Oleh: Barto Silitonga *
semarak.co– Sejumlah jurnalis diamankan aparat kepolisian. Ada juga wartawan yang dianiaya dan perlengkapannya dirusak petugas.
Menyikapi hal itu, saya menyarankan adanya standar operasional prosedur (SOP) bagi para jurnalis yang meliput di lapangan.
Standar ini harus senantiasa ditekankan atau diingatkan kepada para wartawan yang bertugas di lapangan, terutama yang mewartakan aksi demonstrasi.
Perlu adanya pemahaman kepada para jurnalis bahwa wartawan bukan ‘manusia super’, yang paling hebat, bebas melakukan apa saja, karena dilindungi UU ataupun lantaran mewakili publik.
Dalam menjalankan tugasnya, wartawan harus memahami ada pihak-pihak yang tak senang dan paham dengan aktivitas jurnalistik yang mereka kerjakan.
Kendati apa yang dilakukannya demi kebaikan dan kemaslahatan masyarakat luas.
Wartawan harus peka terhadap situasi yang mengancam keselamatan jiwanya, maupun yang baru sebatas potensi. Wartawan harus pandai memposisikan diri.
Jangan ada pemahaman bahwa: ketika meliput berita di kubu polisi atau aparat keamanan, cenderung aman, bebas intimidasi dan tindak kekerasan.
Ataupun sebaliknya.
Karena berdasarkan pengalaman yang ada, pemahaman demikian ternyata keliru.
Dibutuhkan kepekaan bagi para jurnalis di lapangan, apakah aktivitas jurnalistik yang mereka lakukan, mengusik atau tidak pihak-pihak tertentu.
Diperlukan cara-cara ‘main’ yang lebih aman dalam peliputan, agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Mengingat, hingga kini upaya menuntut keadilan dari para jurnalis yang menjadi korban intimidasi ataupun kekerasan saat peliputan, cenderung tak bisa didapat.
Pihak-pihak yang harusnya bertanggung jawab, hanya bisa menyampaikan permohonan maaf, tanpa memberikan sanksi tegas kepada para pelaku. Sehingga akhirnya peristiwa serupa berulang.
Di lain sisi, organisasi profesi hanya bisa mengecam, tanpa mengambil tindakan lebih jauh.
Atas itu, kepekaan wartawan terhadap kondisi di lapangan menjadi solusi terbaik dari perkara ini. Dibanding berharap kepada pihak-pihak yang tak bisa diharapkan.
Akhirnya, jangan sampai ada tubuh memar atau luka-luka demi berita. Apalagi sampai meninggal dunia hanya gara-gara eksklusifitas sebuah produk jurnalistik.
Sebab tak ada berita seharga nyawa!
*) penulis dalah pengamat media massa dari Universitas Sumatera Utara (USU)
sumber: WA Group Guyub PWI Jaya