Sinopsis Buku 2024 Hijrah Untuk Negeri, Manusia Indonesia Selalu Berpikir Jangka Pendek

ilustrasi sastra indonesia

Buku bertajuk, 2024 Hijrah Untuk Negeri, Kehancuran atau Kebangkitan (?) Indonesia dalam Ayunan Peradaban (cetakan kedua) ini seolah gayung bersambut dengan tentang simbol 2030.

Gegap gempita perbincangan akhir-akhir ini tentang simbol 2030 rasa-rasanya memang menggoda sekaligus mengganggu pikiran kita sebagai Bangsa. Tetapi, apakah benar tesis itu? Apakah benar 2030 adalah kehancuran atau kebangkitan negeri ini?

Perbincangan peradaban kenusantaraaan, keindonesiaan kita, pada saat buku ini diterbitkan tahun pertengahan 2016, merupakan kemewahan bagi masyarakat negeri ini, karena tema seperti ini tak dapat dijadikan “pasar”. Tetapi sejak munculnya aksi 411 dan 212 yang menggoncang negeri ini, putaran perbincangan politik tahun 2018 apalagi 2019 menjadi tema terhangat hari-hari ini.

Ya begitulah sifat manusia Indonesia di negeri ini, selalu saja berpikir jangka pendek, terganggu dengan isu-isu hangat, dan tak pernah melihat realitas negeri ini dalam konteks yang lebih panjang, apalagi dikoneksikan dengan sejarah masa lalu, masa kini, hingga jauh ke depan.

Buku 2024 yang telah mengalami cetakan kedua pada 2018 berbicara di luar logika standar itu. Pesan Islam sebagaimana Saya memahaminya melalui Qur’an dan Sunnahnya banyak bercerita bercerita dan melakukan analisis masa lalu, masa kini dan masa depan, dan dengan itu Saya melakukan hal yang sama pada negeri kita tercinta ini, yaitu melakukan penelusuran masa lalu sekaligus memandang ke depan, di mana masa kini pasti punya keterikatan di antaranya.

Sejak lama saya memang gandrung pada gerakan-gerakan negeri dalam konteks diskursus peradaban, karena peradaban adalah kata kunci perubahan sejarah. Sebagaimana Islam pula, Islam, sekali lagi menurut pendapat saya pribadi, dirancang dari langit bukan untuk menjadi pegangan bagi individu-individu menuju surga saja, tema seperti itu hanyalah bagian dari desain besar pesan keumatan yang menyejarah, sebuah keharusan kontekstual untuk diterjemahkan dalam agenda setiap umat Islam yang memahaminya.

Fathul Mekkah 629 M bukan hanya keinginan diri kanjeng Nabi Muhammad SAW atau dorongan para sahabat untuk menisbahkan kekuasaan di Jazirah Arab. Fathul Mekkah yang didahului dengan puncak-puncak peristiwa dari Iqro’nya Muhammad SAW menerima pesan langit di Gua Hira’; Isra’ Mi’raj dari dunia menuju langit ke tujuh; Aqabah 1-2 dilanjut dengan Hijrah ke Madinah; serta kemenangan pertama umat Islam di Perang Badar 624 M; adalah pesan-pesan yang sarat kekuatan Invisible Hand asali, Allah SWT, demi menegakkan Izzul Islam wal Muslimin, peradaban manusia yang berkebudayaan bernilai religiousitas.

Membincang peradaban juga bukan sekedar menelusuri sejarah tokoh dan peristiwa-peristiwa penting pada pusat-pusat kekuasaan Yunani, Romawi, China, India, Amerika Serikat, Amerika Selatan, Jepang, Majapahit, Perlak, Malaka, Demak, Mataram Baru, Ternate, dan Tidore, serta pusat-pusat kejayaan lainnya saja.

Membincang peradaban juga bukan hanya masalah “makan” dan “kuasa”, ekonomi dan politik saja, dan dengan itu pula maka peradaban bisa hancur, luluh lantak tak berkeping, hilang dari sejarah masa kini dan masa depan.

Pandangan tentang peradaban manusia dalam buku ini tidak melihat seperti itu, dan pula tidak melihat bahwa kemakmuran dalam rentang peradaban sejak manusia muncul, menggunakan pandangan orientalisme yang selalu meletakkan Timur sebagai ladang milik Barat yang sah untuk dieksploitasi sesuai kehendak mereka; sedangkan masyarakat di dalamnya perlu dikasihani dan dituntun menuju perbaikan hidup, dan Barat sekali lagi adalah dewa penyelamat di dunia Timur; maka dengan demikian, agama, ekonomi, politik, budaya, dan life style wajib diimpor dari negeri mereka.

