Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW) Neta S Pane berpandangan, pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Novel Baswedan tak akan bisa mengungkap pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK tersebut.
Pembentukan TGPF oleh KPK dan Polri, nilai Neta, hanya sebatas pencitraan Presiden Joko Widodo dan Polri. Mengingat tiga bulan lagi masa coblosan Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 ditambah lagi dengan ajang debat capres-cawapres, 17 Januari 2019 besok.
“Percayalah itu tidak akan bisa terungkap. pembentukan tim ini sarat dengan tahun politik sehingga sarat dengan pencitraan, pencitraan untuk polisi maupun pencitraan untuk Pak Jokowi,” ungkap Neta pada wartawan di Jakarta, Sabtu (12/1).
Insiden penyiraman terhadap Novel, sinyalir Neta, dilakukan orang iseng. Bukan kelompok yang solid dan terorganisir. Jadi aparat akan kesulitan untuk membongkar dalang pelakunya.
“Hal ini berbeda dengan membongkar kasus yang dilakukan sekelompok orang atau jaringan. Kalau misal teroris, kelompok yang terorganisir. Jadi gampang mengungkapnya. Dalam kesimpulan kami pelaku penyerangan Novel itu orang iseng,” ungkap Neta.
Demikian pun berlaku pada insiden pelemparan bom molotov di rumah pimpinan KPK. Bom molotov itu, kata dia, mainan anak kecil yang mengindikasikan ini bukan suatu serangan serius. “Kami menduga itu dilakukan oleh orang iseng juga dan kami berkeyakinan bahwa itu tidak akan terungkap,” katanya.
Penyerangan dengan modus menggunakan bom molotov sudah berkali-kali terjadi di wilayah lain. Ia mencontohkan di wilayah Yogyakarta dan hingga kini pelakunya tidak dapat terlacak.
“Ini hanya orang-orang iseng melakukan teror untuk memanfaatkan situasi politik sehingga membuat suasana meriah dan tidak korban juga di sana. Jadi percayalah kasus Novel maupun kasus teror terhadap pimpinan KPK itu tidak akan terungkap meski dibentuk tim seperti apapun,” paparnya.
Anggota tim advokasi hukum Novel Baswedan, Alghiffari Aqsa menilai, tidak independe TGPF Novel Baswedan. “Tim bentukan kepolisian itu tidak bisa dianggap independen karena terlalu kuat unsur kepolisian di dalamnya. Mayoritas anggota tim berasal dari unsur kepolisian dan tim tersebut mesti bertanggung jawab kepada Kepala Polri Jenderal Tito Kamavian,” imbuhnya terpisah.
Beberapa ahli yang ada di dalamnya, lanjut dia, merupakan orang yang selama ini disinyalir selalu membela kepolisian,sehingga diragukan independensinya. Surat tugas TGPF ini ditandatangani Tito, 8 Januari lalu. Dalam lampiran surat bernomor Sgas/3/I/HUK.6.6./2019, nama Tito tertera sebagai penanggung jawab tim yang berjumlah 65 orang tersebut.
Didominasi Kalangan Polisi
Tim diberi waktu kerja enam bulan untuk mengungkap kasus penyiraman air keras ke wajah Novel yang terjadi pada 11 April 2017. Lampiran surat tugas itu juga menampilkan struktur tim gabungan yang terdiri atas berbagai kalangan.
Dari total 65 anggota, 53 orang berasal dari kepolisian yang diambil dari Badan Reserse Kriminal Polri, Kepolisian Daerah Metro Jaya, Detasemen Khusus Antiteror, Kepolisian Resor Jakarta Utara, hingga Pusat Laboratorium Forensik.
Sedangkan 12 orang yang lain berasal dari luar kepolisian, mantan Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji, Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti, mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nur Kholis, serta beberapa penyidik dan penyelidik KPK.
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar menilai, pembentukan tim yang didominasi polisi tak akan menghasilkan apa-apa. Sebab, sekitar 21 bulan sejak peristiwa penyerangan terhadap Novel, penyelidikan yang dilakukan kepolisian jalan di tempat.
Karena itu, kata dia, muncul dorongan supaya Joko Widodo membentuk tim gabungan yang lebih independen yang langsung bertanggung jawab kepada presiden. Pembentukan tim gabungan ini juga terkesan politis karena mendekati tanggal pelaksanaan debat pertama pemilihan presiden 2019 yang akan digelar pada 17 Januari mendatang.
Sebab, kata Haris, penindakan kasus ini telah berlarut-larut dan tak ada keputusan tegas dari presiden untuk pembentukan tim gabungan pencari fakta. Belakangan, penuntasan kasus Novel kerap dijadikan konsumsi lawan politik Jokowi. “Saya khawatir pembentukan tim ini hanya untuk menyediakan jawaban buat Jokowi saat debat pilpres,” kata Haris.
Juru bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan pemimpin KPK telah menerbitkan surat tugas pegawai yang masuk daftar tim. Ia berharap adanya tim ini bisa mempercepat penuntasan kasus. “KPK berharap itu berujung pada penemuan pelaku,” ujar Febri.
Nur Kholis mengatakan belum menerima surat tugas dari kepolisian. Namun ia telah mendapat undangan dari Polda Metro Jaya untuk ikut rapat tim gabungan pada Senin pekan depan. “Saya memang dihubungi dan dimohon kesediaan,” ujar Nur Kholis.
Sedangkan Indriyanto dan Hendardi mengaku belum mendapat informasi mengenai masuknya nama mereka di tim tersebut. Adapun Poengky menolak berkomentar. “Tanya ke Mabes Polri saja,” kata dia.
Kepala Divisi Humas Markas Besar Polri, Inspektur Jenderal Muhammad Iqbal, mengatakan tim gabungan itu dibentuk untuk menindaklanjuti rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada 21 Desember tahun lalu. “Kami harus menindaklanjuti rekomendasi itu paling lambat 30 hari setelah rekomendasi diterima,” kata Iqbal. (ipo/lin)
sumber: aksaranews.id