Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengajak media massa dan insan pers untuk menyampaikan informasi positif tentang perempuan dan anak. Menyusul acara dengan judul Pelatihan Jurnalistik Perspektif Gender dan Ramah Anak di Bogor, Jawa Barat, Rabu–Kamis (19-20/6/2019).
KPPA menggandeng Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sekaligus pesertanya para pengurus sebanyak 30 jurnarlis dari berbagai media cetak, elektronik dan online serta berbagai daerah yang terbagi 10 perwakilan PWI DKI Jakarta (PWI Jaya), 10 orang PWI Jabar, dan 10 orang dari berbagai wilayah Depok, Bekasi, dan Tangerang.
Asisten Deputi Partisipasi Media KPPA, Fatahillah Harahap yang mewakili Menteri PPPA Yohana Yembise mengapresiasi semangat peserta sebagai bentuk nyata peran dalam melindungi anak dan kesetaraan gender.
“Melalui kegiatan ini, kita bersama-sama berupaya melindungi masa depan anak yang merupakan generasi penerus bangsa, dan juga terus melakukan sosialiasi terkait kesetaraan gender ini,” imbuhnya.
Tanpa peran media, kata dia, kita tidak bisa berbuat apa-apa bahwa sampai saat ini, isu-isu gender dan anak masih menjadi pekerjaan rumah di Indonesia. Supaya implementasi perlindungan anak dan perempuan terealisasi, kata Fatahila, Kementerian PPPA sampai-sampai membentuk Asisten Deputi Partisipasi Media pada Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat.
“Melalui pelatihan ini, harapan kami agar teman-teman wartawan dalam pemberitaan tentang anak dan perempuan akan sesuai ketentuan yang berlaku,” harapnya ditemani fasilitator pelatihan Kamsul Hasan.
Informasi positif tidak hanya keberhasilan pemberdayaan perempuan dan anak, lanjut dia, tapi juga informasi adanya kekerasan terhadap perempuan dan anak yang sesuai fakta dan data dengan kaidah yang baik.
“Media massa kami harap dalam pemberitaannya sesuai kaidah PPRA dan Undang-Undang SPPA sehingga output positif dari media tersebut ikut mencerdaskan masyarakat,” katanya.
Kaidah PPRA dan UU SPPA, sambung dia, bertujuan melindungi perempuan dan anak dari korban kekerasan sehingga tidak lagi menjadi korban berikutnya karena identitas dibuka oleh media.
“Identitas seperti nama, alamat, dan wajah, perempuan maupun anak yang menjadi korban kekerasan harus dilindungi dengan tidak membukanya di media massa. Hal itu bisa menambah luka mereka. Kami harap media massa menyensor beritanya secara baik dan menghormati hak para korban kekerasan,” jelasnya.
Terkait itu, Fatahila pun menyesalkan media massa maupun wartawan yang kurang hati-hati membuat berita peristiwa kekerasan anak dari sosial media. Hal ini malah akan menimbulkan berita palsu atau hoaks.
Ketua Komisi Kompetensi PWI Pusat Kamsul Hasan mengatakan, pelatihan bagi para jurnalis ini sebagai sosialisasi aturan PPRA, produk terbaru Dewan Pers yang disahkan tanggal 9 Februari 2019 di Surabaya saat Hari Pers Nasional (HPN) bersamaan dengan MoU Dewan Pers dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Pelatihan ini sangat penting untuk melindungi wartawan dari jeratan hukum UU SPPA. PPRA Dewan Pers menjadi rambu bagi para wartawan agar tidak terjerat ancaman pidana 5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta berdasarkan UU SPPA.
“Masih banyak wartawan yang belum memahami, meski sudah merahasiakan identitas anak, tapi masih menulis lengkap orangtua atau keluarga dekatnya, itu tetap kena jerat hukum,” ungkap Kamsul yang masuk Tim Perumus PPRA Dewan Pers.
Karena itu, Kamsul berharap akan bertambah pengetahuan tentang berbagai peraturan terkait pemberitaan anak dan perempuan juga menjadikan wartawan menjadi advokasi atau pendamping anak bermasalah dengan hukum.
Media massa yang mengekploitasi perempuan korban, anak korban, dan anak pelaku, bisa diadukan ke Dewan Pers. “Wartawan tersebut bisa terancam penjara berdasarkan pasal 19 ayat 1 dan 2 UU SPPA nomor 11 tahun 2012, sementara media massa dilindungi UU 40 tahun 1999 tentang peraturan dewan pers, oleh karena itu wartawan dalam menjalankan tugas wajib hukumnya mematuhi PPRA,” tutur Kamsul.
Mantan Ketua PWI DKI Jakarta ini melanjutkan, UU SPPA tidak hanya mengancam wartawan tapi juga aparat kepolisian yang membuka identitas perempuan korban, anak korban, dan anak pelaku.
“Wartawan, polisi, jaksa, bahkan hakim, yang melanggar pasal 19 ayat 1 dan 2 UU SPPA nomor 11 tahun 2012 bisa terancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta,” ujarnya.
Kamsul menuturkan, UU SPPA lebih tinggi kedudukanya dibanding UU Dewan Pers karena menyangkut semua lembaga bahkan aparat kepolisian, jaksa, dan hakim, juga bisa terjerat pasal 96 UU SPPA apabila tidak melaksanakan kewajiban upaya diversi kepada anak pelaku sebagaimana dimaksud pada pasal 7 ayat 1. “Ancamannya pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 200 juta,” pungkasnya. (lin)