Hak sosiologis yang dipaksakan Kristen Barat sejak Revolusi di Inggris tahun 1381 setelah didahului kiamat pes “the Black Death”, memicu perjalanan mereka menyeberangi dunia-dunia baru di luar Eropa, dimulai dari tahun 1500-an, hingga dipuncaki revolusi Perancis, revolusi Amerika dan lainnya; semua dengan pertumpahan darah atas nama kemakmuran Kristen Barat dan ajarannya yang menyebar serta bertransformasi menjadi liberalisme sekuler ke seluruh pelosok hingga kini.

Akhirnya, kotak pandora keserakahan atas nama kemakmuran terbuka, melalui ledakan penduduk, perebutan sumber daya alam, kehancuran lingkungan, yang dimungkinkan memuncak tahun 2024 pada saat jumlah anak manusia di bumi mencapai 8 (delapan) miliar, hasil dari 5 kali kelipatan 12 tahunan sejak 1975. Ini merupakan kejadian demografis luar biasa yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah kemanusiaan.

Semua berawal dari revolusi industri di Inggris, setelah kejadian Deus Absconditus, Tuhan tersembunyikan, dipisahkannya dunia (sains, teknologi, ruang sosial, ekonomi, politik, pendidikan, hukum dan kebudayaan) dari keberadaan Tuhan, Tuhan dianggap pensiun, cukuplah berada di Singgasana Langit.

Memang, dampaknya, taraf hidup di Barat meningkat kemakmurannya, tidak di Timur, luar biasanya perkembangan sains teknologi, jaminan pendidikan meningkat drastis. Lawrence Smith mengatakan hal itu adalah hak Barat, bukan hak Timur. Karena, atas nama modernisasi lebih baik tidak melakukan pergerakan melakukan peningkatan kapasitas kemanusiaan menuju kemakmuran di semua wilayah di dunia, cukuplah mereka yang sedang dalam situasi “the most impoverished, dangerous, and depressing on Earth” diberi improvisasi aksi sosial atas nama kemanusiaan, tidak lebih dari itu.

Fukuyama mengatakan sebagai simbol kemenangan Liberalisme dan Demokrasi Liberal, dan Barat adalah pemegang sah status sosial Manusia Terakhir di muka bumi. Tetapi, kemakmuran ternyata juga dibarengi dengan kehancuran moralitas seperti bencana kebebasan LGBT – lesbong hombreng, meningkatnya kejahatan, aborsi, masifikasi penggunaan narkotika, serta kejahatan-kejahatan lainnya, yang melejit melampaui dunia Timur.

Bukan hanya itu, institusi inklusif ekonomi dan politik yang digadang-gadang Acemoglu dan Robinson berbasis demokrasi liberal-nya Fukuyama di Barat, ternyata diungkapkan Fukuyama sendiri sebagai realitas paling bobrok, birokrasi sebagai simbol institusi inklusif adalah pusat segala kebobrokan yang menyebabkan pembusukan politik, political decay.

Masalah kemakmuran, sekali lagi yang ada di benak Barat, hanyalah kemakmuran berbasis materialisme, tidak lebih. Maka, membincangkan peradaban yang dilakukan di sepanjang buku ini bukan yang seperti itu, tetapi lebih dan bahkan melampaui kekeringan intelektual semacam itu.

Kemakmuran seharusnya, sebagaimana saya yakini, adalah bagian dari integralitas berjiwa Langit untuk memberikan yang terbaik bagi umat, dan setiap manusia maupun masyarakat di dalamnya, memiliki hak, keinginan, kebersamaan yang sebenarnya, serta kebaikan yang perlu didakwahkan kepada siapapun untuk mencapai umatan wahidah sekaligus wasathan, umat yang utama, sekaligus umat yang sejahtera seiring sejalan.

Tetapi, sulit sekali menjelaskan bahwa idealisme Islam dan kearifan Nusantara yang telah menjelma dalam ruang sejarah Keindonesiaan seperti sekarang ini bila tidak diawali dengan penjelasan runtut akan kesalahan paradigmatik dalam memahami realitas, sejarah, dunia, dan kemanusiaan itu sendiri.

Apalagi bila itu sudah dipenjara dalam kenyataan pikiran dan laku pragmatisme ilmiah, materialisme, liberalisme dan sekularisme yang terangkum dalam ruang kesejarahan tanpa peran Tuhan sama sekali di dalamnya, Deus Absconditus, atau lebih lungrah bila Tuhan dipahami hanyalah sebagai mesin raksasa tak nampak bermekanisme otomatis atas kerja dan pengaturan yang terdapat di alam semesta, Gaia, dan dengan demikian alam semesta berjalan sebagaimana adanya.

Tuhan tidak dipahami sebagai Wujud Ketuhanan sebagai Yang Satu, Maha Pencipta, Maha Pengasih, Maha Pemurah, Maha Kuasa, Maha Melakukan Segala Sesuatu, Maha Meliputi, Maha Hadir di setiap aktivitas, dan Mahanya Maha di seluruh alam semesta termasuk dalam diri maupun peradaban manusia.

Pesan 624 M adalah kenyataan sejarah sekaligus titah Langit, begitu Saya memahaminya, tak bisa memahami terpisah bagaimana kenyataan sejarah harus dilepaskan dari titah Langit, entah karena ini adalah dogma yang telah mengakar habis di seluruh kejiwaan dan fikiran, atau memang pesan itu adalah teriakan semesta dalam ruang jiwa atau rasionalitas memandang sejarah.

Hal itu jelas sekali merupakan masalah yang tak bisa dipaksakan oleh siapapun. Hadits Gusti Pangeran Muhammad SAW yang mengatakan bahwa setiap 100 tahun pasti akan muncul pembaharu, bagi saya bukan hanya bersifat personal, atau individu, tetapi di dalamnya terdapat sifat keumatan, yang tercerahkan oleh setiap tetesan dan guyuran ayat-ayat langit tak henti barang sepertriliiun triliun detik bahkan tak hingga di semesta ini, dan dengan demikian maka seluruh semesta bersama seluruh pembawa titah langit di manapun akan bergerak bersama menebarkan kebaikan, keadilan, kebenaran yang terpatri tak lekang jaman.

Rentetan tahun-tahun sejak 2010 hingga 2016 adalah aksi kesejarahan yang khas dan dipenuhi tanda-tanda kegelisahan umat, dan mungkin akan memuncak dalam ruang-ruang kesedihan sampai tahun 2019. Tetapi kesedihan tak akan berlangsung lama, karena insya Allah selalu bersama umatnya yang sadar dan selalu mendekat kepada titah dan takdir-Nya, hingga 2020 situasi akan menjadi terang benderang, menjadi simbol dilakukannya perubahan yang berpihak pada umat, memuncak pada 2024, hingga Fathul Mekkah di negeri ini tahun 2029, bukan 2030 saya rasa.

Pesan-pesan Qur’an terutama Surat Thaha jelas sekali dan sangat gamblang, bloko sutho, tanpa tedeng aling-aling, menunjukkan bahwa abad ini, di seratus tahunannya, 2024 M hingga 2029 M nantinya, kebangkitan harus dijemput dan ditegakkan.

Sebagaimana Jang Oetama HOS Tjokroaminoto di tahun 1924 M, Pangeran Diponegoro dan Kaum Paderi di tahun 1824 M, Sultan Agung (1624), Sultan Trenggono (1524), Megat Iskandar Syah (1424), Sultan Aru Barumun (1324), Sultan Alaidin Sy Abbas Syah (1224), Nashiruddin al-Thusi (1224), Umar Khayyam (1038/104-1123/1132), Ibn Sina (980-1037); Al Biruni (973-1051), Al Kindi (801-873) Hunain ibn Ishaq (810-877), Al Khawarismi (…-863), Al Farabi (870-950), Mas’udi (…-956), atau Khalifah Al Ma’mun masa Dinasti Abbasiyah berhasil mengonsolidasi kekuatan Islam tahun 824 dan Yazid tahun 724 masa

Ummayah setelah dikuatkan dasar peradabannya oleh Ummar bin Abdul Aziz tahun 711-720. Itu hanya contoh, pasti tak terkira di era-era yang sama, para mujtahid-mujtahid dan mujahid-mujahid mendorong untuk, seperti diistilahkan Ismail Raji Al Faruqi, Pax Islamica, di manapun, kapanpun.

Akhirnya, saya memahami dan meyakini bahwa peradaban masa depan adalah peradaban yang mengedepankan Marwah Masjid, bukannya, sebagaimana diistilahkan Kuntowijoyo “Pasarisme”, dengan syarat bahwa kemakmuran dan peradaban yang lebih baik adalah milik bersama, milik umat.

Maka, kata kunci pentingnya adalah Konsolidasi Umat, di negeri ini harus disegerakan untuk mencapai kemakmuran bersama, dimulai dari kebangkitan 2024 melalui Hijrah, ya Hijrah Untuk Negeri tahun 2024, melalui hijrah kebudayaan religius sebagai desain ideologis, melakukan hijrah syuro sebagai antitesis demokrasi liberal, dan hijrah ekonomi berbagi sebagai antitesis ekonomi liberal sebagai desain konstruktif.

Dengan itu maka desain strategis, taktis, dan praktis diarahkan pada dua hal utama itu, desain ideologis-konstruktif.Selamat membaca pesan 2024, selamat menelusuri masa lalu, kini, dan masa depan.

Semoga kita masih punya semangat membawa negeri ini menuju kesejatiannya, Negeri Kesatuan Berkebangsaan Religius bernama Republik Indonesia.

Singosari, Purnama di bulan Rajab menjelang Ramadhan 1439 H – Akhir Maret 2018.
Ajidedim

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *