Moskow mengecam keras serangan militer Amerika Serikat (AS) terhadap fasilitas nuklir Iran. Melalui pernyataan resmi pada Minggu (22/6/2025), Kementerian Luar Negeri Rusia menilai tindakan Washington (AS) sebagai pelanggaran serius terhadap hukum internasional.
Semarak.co – Pemerintah Rusia juga menyerukan penghentian segala bentuk agresi militer dan mendorong semua pihak agar kembali ke jalur penyelesaian secara politik dan diplomatik.
“Keputusan sembrono untuk meluncurkan rudal dan bom ke wilayah negara berdaulat, apa pun alasannya, adalah bentuk pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional, Piagam PBB, serta resolusi Dewan Keamanan,” tulis Rusia, Minggu 22/6/2025 seperti dilansir dari reuters.
Sebelumnya, dilaporkan bahwa Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi dijadwalkan bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin di Moskow, Senin besok (23/6/2025) dalam rangka membahas eskalasi terbaru ini.
Langkah diplomatik tersebut menegaskan bahwa krisis di Timur Tengah kini menjadi perhatian serius kekuatan global seperti Rusia, yang menekankan pentingnya penyelesaian damai di tengah ketegangan internasional yang meningkat.
Diberitakan metrotvnews.com/22 June 2025 13:00, Sabtu malam waktu Washington, 21 Juni 2025, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump secara resmi mengumumkan bahwa militer AS telah meluncurkan serangan udara terhadap tiga situs nuklir utama Iran: Fordow, Natanz, dan Isfahan.
Dalam pidato nasional yang disiarkan dari Gedung Putih, Trump menyebut serangan ini sebagai keberhasilan spektakuler dan menyatakan bahwa kapasitas pengayaan nuklir Iran telah “sepenuhnya dihancurkan.
“Tujuan kami adalah penghancuran kapasitas pengayaan nuklir Iran dan penghentian ancaman nuklir dari sponsor terorisme nomor satu dunia,” ujar Trump, Washington, 21 Juni 2025, dikutip dari Media Israel.
Namun, langkah tersebut langsung memicu kontroversi keras dari berbagai anggota Kongres. Beberapa senator dan anggota DPR menuduh Trump telah bertindak secara inkonstitusional karena melancarkan serangan militer tanpa persetujuan legislatif.
Sejumlah senator termasuk senator negara bagian Vermont Bernie Sanders menyebut tindakan ini sangat tidak konstitusional. Trump menyerang Iran tanpa otorisasi dari Kongres. Kita harus segera kembali ke DC dan mengesahkan resolusi War Powers,” ucap Ro Khanna, legsilator negara bagian California, dikutip dari The Guardian, 22 Juni 2025.
Namun, apakah benar melanggar hukum? dan jika benar, hukum apa saja yang telah dilanggar pemerintahan Trump dalam serangan ini? Berikut penjelasannya.
Hukum AS: Wewenang Presiden vs Kongres
Melansir National Constitutional Center, organisasi hukum nasional AS, dalam sistem hukum negara tersebut, Konstitusi secara eksplisit menyebut bahwa hanya Kongres yang memiliki wewenang untuk menyatakan perang (Article I, Section 8, Clause 11).
Presiden, sebagai panglima tertinggi militer (Commander-in-Chief), dapat mengarahkan pasukan tetapi terbatas pada situasi yang sangat spesifik seperti serangan mendadak terhadap AS.
Untuk mengatur batasan tersebut, Kongres mengesahkan War Powers Resolution (WPR) 1973 yang mensyaratkan: Presiden wajib melaporkan ke Kongres dalam 48 jam setelah menggunakan kekuatan militer. Operasi militer harus dihentikan dalam 60 hari kecuali mendapat persetujuan Kongres.
Presiden hanya boleh memerintahkan aksi militer bila: (1) ada deklarasi perang, (2) ada otorisasi khusus dari Kongres, atau (3) dalam keadaan darurat akibat serangan terhadap AS. Dalam kasus serangan ke Iran ini, tidak ada deklarasi perang, tidak ada AUMF (Authorization for Use of Military Force) baru yang dikeluarkan dan tidak ada serangan langsung terhadap AS.
Oleh karena itu, secara tekstual, tindakan Trump dinilai oleh banyak ahli sebagai melanggar WPR. “Presiden tidak memiliki otoritas konstitusional untuk membawa kita ke perang dengan Iran tanpa otorisasi dari Kongres, dan Kongres belum memberikannya,” ujar anggota DPR Don Beyer, dikutip dari The Guardian, 22 Juni 2025.
Secara Praktis: Tradisi Presiden AS dan Pengabaian WPR
Meski secara hukum langkah Trump tampak tidak sah, sejarah mencatat bahwa banyak presiden AS telah melanggar atau mengabaikan WPR. Sejak 1973, hampir seluruh presiden—termasuk Reagan, Clinton, Obama, dan Bush—pernah melakukan aksi militer tanpa izin eksplisit Kongres, dengan dalih menggunakan wewenang eksekutif sebagai panglima militer.
Pada 2011, Presiden Barack Obama memerintahkan intervensi militer di Libya tanpa meminta persetujuan Kongres, dengan alasan bahwa operasi tersebut tidak termasuk dalam definisi “permusuhan” sebagaimana dimaksud dalam WPR.
Kemudian pada 2013, Obama sempat meminta otorisasi Kongres untuk menyerang Suriah, tetapi Kongres tidak mengambil tindakan. Namun dalam beberapa kasus, Obama juga mengacu pada AUMF 2001 dan 2002, terutama saat melakukan operasi terhadap kelompok seperti ISIS di Irak dan Suriah.
AUMF 2001 ditujukan untuk memerangi Al-Qaeda pasca 9/11, sementara AUMF 2002 awalnya ditujukan untuk melawan rezim Saddam Hussein di Irak. Presiden Joe Biden juga mengikuti pola serupa.
Ia beberapa kali melancarkan serangan terhadap kelompok milisi yang didukung Iran di wilayah Irak, Suriah, Yaman, dan Laut Merah, dengan mengutip AUMF 2002 dan wewenangnya di bawah Pasal II Konstitusi AS sebagai dasar hukum.
Setiap kali, pemerintahan Biden mengirim laporan kepada Kongres dalam waktu 48 jam sesuai ketentuan WPR, tetapi tanpa meminta otorisasi baru. Trump sendiri sebelumnya pernah melakukan penyerangan ke Suriah tahun 2017, mengacu pada AUMF 2002 setelah insiden serangan senjata kimia yang dilakukan pemerintah Bashar al-Assad.
Dengan latar ini, tampak bahwa presiden-presiden sebelumnya telah melemahkan pelaksanaan WPR dalam praktik. Namun, serangan ke situs nuklir Iran secara langsung—seperti dilakukan Trump pada Juni 2025—menjadi kasus unik karena tidak hanya melibatkan milisi, tetapi menyasar infrastruktur utama negara berdaulat.
“Ini tidak konstitusional,” tulis anggota DPR Thomas Massie di X pada 21 Juni 2025, yang secara bipartisan bersama Ro Khanna mengusulkan resolusi untuk menghentikan keterlibatan AS lebih jauh tanpa persetujuan legislatif, mengutip The Guardian.
Dengan latar ketegangan ini, pertanyaan hukum tetap menggantung: apakah tindakan Presiden Trump akan diuji oleh Mahkamah Agung atau dibatasi oleh resolusi Kongres? Yang pasti, serangan ke Iran pada Juni 2025 kembali mempertegas ketegangan lama dalam sistem pemerintahan AS: antara kekuasaan eksekutif dalam kebijakan luar negeri, dan kekuasaan legislatif dalam menyatakan perang. (net/met/smr)