Sengketa Pemberitaan tak Perlu Syarat Terverifikasi Faktual

Kamsul Hasan. foto: koransatu.id

Oleh Kamsul Hasan

semarak.co– Ini catatan pas setahun silam yang dimodernisasi. Sepanjang menjadi ahli pers saya tidak pernah melihat sengketa pemberitaan media dengan dasar verifikasi faktual dan penanggung jawabnya harus memiliki sertifikat wartawan utama.

Bacaan Lainnya

Saat penyidik bertanya apakah media yang dilaporkan sudah terdaftar di Dewan Pers (verifikasi faktual) dan penanggung jawabnya sudah memiliki sertifikat UKW utama?

Saya harus menjelaskan agak panjang kepada penyidik tentang syarat sebuah media disebut perusahaan pers harus berpedoman pada UU bukan karena verifikasi faktual atau wartawan utamakan.

Menurut UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang dimaksud Pers, Perusahaan Pers dan Karya Jurnalistik harus memenuhi ini;

  1. Pasal 1 angka 1, Pers harus dikelola oleh lembaga dan melakukan kegiatan jurnalistik. Bentuk atau platform media bermacam-macam. Bahkan platform yang belum dikenal pada tahun 1999 seperti streaming sudah dimasukkan dengan kata, saluran media lainnya.
  2. Pasal 1 angka 2, lembaga yang dimaksud Pasal 1 angka 1 harus berbentuk perusahaan pers khusus yang semata-mata hanya menjalankan usaha di bidang penyebaran informasi. Perusahaan pers tidak boleh bercampur dengan usaha lain. Itu sebabnya ahli pers perlu melihat Pasal 3 akta pendirian perusahaan tentang maksud dan tujuannya.
  3. Perusahaan pers yang dimaksud Pasal 1 angka 2 kemudian ditegaskan pada Pasal 9 ayat (2), harus berbadan hukum Indonesia. Badan Hukum Indonesia yang memisahkan aset perseroan dan pribadi adalah perseroan terbatas (PT), yayasan atau koperasi. Jadi CV tidak boleh dan Mahkamah Konstitusi sudah menegaskan hal itu saat menolak uji materi.
  4. Melaksanakan perintah Pasal 12 dengan mengumumkan nama media dan badan hukum, nama penanggung jawab dan alamat redaksi secara presisi untuk kepentingan hukum.

Penyidik juga kerap bertanya apakah pemimpin redaksi (maksudnya penanggung jawab, karena UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, tidak mengenal istilah pemimpin redaksi), sudah memiliki sertifikat UKW utama ? Saya harus jujur menjawab sesuai sumpah keahlian, bahwa itu peraturan Dewan Pers, bukan perintah UU.

  1. Setelah status media pers atau bukan pers baru masuk ke pokok materi. Ini biasanya yang ditanyakan terkait kemerdekaan pers, hak dan kewajiban perusahaan pers serta wartawan, menyangkut;
  2. Pasal 2 tentang kemerdekaan pers. Apa yang dimaksud kemerdekaan pers harus memiliki prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum, bagaimana penerapannya?
  3. Perusahaan pers memiliki kemerdekaan dan perlindungan sebagaimana Pasal 4, coba saudara ahli jelaskan, apakah wartawan tidak boleh dimintai keterangan sebagai saksi?
  4. Perusahaan pers sebagaimana dimaksud Pasal 5 memiliki sejumlah kewajiban antara lain norma agama, rasa kesusilaan dan asas praduga tak bersalah, apa yang dimaksud Pasal 5 ayat (1) ini.
  5. Perusahaan pers wajib melayani hak jawab, sesuai Pasal 5 ayat (2), apakah boleh perusahaan pers tak mau memuat hak jawab dengan alasan nara sumber pernah diminta konfirmasi tetapi tidak menjawab?
  6. Saudara ahli, apa yang dimaksud dengan Pasal 7 tentang kewajiban wartawan, mohon ahli jelaskan dengan rinci kewajiban baik sebagai anggota profesi maupun kewajiban mentaati Kode Etik Jurnalistik.

Silakan Uji Terkait Verifikasi Faktual

Masyarakat pers terpecah saat menyikapi kerjasama media dengan syarat terverifikasi faktual. Ada pro dan kontra sesuai alasan bahkan kepentingan masing-masing. Pemegang sertifikat verifikasi faktual, adalah pihak yang pro. Alasannya mereka “sudah teruji” setidaknya saat diverifikasi.

Mereka yang belum terverifikasi menilai persyaratan kerja sama gunakan verifikasi faktual untuk mengurangi kesempatan bersaing. Terlepas pro dan kontra dalam masyarakat pers, kerja sama media yang gunakan anggaran negara (APBN) / daerah (APBD) adalah obyek UU KIP.

Warga negara (wartawan) dan atau badan hukum Indonesia (perusahaan pers) adalah subyek hukum UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Bila penasaran siapa dan berapa nilai kerjasama pada badan publik, bisa gunakan hak ingin tahu, dengan cara bertanya kepada badan publik atau instansi itu.

Inti pertanyaan misalnya ;

  1. Berapa besar anggaran kehumasan dan atau publikasi pada tahun anggaran berjalan dan dua tahun anggaran sebelumnya.
  2. Siapa saja (perusahaan pers) yang mendapatkan anggaran kerjasama dan nilai anggaran masing-masingnya.
  3. Bagaimana prosedur lelang atau proses penunjukan.

Pertanyaan itu langsung ditujukan kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dan jangan lupa minta registrasi dengan tanggal penerimaan.

Tunggu maksimal 10 hari kerja, meski badan publik boleh meminta tambahan waktu tujuh hari kerja lagi untuk melengkapi data jawaban. Bila PPID badan publik tidak menjawab atau mengatakan hal itu dikecualikan oleh Pasal 17 UU KIP, jangan menyerah, sengketakan ke Komisi Informasi.

Data yang didapat merupakan informasi publik dan bisa disebarluaskan. Bahkan nama media yang dapat anggaran bisa dilakukan investigasi. Selain menyoal dana kerja sama dengan UU KIP, pengelola media yang memenuhi syarat UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers juga bisa menguji materi ke Mahkamah Agung.

Jadi apabila ada Pergub, Perbup atau Perwako yang mengatur kerjasama media harus terverifikasi faktual bisa diuji dengan pasal-pasal definisi pers pada UU Pers. Siapa yang ingin mencoba salah satu atau kedua langkah di atas agar jelas dihadapan hukum apakah kerjasama itu sah atau melawan hukum !

*) Penulis: Wartawan Senior, Dosen, Ketua Kompetensi PWI Pusat

 

sumber: koransatu.id di WA Group Guyub PWI Jaya/akun facebook@kamsulhasan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *