Survei lembaga Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan mayoritas warga meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) kerja berdasar janji-janji saat kampanye di pemilihan presiden (Pilpres) bukan PPHN (Pokok-pokok Haluan Negara) atau GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara).
semarak.co-Direktur Eksekutif SMRC Sirojudin Abbas mengatakan, kebanyakan responden mengaku ingin agar Presiden Jokowi bekerja sesuai dengan janji-janji politik kepada rakyat yang disampaikan di masa kampanye setiap pemilihan presiden (pilpres).
“Mayoritas warga tidak menghendaki presiden bekerja atas dasar GBHN atau PPHN, melainkan atas dasar janji-janji program presiden pada masa kampanye di Pilpres,” kata Sirojudin saat memaparkan hasil survei pihaknya dalam Update Opini Publik tentang Amendemen UUD 1945 secara daring, Jumat (15/10/2021).
Dalam survei terkait sikap publik bila presiden bekerja atas dasar GBHN atau PPHN ini, terang Sirojudin, SMRC membagi ke dalam beberapa kelompok masyarakat. Kelompok pertama, berdasarkan massa pemilih partai politik.
Hasilnya, massa dari sembilan partai politik di DPR RI periode 2019-2024 ingin presiden tetap bekerja sesuai dengan janji-janji politik kepada rakyat yang disampaikan di masa kampanye pilpres. Persentase terendah berasal dari massa pemilih Pratai Golkar yakni 74 persen dan tertinggi dari massa pemilih PDIP yakni 89%.
Kelompok kedua, lanjut Sirojudin, berdasarkan massa pemilih capres 2019. Hasilnya, 82 persen pemilih Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan 80 persen pemilih Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ingin presiden bekerja sesuai dengan janji-janji politik yang disampaikan di masa kampanye.
“Hanya 10% pemilih Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan 12% pemilih Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang ingin presiden bekerja menurut GBHN atau PPHN yang ditetapkan MPR,” kata Sirojudin seperti dilansir CNN Indonesia.com | Sabtu, 16/10/2021 05:53 WIB.
Kelompok ketiga, rinci Sirojudin lagi, yang berdasarkan wilayah, juga menunjukkan mayoritas warga ingin presiden bekerja sesuai dengan janji-janji politik kepada rakyat. Persentase terendah dari masyarakat di DKI Jakarta dan Banten yaitu sebesar 74 persen, kemudian tertinggi dari masyarakat di wilayah Sumatera yaitu 85%.
Survei SMRC ini melibatkan 1.220 responden berusia 17 tahun ke atas dengan metode multistage random sampling dan margin of error ± 3,19 persen pada tingkat kepercayaan 95%. Dalam survei ini, SMRC melakukan wawancara lapangan pada 15 hingga 21 September 2021.
Sebelumnya, sejumlah elite politik menggaungkan wacana amendemen UUD 1945. Ada dua kelompok besar yang berbeda; pertama, pengusul PPHN/GBHN, yang dulu digawangi Megawati Soekarnoputri dan barisan PDIP, belakangan dimotori Ketua MPR Bambang Soesatyo.
Kelompok kedua, pengusul presiden tiga periode, yang digaungkan terutama di dunia maya diduga oleh para buzzer atau pendengung. Atas dasar hasil survei itu, pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Bivitri Susanti pun menyindir dorongan amendemen UUD 1945 yang disuarakan MPR itu.
Pemilih partai tidak menginginkan amandemen, jadi yang disuarakan oleh MPR itu aspirasi siapa?” cetus dia, dalam kesempatan yang sama. Ia mengkhawatirkan wacana amandemen ini merupakan aspirasi elite politik. Ia berkaca dari berbagai kebijakan yang menuai protes seperti revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja.
“Ini bukan pertama kali, ini sudah terpola. Ingat revisi UU KPK, UU Ciptaker. Sementara ini [wacana amandemen] terjadi lagi sosialisasi yang nantinya diklaim sebagai aspirasi,” tutur Bivitri.
Sementara, katanya, ada tiga jenis partisipasi masyarakat. Pertama, pastisipasi yang genuine atau murni dari masyarakat. Kedua, partisipasi tokenisme atau partisipasi perwakilan; dan ketiga partisipasi manipulatif. “Kita selama ini ada di partisipasi yang manipulatif terus,” cetus wanita muda.
Bivitri memberikan contoh partisipasi manipulatif yang dilakukan oleh elite politik ialah melakukan sosialisasi kebijakan. “Dari judulnya udah keliatan sih, sosialisasi, bukan untuk mendengar tapi untuk menyampaikan apa yang sudah disiapkan,” paparnya. (net/cnn/smr)