Ramalan akan pergerakan nilai tukar rupiah dalam kondisi sekarang amat beragam. Ada yang meramal bisa menembus Rp15 ribu per dolar Amerika Serikat (AS), namun juga ada yang anggap itu masih jauh. Melansir Refinitiv, rupiah di sesi awal perdagangan berhasil menguat tipis 0,01% ke Rp14.820/US$. Kemudian, rupiah berbalik arah dan melemah 0,06% ke Rp14.830/US$ pada pukul 11:00 WIB menjadi posisi terendah sejak 2 Oktober 2020.
semarak.co-Indeks dolar AS yang mengukur pergerakan di greenback terhadap 6 mata uang dunia lainnya, bergerak datar di level 104. Pukul 11:00 WIB, dolar AS berada di posisi 104,376 atau turun 0,31%. Hingga saat ini tidak ada pergerakan yang cukup berarti.
Analis Makroekonomi Bank Danamon Irman Faiz memungkinkan bahwa rupiah bisa menembus level tersebut. Akan tetapi mungkin tidak dalam waktu dekat. Hal ini juga bisa dipengaruhi oleh keputusan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI).
“Untuk Rp15 ribu per US$ dalam satu hari kemungkinan akan ditahan oleh BI, tapi kalau gradual dalam satu minggu ke depan bisa jadi. Apalagi kalau next week meeting BI tidak ada address issue ini. Jika BI masih dovish minggu depan maka ada potensi ke sana,” ujar Irman kepada CNBC Indonesia dilansir cnbcindonesia.com/20 June 2022 15:09 WIB.
Namun menurut Irman tidak hanya suku bunga acuan saja. Komitmen BI dalam menjaga pasar juga menjadi salah satu yang diperhatikan investor, misalnya kesiapan dalam melakukan triple intervention. “Misal dari triple intervention yang semakin agresif atau kenaikan suku bunga dalam waktu dekat,” imbuhnya.
Lonjakan inflasi di AS per Mei yang mencapai 8,6% secara tahunan (yoy) telah membuat bank sentral utama dunia yaitu Federel Reserve/The Fed menaikkan suku bunga acuannya secara agresif sebesar 75 basis poin (bps). Hal tersebut, rupanya ikut meningkatkan kekhawatiran akan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan potensi resesi.
Menteri Keuangan AS Janet Yellen mengatakan, pemerintah AS saat ini sedang meninjau penghapusan beberapa tarif untuk produk China dan kemungkinan akan menghentikan pajak bahan bakar untuk mengendalikan harga bensin yang menjadi penyebab utama melonjaknya inflasi di AS. Dengan menghapus beberapa tarif dari produk China, akan menurunkan harga bagi konsumen.
Presiden The Fed Cleveland Loretta Mester mengatakan bahwa menurunkan inflasi ke target 2% akan memakan waktu sekitar 2 tahun dan memproyeksikan bahwa inflasi akan bergerak turun secara bertahap dari level saat ini. Mester masih optimis bahwa data ekonomi AS yang dirilis pekan lalu, belum menunjukkan adanya resesi meski pertumbuhan melambat.
Ekonom Maybank Myrdal Gunarto berbeda pandangan. Menurutnya, kondisi fundamental ekonomi Indonesia sangat mendukung pergerakan rupiah tidak melemah lebih dalam. Apalagi kini likuiditas masih tergolong aman. “Liquiditasnya masih aman, karena suplai valas juga masih masuk dari ekspor,” kata Myrdal.
Di sisi lain, BI juga memiliki cadangan devisa yang besar untuk melakukan intervensi. Sehingga untuk menuju level Rp 15.000 per dolar AS masih cukup jauh. “Masih jauh ke Rp 15.000/US$,” pungkasnya. (net/cnb/smr)