Opini by Indra J Pilliang
semarak.co– Sekarang di dunia, dengan perkembangan teknologi, negara-negara yang tertinggal berada di bawah electronica colonialism. Kita menjadi bangsa sekadar pengguna teknologi, khususnya informasi. Kita sebagai bangsa tidak dapat berkreasi dan bercerita tentang negara dan rakyat kita”
(Prof Dr Dimyati Hartono, Man of the Year 1997 versi American Biographical Institute, United State of America).
Krisis, apapun itu, berdimensi ganda, mencerahkan sekaligus menghancurkan. Dari krisis politik, akan lahir pemimpin-pemimpin baru yang kadang-kadang belum dikenal massa. Dari krisis ekonomi, akan menumbuhkan pengusaha-pengusaha baru yang tidak punya kesempatan dalam masa sebelumnya yang profan atau mapan.
Bahkan, dari krisis intelektual, akan muncul pemikiran-pemikiran baru yang justru tak terpikirkan dibandingkan dengan tidak adanya krisis. Di saat krisislah muncul momentum untuk melakukan pembenahan pemikiran, tingkah laku, sampai pembenahan administrasi, birokrasi, dan agenda harian.
Bangsa-bangsa yang besar di zaman sekarang adalah bangsa-bangsa yang telah melewati masa krisis dalam riwayat mereka. Amerika Serikat, muncul dari kaum kolonis Inggris, menyerap bangsa-bangsa lain, bergulat dengan perang “kemerdekaan” melawan induknya, perang saudara, sampai perbudakan.
Krisis itu juga yang menjelma dalam konstitusi Amerika Serikat, dengan menempatkan demokrasi dan penghormatan hak asasi manusia sebagai usaha untuk mengantisipasi krisis.
Berikutnya, di masa datang, Amerika belum tentu berhasil keluar dari krisis, ketika faktor-faktor objektif sejarah tidak bisa diselesaikan, bahkan lewat jalur konstitusi. Buku Samuel P Huntington antara lain memperkirakan krisis peradaban Amerika ini.
Bangsa atau negara besar yang tinggal sejarah adalah Yunani, Romawi, Macedonia, Turki, sampai Majapahit, dan Sriwijaya di Indonesia. Mereka tidak bisa keluar dari krisis secara mulus. Silih berganti, kebesaran mereka digantikan oleh bangsa atau negara lain. Hegemoni kekuasaan, ternyata dibatasi oleh waktu dan tempat.
Yang abadi, akhirnya hanyalah ide-ide, prinsip-prinsip, dan ideologi yang dihasilkan oleh bangsa atau negara bersangkutan yang masih bisa digunakan sampai berabad-abad kemudian. Catatan kebesaran suatu pemikiran akan membawa bangsa dan orang yang melahirkannya pada “keabadian”. Suatu jenis pemikiran klasik, sebagai tonggak peradaban.
Kekhawatiran yang dirasakan sekarang di Indonesia adalah bagaimana mempertahankan hegemoni politik dan ekonomi Orde Baru di tengah krisis ekonomi yang mengarah pada krisis politik. Tak kurang dari Sofyan Wanandi(Liem Bian Koen) sendiri yang membandingkan keadaan sekarang sama dengan tahun 1965, sebelum mahasiswa bergerak.
Arif Budiman (Soe Hok Djin, kakak Soe Hok Gie) sudah jauh-jauh hari mengatakannya. Bahkan Ekky Syahruddin membandingkan keadaan Indonesia sekarang sama dengan negara-negara Afrika.
Pernyataan pelaku-pelaku sejarah Orde Baru itu mengingatkan kita bahwa cerita kebesaran dan keberhasilan pembangunan yang mengendap di hati rakyat Indonesia, tinggal menunggu waktu untuk kembali dikoreksi.
Masalahnya, koreksi Orde Lama dilakukan oleh mahasiswa, bersama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Akan tetapi, ketika krisis ekonomi Orde Baru — yang menjadi pilar utama selama 30 tahun lebih — siapa yang melakukan koreksi itu?
