Oleh M Rizal Fadillah
semarak.co-MAHKAMAH Konstitusi telah memutuskan menolak Gugatan Judicial Review atas UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh Pemohon Herifudin Daulay dalam Perkara No 4/PUU-XXI/2023 dengan Amar Putusan “Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya”.
Artinya Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU No 7 tahun 2017 yang menjadi obyek gugatan adalah konstitusional. Putusan MK ini sama dengan Putusan terdahulu dalam perkara Judicial Review No. 117/PUU-XX/2022.
Bahkan dengan pertimbangan hukum yang sama pula. Dalam pembacaan Putusan Hakim Ketua Anwar Usman menyatakan “oleh karena itu pertimbangan hukum dalam putusan MK No 117/PUU-XX/2022 mutatis mutandis berlaku menjadi pertimbangan hukum dalam putusan a quo”.
Maka gagal lagi upaya untuk memperpanjang masa jabatan Presiden melalui proses Judicial Review lewat Mahkamah Konstitusi. Meski Judicial Review ini diajukan oleh pemohon perseorangan akan tetapi fakta politik sulit ditepis akan adanya “kemauan istana” untuk memperpanjang masa jabatan tersebut.
Jokowi berwajah formal “tidak menginginkan” tiga periode, akan tetapi “aspirasi” yang menghendaki perpanjangan menurutnya tidak boleh dilarang karena itu konsekuensi dari demokrasi. Jokowi memainkan kebijakan dubious melalui “kasak kusuk politik”. Atas kegagalan memperpanjang melalui proses gugatan MK tersebut, maka beberapa hal yang mungkin menjadi implikasi atau konsekuensi adalah:
Pertama, Pemilu 2024 harus dan akan dijalankan dengan terus menyiapkan Presiden boneka Istana untuk menghadapi calon yang dinilai kuat. Skema menang dengan segala cara termasuk curang adalah “sacred mission”.
Kedua, memperpanjang dengan alasan non yudisial. Pandemi Covid 19 hampir sukses untuk menjadi sebab, kondisi keuangan yang berat dibuat sebagai alasan rasional serta kekacauan yang mungkin diciptakan. Hukum pun dapat dimainkan untuk sejumlah kepentingan.
Di samping upaya Istana tentu rakyat pun memiliki peluang untuk menindaklanjuti Putusan penolakan perpanjangan. Sekurangnya dua hal, yaitu:
Pertama, segala cara yang dilakukan Presiden selama ini telah banyak melanggar asas kejujuran, amanah, sportif dan pemuliaan atas hak-hak rakyat. Sesuai dengan Tap VI/MPR/2001 maka sudah saatnya untuk mendesak secara kuat agar Presiden mundur dari jabatannya karena telah banyak melakukan penistaan etika kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua, melawan Undang-Undang. Dengan Perppu No 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang melabrak UU No 24 tahun 2003 tentang MK Presiden Jokowi telah melakukan “penghianatan negara”. Begitu juga dengan penerbitan Keppres No 17 tahun 2022 yang melawan UU No 26 tahun 2000.
Terakhir Presiden telah melanggar UU No 39 tahun 2008 mengenai rangkap jabatan. Dengan dapat didesak untuk mundur sesuai Tap MPR No VI/MPR/2001 dan dapat dimundurkan atau dimakzulkan sesuai aturan UUD 1945 Pasal 7A maka sebenarnya Presiden Jokowi saat ini memang sudah tidak layak lagi untuk menjabat sebagai Presiden RI.
Maka gagalnya upaya untuk “memperpanjang” masa jabatan Presiden melalui mekanisme hukum ternyata dapat berimbas pada upaya untuk “memperpendek” masa jabatan Presiden secara hukum pula. Bangsa ini butuh pemimpin yang lebih segar dan mumpuni. Bukan pemimpin basa basi dan tukang cari sensasi. Miskin prestasi dan anti demokrasi.@
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan