Sejumlah lembaga survei kini nampak berlomba-lomba merilis hasil surveinya terkait dengan elektabilitas figur calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Hanya saja, hasil dari lembaga survei itu berbeda-beda. Sebagian mengunggulkan bakal capres Gerindra Prabowo Subianto, sebagian bakal capres PDIP Ganjar Pranowo.
semarak.co-Sedangkan posisi bakal capres Koalisi Perubahan untuk Persatuan Anies Baswedan selalu diurutan ketiga. Peneliti opini publik Agung Prihatna memaparkan, sebenarnya elit politik dan bohir yang telah mengeluarkan dana besar jauh lebih bingung jika dibandingkan masyarakat.
“Sebenarnya bukan masyarakat yang terlalu bingung. Yang bingung sebenarnya bohir. Karena ini menyangkut satu pertarungan yang besar, yang nggak sedikit, besar sekali,” tuturnya melalui YouTube Hersubeno Point, dikutip Senin, (12/6/2023) dilansir kontenislam.com-June 14, 2023 dari hajinews.id.
Ditambakan Agung Prihatna, “Kita masyarakat ini sebenernya biasa-biasa aja. Kita cuma bingung karena yang mana yang benar. Tapi sebenarnya yang paling bingung adalah elit politik dan bohir.”
Dia membayangkan lembaga survei atau polster yang sering melakukan survei ini pasti juga sering dapat telepon dari bohir untuk penjelasan mengapa hasilnya beda dengan yang lain. “Saya membayangkan itu pasti alasannya macam-macam dan sebagainya,” gumamnya.
Lebih lanjut mantan Ketua Senat Mahasiswa MIPA Unhas itu mengatakan, survei yang ada dasarnya bias. Bias afiliatif dari para pemimpin lembaga survei. “Karena kalau kita perhatikan sebenarnya itu jelas kelihatan lembaga-lembaga survei yang memihak kepada capres tertentu,” papar Agung.
Menurutnya, sejumlah lembaga survei ini telah mengorbankan Anies Baswedan di posisi ketiga. “Kalau melihat survei April-Mei tampaknya yang tinggi adalah capres yang diunggulkan lembaga survei itu, yang afiliatif,” papar Agung.
Demikian juga sebaliknya, lanjut Agung, yang menjadi korban itu capres ke-tiga. Anies Baswedan dengan elektabilitas yang terus merosot. “Padahal kalau kita cermati, itu sebenarnya tidak. Salah satu lembaga survey, yakni SMRC yang selalu mengeluarkan hasil survei dengan menempatkan Ganjar di posisi teratas.
Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo saling salip. Sedangkan bakal capres Koalisi Perubahan Anies Baswedan malah dibuat terus menurun. Hal ini berdasarkan survei telepon SMRC terbaru (30-31 Mei 2023).
Direktur Riset SMRC Deni Irvani mengatakan, SMRC menemukan elektabilitas Ganjar dan Prabowo masih lanjut saling salip. “Sementara elektabilitas Anies terus menurun. Dari sisi kedikenalan, Ganjar masih berpeluang naik. Dari sisi kedisukaan, Anies turun signifikan,” tuturnya dalam keterangannya, Senin, (5/6/2023).
Dari sisi kualitas, Ganjar cenderung lebih positif dibanding Prabowo dan Anies. “Dalam survel terakhir 30-31 Mei, di antara yang tahu, yeng suka kepada Ganjar 82%, Prabowo 80%, Anies 68%. Dalam 6 bulan terakhir, kedisukaan Anies cenderung turun dari 73% pada survei Desember 2022 menjadi 68% pada survei 30-31 Mei 2023. Sementara, pada periode yang sama, kedisukaan Ganjar relatif stabil,” jelasnya.
Berbeda dengan Survei SMRC, Prabowo Subianto unggul dalam hasil Indikator Politik Indonesia (IPI) yang dirilis pada 4 Juni 2023. Direktur IPI, Burhanuddin Muhtadi memaparkan, pada simulasi 3 nama kedua, Prabowo 38%, Ganjar 34.2%, dan Anies 18.9%. Belum menjawab sekitar 8.8%.
Untuk simulasi head to head, Prabowo mengungguli Ganjar dan Anies. Dikatakan, Ganjar hanya akan unggul jika Prabowo tak ikut bertarung. “Simulasi head to head, Prabowo unggul signifikan atas Ganjar dan Anies. Sementara Ganjar juga unggul signifikan atas Anies jika Prabowo diasumsikan tidak ikut bersaing,” kata Burhanuddin.
Survei ini dilakukan pada 26-30 Mei 2023 lalu. Target populasi survei ini adalah warga negara Indonesia yang berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah dan memiliki telepon/call phone, sekitar 83% dari total populasi nasional.
Pemilihan sampel dilakukan melalui metode random digit dialing (RDD). RODD adalah teknik memilih sampel melalui proses pembangkitan nomor telepon secara acak. Dengan teknik RDD sampel sebanyak 1230 responden dipilih melalui proses pembangkitan nomor telepon secara acak, validasi, dan screening.
Margin of error survei diperkirakan + 2.9% pada tingkat kepercayaan 95%, asumsi simple random sampling. Wawancara dengan responden dilakukan lewat telepon oleh pewawancara yang dilatih.
Jauh sebelumnya diberitakan, jelang pemilihan presiden (Pilpres) pada pemilihan umum (Pemilu) 2024 banyak lembaga survei di Indonesia mulai menunjukan hasil survei mereka terkait elektabilitas atau apapun yang berhubungan dengan 3 besar capres, Ganjar, Prabowo, dan Anies Baswedan.
Meski begitu, pengamat Politik Rocky Gerung punya penilaiannya sendiri. Rocky mengatakan secara blak-blakan bahwa banyak lembaga survei sekarang telah melakukan manipulasi.
Dalam video yang diunggah akun Politikus Partai Demokrat Soeyoto, Rocky menyebut pada awalnya hanya ada satu lembaga survey, yaitu Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dibiayai World Bank.
“Nggak ada yang bayar di situ karena ini uang dunia, uang world bank. Dari lembaga itu berternaklah di situ tokoh-tokoh yang ada sekarang. Semua lembaga survei yang ada sekarang itu adalah urusannya tipu menipu. Saling nitip kuesioner. Karena itu mirip-mirip aja,” dalam video itu dilansir wartaekonomi.co.id, Kamis, 08 Juni 2023, 21:00 WIB.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi pun buka suara. Ia menekankan bahwa Rocky salah lantaran LSI dibiayai JICA pada awalnya, bukan World Bank. “Mas @arsul_sani, belum apa-apa Rocky Gerung sudah salah. Yg biayai @LSI_Lembaga bukan World Bank, tapi JICA,” ujar Burhanuddin, dikutip dari akun Twitter-nya @BurhanMuhtadi pada Kamis (8/6/2023).
Independensi dan integritas lembaga survei politik menjadi pertanyaan laten yang kembali mencuat jelang Pemilu 2024. Salah satunya imbas pernyataan pengamat Rocky Gerung yang kemudian disambut sejumlah penggawa lembaga survey politik di Indonesia via akun media sosial masing-masing.
Tudingan Rocky Gerung diawali dengan paparan sejarah lembaga survei. Dia menyebut LSI merupakan cikal bakal adanya institusi serupa di Indonesia. Menurutnya LSI mala dibiayai oleh bank dunia untuk menopang demokrasi di Indonesia. LSI kemudian melahirkan tokoh-tokoh yang kini membuat lembaga survei-survei politik lain di Indonesia.
Namun, ia menilai lembaga survei di Indonesia saat ini merupakan upaya tipu-menipu. “Nipu, udah digaji, eh dia bikin di dalam lembaga yang udah digaji itu survei dia sendiri. Semua lembaga survei yang ada sekarang itu adalah urusannya tipu-menipu saling titip kuesioner,” ujar Rocky dalam rekaman video yang kemudian viral.
Dugaan itu muncul lantaran hasil berbagai survei politik yang ada di Indonesia cenderung mirip. Menurutnya, sebuah lembaga survei tak bisa diyakini kebenarannya jika tidak memiliki bukti dibiayai publik.
Pendiri lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saiful Mujani menegaskan bahwa LSI tak dibiayai oleh bank dunia melainkan Japan International Cooperation Agency (JICA). Namun, sumber tersebut tak mendikte proses dan hasil survei.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menyatakan lembaga survei tak melakukan penipuan. Hal itu lantaran lembaga survei telah dipercaya banyak pihak, salah satunya partai politik. Lantas bagaimanakah sejatinya independensi lembaga survei politik di Indonesia?
