertiban lahan UIII. Pihaknya menegaskan tidak menggunakan kekerasan sesuai protap dari pihak berwajib yang menjadi bagian dari tim penertiban tersebut.
“Tidak ada pelanggaran HAM, dari awal kita melalui prosedur yang baik, sesuai dengan Protab dari Satpol PP, Protap dari Polri dan Protap dari TNI. Secara SOP, Surat Pemberitahuan Pengosongan Lahan telah disampaikan kepada warga pada 5 September 2019 lalu, kemudain diberikan Surat Peringatan Pertama atau SP1 pada 11 September, dan berturut-turut SP2 pada 21 September, SP3 pada 1 November 2019,” baca Linda.
Setelah melalui rangkaian sosialisasi tersebut, barulah pada 4 November 2019 disampaikan Surat Pemberitahuan Pembongkaran, dilanjut dengan Sosialisasi Lisan Pembongkaran Bangunan pada area kerja PT Wika dan PT Adhi Karya yang menggarap pembangunan kampus UIII tersebut.
Misrad menambahkan bahwa dirinya bersama Tim Kuasa Hukum Kementerian Agama RI menegaskan beberapa warga yang bangunannya telah ditertibkan dan memenuhi syarat telah memperoleh kerahiman dan dibiayai untuk menyewa tempat tinggal di lokasi lain selama satu tahun.
“Ketika ada yang bilang pengungsi tinggal di tenda-tenda, itu tidak ada satu pun pengungsi tinggal di tenda-tenda, atau mereka yang ditertibkan tidak ada satu pun yang tinggal di tenda, bahkan kemarin ada yang langsung kita kontrakkan,” terangnya.
Terlebih, tegas Misrad, sebelumnya pihak Kementerian Agama telah berkonsultasi dengan Komnas HAM terkait duduk peraoalan tersebut, dan membuahkan hasil nama-nama 25 kepala keluarga yang telah diverifikasi untuk kemudian diberikan santunan.
Dimana 25 nama tersebut kini tengah menunggu pencairan santunan dan bangunannya belum ditertibkan hingga santunan diterima. “Yang sedang menunggu SK penerima santunan ada 25 orang, yang sedang diverifikasi ada 24 orang, dan itu tidak akan ditertibkan sampai mereka mendapatkan uangnya,” tandasnya.
Sebagai informasi, penertiban tahap satu pembangunan Kampus UIII tersebut mencakup area seluas 142,5 ha dengan status BMN atas nama Kementerian Agama RI. Semula lahan tersebut atas nama Departemen Penerangan RI Cq. RRI dengan sertifikat hak pakai No. 001/Cisalak tahun 1981.
Sementara itu, warga yang mengakui tanah teraebut dengan Eligendom Verponding No.448 atas nama Samuel De Meyer atau William D Groot di atas lahan tersebut, sudah tidak berlaku lagi. Berdasarkan ketentuan UU No.1 tahun 1958, PP No. 18 tahun 1958, UU No. 5 tahun 1960, PP No. tahun 1961 Jo. PP No. 24 tahun 1997 dan beberapa aturan pelaksanaan lainnya atas tanah-tanah bekas hak barat yang telah dinyatakan tanah negara serempak diseluruh Indonesia.
Disamping itu Eigendom Verponding No. 448 tersebut telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum oleh Pengadilan Negeri Depok berdasarkan putusan No. 133/Pdt.G/2009/PN. Depok. (net/lin)