Jatuhnya nilai mata uang rupiah, tidak jelas dilakukan oleh siapa. Menurut banyak pengamat, penyebabnya adalah faktor-faktor internal dan eksternal. Tetapi yang tidak pernah ditunjuk adalah siapa yang menggerogoti faktor-faktor internal dan eksternal itu. Logikanya, ekonomi pasti ada pelakunya, yaitu manusia. Adalah mustahil kalau uang dollar memakan rupiah, tanpa ada yang memiliki dollar dalam jumlah banyak.
Bisa jadi yang dialami Indonesia sekarang adalah suatu bentuk newcollonialism. Intervensi modal asing, tenaga asing, barang-barang impor (termasuk mobil Timor), stasiun televisi, dan benda-benda budaya asing lainnya, telah menyebabkan kita tidak percaya kepada uang sendiri, pemerintah sendiri, bank-bank sendiri, dan segala asesoris yang kita miliki begitu mudah untuk tidak kita percayai.
Tingkat ketergantungan kita kepada bangsa asing (baca International Monetary Fund dan sejenisnya) begitu tinggi. Bahkan ketika Thailand, dan Malaysia, sudah mengurangi gaji pejabatnya, kita tetap tidak melakukan apa-apa, dengan alasan gaji Pegawai Negeri Sipil sudah rendah. Akhirnya, kita menjadi bangsa koeli dan koeli di antara bangsa-bangsa.
Sebagai catatan, Gaji Pokok Presiden sejak 7 Januari 1993 adalah Rp 15.000.000,-, sedang Wakil Presiden Rp. 10.000.000,-. Gaji Pokok Menteri = Jaksa Agung = Panglima Angkatan Bersenjata = Gubernur Rp. 2.500.000,-, sama halnya dengan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua Dewan Pertimbangan Agung, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, dan Ketua Mahkamah Agung (Kompas, 20 Desember 1997).
Memang adalah irrasional kalau kita tetap bertahan dengan prinsip nasionalisme. Ketika semua orang memegang dollar, kita tetap ngotot mempertahankan rupiah. Tetapi perilaku irrasional itu justru kita dapatkan, akibat tekanan kuat dari pihak asing yang telah mendikte medan kesadaran kita.
Masyarakat, akhirnya, begitu mudah terombang-ambing oleh sesuatu yang ditiupkan dari luar. Contoh yang begitu nyata adalah dunia anak-anak yang begitu bersedih ketika Lady Di meninggal dunia; begitu gembira ketika Mickey, Guffy dan Pluto hadir di Lippo Karawaci; dan langsung merengek ketika tokoh dan mainan baru lagi trend karena keunggulan promosi. Medan kesadaran kita begitu terhegemoni dan tercekik oleh sesuatu yang datang dari luar kita.
Adalah naif kalau terpikirkan, semua yang tergambarkan di atas adalah proses alamiah dan akan melewati seleksi alam menurut teori evolusi Charles Darwin. Tak semudah itu. Alam memang melakukan tugasnya dan bereaksi, ketika keseimbangannya terganggu. Namun alam adalah sesuatu yang pasif dalam masyarakat moderen.
Tingkat keseimbangannya sangat dipengaruhi oleh keterlibatan manusia. Sampai-sampai ada ilmuwan yang bisa mengubah kehendak alam, ketika proses kloning berhasil.
Kloning menjadi bukti bahwa kehendak alam masih bisa disimpangkan. Akal yang diberikan kepada manusia, begitu jauh menembus batas-batas konvensional yang selama ini ada. Penemuan demi penemuan, eksperimen demi eksperimen, telah melahirkan sesuatu yang “baru”, sekalipun berdasarkan sesuatu yang “lama”.
Dengan pertimbangan itu, tidaklah salah kalau kita mengoreksi ulang konvensi-konvensi yang selama ini kita anut untuk mengubah keadaan. Prof Dr Anwar Nasution menyebutnya dengan “reformasi ekonomi” ketika yang dia sorot adalah krisis ekonomi. Teori ekonomi yang cenderung lebih eksak ketimbang politik dan sejarah, bisa disusun ulang.
Sayangnya, antara satu pakar dengan pakar lain, tidak pernah duduk satu meja, berlama-lama, untuk merumuskan suatu teori baru. Yang terlihat hanyalah klik-klik ekonomi, atau sistem kartel seperti disinyalir Faisal Basri, sehingga masyarakat awam menjadi kehilangan pedoman.
Langkah-langkah yang ditempuh pemerintah pun belum menyentuh akar permasalahan, yakni bagaimana membebaskan rakyat dari himpitan beban hidup yang begitu berat. Seperti lintah yang kekenyangan sehabis menghisap darah, pemerintah terkesan lamban bergerak.
Jenderal Soerjadi Soedirdja sendiri menyebutnya sebagai sikap limbung/bingung. Elite birokrasi kita seperti kehilangan inisiatif untuk bertindak. Ketika tidak ada inisiatif di tingkat elite, jajaran bawahan akan makin tertidur, sebab petunjuk yang diminta tidak juga turun-turun.
Akhirnya, Presiden Soeharto sebagai pemegang kendali, terlihat seakan singlefighter mempertahankan kewibawaan pemerintah dengan langkah-langkah taktisnya. Lihat saja penyelesaian kasus Jamsostek, pembatalan rencana ke Malaysia, pemberian gocik ke masyarakat Irian Jaya, pemberhentian Direktur Bank Indonesia, sampai langkah-langkah “hak prerogatif” lainnya.
Birokrasi yang kehilangan inisiatif berakibat pada munculnya upaya pengentasan situasi secara dini. Akibat lain adalah tingginya tingkat ketergantungan kepada Presiden. Wakil Presiden pun kehilangan pamor, seperti ditulis tabloid Adil. Presiden, sekalipun jika dikehendaki oleh beliau, perlahan-lahan muncul sebagai sosok yang di-kultus-individu-kan.
Hal ini bisa dilihat dari begitu tingginya tingkat rumors — dan kepercayaan masyarakat terhadap rumors — ketika Presiden istirahat. Naik turunnya harga/nilai rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, sangat berkorelasi dengan rumors tentang kesehatan Presiden Soeharto. Presiden menjadi taruhan dari segala-galanya. Ia adalah kartu truf terakhir.
Jika merujuk kepada konsep kekuasaan Jawa Kuno, keadaan semacam itu dinamakan sabdo pandito ratu. Jajaran birokrasi, dan rakyat, tinggal menunggu sabda untuk bisa berjalan.
Pilihan-pilihan rasional yang tersedia, sekalipun itu sesaat, tidak berani untuk dijalankan, karena khawatir bertentangan dengan sabda yang ditunggu. Krisis pun tidak bisa dilokalisir, malah merambah bidang-bidang lain. Apalagi kalau ada pihak ketiga yang memanfaatkannya untuk tujuan-tujuan pribadi, demi iseng sampai serius, makin runyamlah keadaan.
Masyarakat kehilangan tempat untuk bertanya. Sebab, kaum intelektual sudah begitu lama terpinggirkan.
Padahal dari kaum intelektual inilah tersembunyi pikiran-pikiran kreatif yang berdimensi luas dan holistis. Yang jadi masalah, kaum intelektual yang bisa diharapkan itu adalah kaum intelektual yang independen. Kaum intelektual yang tidak terkooptasi dan tidak terkontaminasi elite kekuasaan dan nafsu untuk berkuasa.
Suatu jenis kaum intelektual yang semakin langka untuk ditemukan, karena kuatnya jerat-jerat ideologi dan politik demi kepentingan kelompok yang melanda kaum intelektual Orde Baru. Kalaupun ada yang memenuhi kriteria itu, mereka sudah berada di luar negeri, atau penjara.
Imbas dari kelangkaan kaum intelektual jenis ini, juga bermula dari hulunya, yaitu tempat menggodok/mendidik mereka. Dalam hal ini, kampus. Kampus seakan kehilangan gairah intelektual.
Pendidikan massal dan komersial yang ditempuh sekarang, menjauhkan peserta didik untuk mengenal horison yang lebih jauh, dari hanya sekadar teori-teori kosong dari masing-masing disiplin ilmu. Medali Avicenna yang diperoleh Presiden Soeharto dari UNESCO untuk bidang pendidikan dasar, lebih didasarkan kepada pendidikan kuantitatif — dengan pertumbuhan peserta didik, sekolah-sekolah dan guru-guru — ketimbang kualitas.
Peningkatan jumlah penduduk yang tidak lagi buta huruf juga bukan jaminan, ketika kesadaran untuk membaca belum muncul. Membaca, dalam artian luas, termasuk membaca lingkungan, alam pikiran, dan sejumlah literatur, mulai cara memasak, bisnis, sampai filsafat.
Tidak munculnya kesadaran membaca ini juga akibat dari tingginya harga buku, langkanya perpustakaan berkualitas, dan biaya yang rekatif tidak terjangkau untuk membeli selembar koran atau majalah.
Kenaikan harga kertas — yang sepengetahuan penulis dua kali dalam lima tahun terakhir ini — menimbulkan kepanikan di kalangan pengelola pers. Ketidak-tersediaan informasi yang memadai, juga menjadi faktor bagi tidak terkendali atau tidak terkontrolnya rumors di tengah masyarakat.
Dari keseluruhan pandangan di atas, muncul keyakinan kuat di benak penulis, bahwa krisis bisa diatasi dengan memberikan kebebasan kepada birokrasi, kaum intelektual, kaum terdidik, dan masyarakat untuk berpikir alternatif/kreatif. Caranya adalah dengan meningkatkan jumlah buku, surat kabar, dan anggaran pendidikan pada umumnya.
Kesempatan untuk berdialog secara lugas dan transparan juga diperlukan. Suntikan dana untuk usaha tertentu, hanya bersifat pemecahan jangka pendek. Sedang yang diperlukan sekarang adalah pemecahan jangka panjang yang sesuai dengan karakter bangsa.
Dan yang paling penting, krisis membutuhkan saluran. Faktor kepemimpinan, mau tidak mau, menjadi faktor utama untuk mendisain sebuah perubahan akibat krisis. Dipanggilnya pemimpin-pemimpin tua, terutama dari kalangan ekonom, oleh Presiden Soeharto menjadi indikasi belum tumbuhnya kepercayaan kepada pemimpin-pemimpin muda.
Hal ini adalah suatu kemunduran, mengingat Orde Baru didirikan oleh kaum muda, bersama perwira-perwira Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang juga muda.
Pemimpin-pemimpin tua, cenderung menggunakan cara-cara atau teori-teori konvensional, untuk masalah-masalah dengan kondisi objektif berbeda. Tapi terserah pemerintah, apakah benar cara-cara itu bisa berjalan efektif.
Masyarakat tinggal menunggu. Dan sejarawan, seperti saya, tinggal mencatat keberhasilan, atau kegagalannya.
Jakarta, 24 Desember 1997
Tulisan ini pernah dimuat di Kompasiana
*) Catatan ini berasal dari tulisan tangan dalam buku harian penulis yang diketik ulang untuk pertama kalinya. Butuh sejumlah hari mengetiknya kembali, mengingat tulisan tangan penulis terlalu kecil untuk mata yang sudah menua dan uban yang sudah memutih.
Penulis bekerja sebagai petugas perpustakaan di STIE PRAMITA, Tangerang, dan pengelola Majalah Pendidikan Sinergi kampus yang sama, setelah pensiun sebagai Redaktur Pelaksana Surat Kabar Kampus (SKK) WARTA UI yang berhenti terbit akibat ketiadaan biaya dari Rektorat UI.
sumber: helmiadamchannel.com di WA Group KAHMI Nasional (post Senin (8/6/2020)