Pengamat politik Universitas Andalas Asrinaldi mengatakan tak akan ada yang mempersoalkan lembaga survei selama ada pertanggungjawaban secara ilmiah dan transparansi terkait pembiayaan.
Menurutnya, jika lembaga tersebut dapat menjelaskan dengan baik perihal metode yang digunakan dalam survei, maka dipastikan memang bisa memprediksi angka. Sebab, salah satu fungsi ilmiah adalah memprediksi.
“Masalah kedua adalah pembiayaan. Siapa yang membiayai. Dari situ bisa kita lihat apakah lembaga survei ini memang punya kepentingan untuk kemajuan demokrasi atau untuk kepentingan tertentu dalam politik jangka pendek,” kata Asrinaldi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu malam (7/6/2023).
Asrinaldi tak menampik ada beberapa hasil survei yang bisa menggiring opini publik jelang tahun pemilu. Survei, katanya, bisa saja membentuk opini jika didukung perangkat lain seperti pemberitaan media, pemengaruh (influencer), serta pendengung (buzzer) yang menggemakan isu tersebut via berbagai platform media sosial.
Asrinaldi pun lalu berbicara soal pencitraan dan realita. Menurutnya, informasi pencitraan sosok tertentu sebenarnya bisa berbeda dengan realita. Ia menilai jika diberitakan secara terus menerus akan membuat masyarakat percaya bahwa apa yang ditampilkan merupakan suatu kebenaran.
Ia menilai konsep tersebut juga berlaku untuk hasil survei yang dipublikasikan kepada masyarakat. Misalnya, hasil survei menyatakan salah satu calon presiden atau partai politik memperoleh banyak suara, maka seiring berjalannya waktu di dalam pikiran masyarakat akan terpatri bahwa sosok tersebut akan menang.
“Kecenderungan manusia itu memang memihak kepada yang menang. Dengan kecenderungan itu tentu lembaga survei sudah mengalami makna yang negatif karena memang tujuannya untuk menggiring opini publik untuk kepentingan politik yang mereka dukung. Itu yang kita sayangkan,” ujar Asrinaldi.
Asrinaldi mengatakan sepatutnya lembaga survei yang berpihak dan direkrut kandidat atau institusi tertentu tidak memublikasikan hasil surveinya ke publik. Menurutnya, hasil tersebut cukup untuk kepentingan internal yang kemudian digunakan untuk merancang strategi kemenangan.
“Jadi berapa angkanya, datanya berapa itu mereka untuk menyusun strategi bahwa kita dalam bulan ini harus menaikkan elektabilitas kita, menaikkan popularitas kita, harus turun ini, mainkan isu ini. Itu internal itu strategi,” katanya.
“Tapi kalau kita tahu lembaga survei ini direkrut calon tertentu kemudian mempublikasikan, sudah pasti itu akan memenangkan yang di-hire itu. Jangan dipercaya,” demikian Asrinaldi yang penulis buku Kekuatan-kekuatan Politik di Indonesia (2014).
Asrinaldi menilai sudah menjadi rahasia umum ada beberapa lembaga survei besar terafiliasi oleh partai politik. Oleh karena itu, tak lagi mengherankan jika hanya tokoh tertentu saja yang unggul di lembaga survei tertentu.
“Tidak heran kalau melihat hasilnya si ini menang, si ini terus, ya sudah kita paham sama paham. Cuma yang kita sayangkan adalah publik yang tidak paham dengan ini akan tergiring kepada apa yang dimaui oleh lembaga survei ini,” ucap Asrinaldi.
Atas dasar itu, kata dia, mempertanyakan perihal pembiayaan terhadap lembaga survei perlu untuk dilakukan. Ia menyebut biaya survei nasional berada di kisaran angka Rp500 Juta hingga hampir Rp1 miliar, sehingga tidaklah mungkin jika lembaga survei merogoh kantong pribadi untuk pembiayaan.
“Tanyakan siapa yang membiayai. ‘Oh kami biaya sendiri’. Tidak mungkin, biaya survei itu mahal lho. Sekali oke kita percaya tapi kalau berkali kali enggak yakin saya. Untuk apa kepentingan dia kalau sekedar publikasi saja. Mahal biaya survei lho, pemilu bagi dia kan keuntungan juga,” ujarnya.
Perihal integritas lembaga survei sebetulnya bukan diungkap Rocky saja. Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD dalam kegiatan KAHMI di Palu pada tahun lalu pun pernah menyinggung soal lembaga survei ‘bisa dibeli’.
Mahfud mengatakan saat ini semua orang dapat mengeluarkan hasil survei bahkan membelinya. Seseorang juga bisa membayar lembaga survei untuk memunculkan namanya dalam hasil survei tertentu.
“Sekarang saudara boleh survei. Wah, ini surveinya sekarang ya nomor 1, 2. Ini ada yangngeluh ‘loh kok saya belum masuk, masukkan saya dong’, boleh,” kata Mahfud dalam pidatonya di acara Gala Dinner Keluarga Besar KAHMI di Palu, Sulteng yang disiarkan di kanal YouTube Munas Kahmi, pada 24 November 2022 lalu.
Asrinaldi mengaku mulanya begitu kagum dengan lembaga survei pada era Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Lembaga itu lahir pada dekade 1970an silam dan masih eksis hingga saat ini.
Lembaga yang dulu dilahirkan Perhimpunan Indonesia untuk Pembinaan Pengetahuan Ekonomi dan Sosial (BINEKSOS) itu bergerak di bidang penelitian, pemberdayaan, pendidikan politik, ekonomi, sosial, serta penerbitan. “Awalnya saya sangat respek, pertamanya LP3ES. Itu sangat luar biasa sekali,” kata dia.
Setelah LP3ES, Asrinaldi mengatakan seiring berjalannya waktu, muncul beberapa lembaga survei yang mulanya mencari mitra untuk bekerja sama, namun berakhir dengan memublikasikan hasil survei untuk menunjukkan eksistensi.
Menurutnya banyak lembaga survei yang ingin mencari keuntungan dan kecenderungan masyarakat kepada lembaga tersebut, sehingga dipermainkan. Oleh karena itu, ia menyebut lembaga survei kini justru menunjukkan tren independensi yang semakin buruk.
“Kalau dilihat trennya sekarang dengan banyak lembaga survei membuat orang semakin bingung sehingga orang tidak percaya ya itu menggambarkan hasil survei semakin lama semakin buruk,” kata Asrinaldi.
Asrinaldi menyatakan integritas sebuah lembaga survei tecermin pada kemandiriannya dalam membiayai survei tersebut. Menurutnya, jika pembiayaan dilakukan secara pribadi, maka bisa dipastikan lembaga itu berintegritas. Namun sebaliknya, jika pembiayaan tidak transparan, maka perlu dipertanyakan integritas lembaga survei itu.
“Kalau dia bisa menunjukkan bahwa dia membiayai itu tidak bergantung pada orang lain berarti dia independen. Kalau dia independen berarti integritasnya bisa dijaga. Tapi kalau independensinya itu tidak bisa ditunjukkan kepada publik bagaimana kita mempercayai integritasnya,” sambung Asrinaldi.
Sementara itu Wasisto mengatakan kredibilitas lembaga survei bisa dilihat dari terafiliasinya lembaga tersebut dengan asosiasi. Salah satu asosiasi yang menampung lembaga survei adalah Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi).
Menurutnya, lembaga yang tergabung dalam Persepsi tak akan melakukan tindakan menyimpang lantaran adanya kode etik yang mengikat. Hasil survei bisa dipercaya validitasnya jika sampel yang digunakan dalam mengambil data tersebar merata di seluruh Indonesia. Selain itu, sampel juga representatif dengan populasi penduduk.
Dia menyebut salah satunya Litbang Kompas yang memiliki sampel yang begitu besar, sehingga membuat banyak masyarakat mempercayai hasil survei tersebut ketimbang survei lainnya.
Wasisto mengatakan integritas sebuah lembaga survei bergantung pada intepretasi publik dalam melihat hasil survei tiap lembaga. Hal itu juga dapat dilihat berdasarkan metode yang digunakan dalam pengambilan sampel saat melakukan survei.
“Tapi paling tidak publik bisa lebih cerdas dalam membaca hasil survei. Misalnya berapa responden dan durasi survei di lapangan. Kedua hal itu krusial dalam menghasilkan temuan survei,” ujar dilansir cnnindonesia.com/nasional/202306080811.
Diketahui, cnnindonesia.com telah menghubungi Ketua Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) Philips Vermonthe dan dua anggota lain Persepi yakni Djayadi Hanan serta Hamdi Muluk sejak Rabu malam (8/6/2023). Namun, semua yang dikontak itu belum merespons hingga berita ditulis. (net/cnn/kon/war/hji/smr)