Tantangan dan Peluang Tren Digital, Visi ASN Milenial: Ubah Stigma Terhadap PNS dan Bangun Public Trust

Diplomat muda Kementerian Luar Negeri Dinie Suryadini Mukti Arief. foto: humas PANRB

Menjadi agen perubahan bagi Jaya Setiawan Gulo bukanlah perkataan belaka. Selama 10 tahun berkarier menjadi aparatur sipil negara (ASN) sederet prestasi baik di tingkat nasional maupun internasional telah ditorehkannya.

semarak.co -Menunjukkan diri sebagai ASN muda berprestasi adalah salah satu upayanya untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap profesi pegawai negeri sipil (PNS).

Bacaan Lainnya

Dorongan untuk menjadi ASN semakin kuat ketika Gulo merasakan sendiri bagaimana buruknya kinerja dan pelayanan publik di daerahnya. Tekad untuk mengubah stigma yang melekat pada profesi ASN, membuatnya memilih sekolah kedinasan PKN STAN sebagai langkah awalnya masuk ke sistem birokrasi pemerintahan.

“Saya masuk ke pemerintahan itu karena ingin membuat perubahan, ingin mengubah image ASN menjadi keren,” ujar Gulo saat menjadi narasumber dalam webinar Bincang Inspirasi ASN edisi kelima yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) beberapa waktu lalu.

Untuk mewujudkan mimpinya tersebut, Gulo bersama rekan-rekannya menginisiasi aplikasi Custom Declaration Online (CD Online) di Bea Cukai Bandara Kualanamu, Sumatra Utara (Sumut).

Aplikasi tersebut memberikan kemudahan bagi para traveler atau masyarakat yang hendak ke Indonesia dengan membawa barang bawaan dari luar negeri. Ini membawanya menjadi Top 3 pada kategori PNS Inspiratif dalam ajang Anugerah ASN 2019 yang digelar oleh Kementerian PANRB dan menerima Piala Adhigana.

Gulo tidak hanya menunjukkan jati dirinya sebagai PNS ketika berada di lingkungan kerja. Ia kerap dengan bangga membawa profesinya tersebut ke berbagai penghargaan internasional yang ia terima.

Beberapa di antaranya penghargaan dari US Department of State, United Nations Environment Programme (UNEP), United Nations Food and Agriculture Organization (UN FAO), United Nations Entity Dedicated to Gender Equality and The Empowerment of Women (UN Women), dan organisasi lainnya.

Saat ia menerima penghargaan tersebut, ia selayaknya menjadi Duta PNS. “Jadi, waktu saya dapat penghargaan di depan PBB beberapa kali, saya dengan lantang mengatakan ‘I work as a government officer’, dan memperkenalkan PNS pada mereka,” ungkapnya bangga.

Bagaimana tidak, hanya sedikit sekali perwakilan Indonesia yang bisa mendapatkan penghargaan dari organisasi tingkat dunia tersebut. Walau prestasinya sudah berkelas dunia, Gulo tidak serta merta melupakan Sumatra Utara, tempatnya dibesarkan.

Ia kembali dengan memberikan bantuan kepada anak-anak sekolah dasar (SD) yang membutuhkan lewat The School Projects, sebuah organisasi yang diinisiasinya. Bersama para PNS dan diaspora Indonesia di Amerika Serikat, The School Projects kini telah berhasil memberikan bantuan kepada setidaknya 2.000 siswa SD di Sumatra Utara, Banten, hingga Papua.

Sementara itu, layaknya kaum milenial, Gulo juga mengunggah berbagai kegiatannya di media sosial. Ia kerap menunjukkan kegiatan atau pun project yang sedang dikerjakannya. Di sela waktunya, Gulo menyempatkan diri untuk menulis. Baginya, tulisan tersebut kelak akan  menjadi  ‘jejak’ dirinya nanti.

Berkat media sosial pula, berbagai tulisan Gulo berhasil masuk ke media internasional. “Jadi apa yg saya lakukan, saya promote di media sosial, kemudian mereka (media) notice. Jadi masuklah tulisan saya di Youth Time, Huffington Post, dan sebagainya,” tutur mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ini.

Salah satu prinsip yang selalu dipegang oleh Staf Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan ini adalah tanamkan mindset yang positif dan miliki keberanian untuk berkontribusi lebih. “Jangan pernah merasa kecil. Menjadi PNS bukanlah profesi yang bisa dikecilkan. Yang membedakan adalah bagaimana kita berkontribusi,” tegasnya.

Kontribusi tiada henti kepada bangsa ini, terus dilakukan Gulo. Saat ini, ia tengah menjalankan platform baru bernama Jadi PNS. Didalamnya terdapat informasi seputar CPNS, sekolah kedinasan, lengkap dengan try out-nya.

Di platform ini, juga terdapat knowledge sharing dari para PNS yang bisa menginspirasi masyarakat luas, salah satunya adalah pengalaman PNS yang bersekolah ataupun bertugas di luar negeri.

“Kita tunjukkan bahwa masih banyak PNS yang baik dan keren di Indonesia. Kita rebrand PNS dengan meningkatkan public trust melalui kinerja bibit-bibit ASN (milenial) ini,” pungkasnya.

Seperti diketahui, ASN menjadi salah satu aset birokrasi yang diharapkan bisa mewujudkan cita-cita pemerintahan berkelas dunia (world class government) tahun 2024.

Untuk itu, ASN harus mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan dunia yang semakin kompleks, seperti digitalisasi, globalisasi, information overload, maupun tantangan saat ini yaitu pandemi Covid-19.

Tidak bisa dipungkiri bahwa globalisasi dan digitalisasi menuntut ASN, khususnya ASN milenial untuk menjadi generasi pembelajar atau lifelong learner. Tidak hanya menerima, tetapi juga beradaptasi dan mengikuti perubahan ke arah yang positif.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang masif saat ini tentu menjadi tantangan sekaligus peluang bagi ASN untuk memenangi persaingan global.  Untuk menghadapi tantangan dalam persaingan global, ASN tidak boleh hanya sekadar bekerja menjalankan tugas-tugas rutin saja atau business as usual.

Diplomat muda Kementerian Luar Negeri Dinie Suryadini Mukti Arief mencontohkan kondisi pandemi Covid-19 sebagai sebuah kondisi dimana ASN harus adaptif, responsif, inovatif, dan kreatif terhadap sebuah perubahan.

Bahkan ASN harus bisa menyesuaikan diri dengan the new normal yang diramalkan akan terjadi setelah pandemi Covid-19 berakhir. “Jadi ketika kita masuk ke kantor kita harus benar-benar menyadari ada new normal dan kita harus beradaptasi sehingga hal tersebut tidak mempengaruhi produktivitas kita,” ujar Dinie pembicara Bincang Inspirasi ASN Edisi 5, Selasa (19/5/2020).

Dinie menambahkan, penggunakan cara-cara cerdas (smart power) juga dibutuhkan dalam menghadapi tantangan global. Generasi milenial yang sering disebut sebagai digital natives bisa memanfaatkan teknologi untuk membuka cakrawala berpikir dan memandang teknologi sebagai peluang untuk meningkatkan kompetensi, baik pengetahuan, keterampilan, maupun sikap/perilaku.

Bersamaan dengan perkembangan teknologi yang masif serta digitalisasi informasi, milenial juga dihadapkan pada information overload. Kondisi ini tidak jarang menyebabkan paradox of plenty, dimana informasi yang ada sangat melimpah namun tidak dimanfaatkan dengan baik atau bahkan disalahgunakan.

“Kita sebagai ASN harus mampu memilah informasi yang begitu melimpah menjadi ilmu yang berharga. Jadi jangan sampai teknologi yang mengatur kita,” imbuh Dinie.

Selain dituntut untuk memiliki kemampuan intelektual dan skill yang mumpuni, ASN milenial harus memiliki kemampuan kolaboratif. Artinya, generasi milenial yang lebih menyukai cara kerja yang cepat, fleksibel, dan dinamis harus bisa berkolaborasi dengan generasi terdahulu yang memiliki pola kerja berbeda.

ASN milenial kerap melontarkan ide atau gagasan segar yang dapat mendukung peningkatan kinerja di organisasi. Namun kemudian oleh generasi terdahulu sulit untuk memahami isu yang disampaikan oleh milenial, karena kurangnya dialog atau komunikasi.

“Di sinilah nilai dimana ASN milenial bisa menjadi bridge builder diantara generasi-generasi yang ada. Jadi kita berkolaborasi dengan dialog dan menyampaikan gagasan dengan alasan-alasan logis,” tutur Dinie.

Sebagai seorang diplomat yang sudah berpengalaman bekerja di dalam dan luar negeri, menurutnya untuk menjawab tantangan dan tuntutan sebagai ASN milenial tentu tidak mudah. Dinie menyampaikan ada tiga hal yang bisa dilakukan oleh ASN untuk menumbuhkan optimisme dalam menghadapi tantangan sebagai ASN berkelas dunia.

Pertama, keluar dari zona nyaman (comfort zone). Kita harus selalu menangkap kesempatan yang ada dan meraih sesuatu bukan untuk mendapat imbalan atau penghargaan, melainkan untuk memperkaya ilmu dan pengalaman. “Karena itu lebih rewarding. Jangan takut untuk mencoba hal baru,” katanya.

Kedua, constant learning. Profesi ASN tentu menuntut kita untuk terus menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Mengabdi di Kementerian Luar Negeri, Dinie yang berlatar belakang hukum awalnya menggeluti bidang hak asasi manusia (HAM) yang tidak jauh dari latar belakang pendidikannya.

Namun kemudian ia harus ditempatkan di fungsi ekonomi dan harus mempelajari ilmu baru agar bisa melaksanakan tugasnya secara optimal sebagai diplomat di negara perwakilan maupun saat sudah kembali ke dalam negeri.

Ketiga, sebagai ASN kita harus siap melakukan pekerjaan di luar tugas pokok dan fungsi (tupoksi) kita atau bekerja di luar panggilan tugas. Kesempatan ini bisa dijadikan peluang untuk mendapatkan pengalaman dan skill baru. “Ini disebut dengan beyond the call of duty. Kita harus sigap ketika melakukan pekerjaan dengan totalitas,” pungkas Dinie. (smr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *