PT Dwikarya Langgeng Sukses selaku perusahaan properti/pengembang Perumahan Harvest City dan PT Borneo Daya yang merupakan perusahaan pengembang Perumahan Grand Mekarsari Residence yang terlibat persengketaan terkait pembuatan saluran irigasi atau pembuangan air.
Di mana Harvest City pun dinilai menabrak alias melanggar aturan Bupati Bogor karena tidak menjalankan rekomendasi yang dibuat dewan dan eksekutif.
Hasil rekomendasi yang dibuat dewan dan eksekutif menyatakan, Harvest City dan Grand Mekarsari harus membuat saluran pembuangan air untuk mencegah banjir. Grand Mekarsari menyatakan siap dan sangat bersedia menanggung biaya bersama pembuatan saluran pembuangan air tersebut.
Namun, pihak Harvest menolak dan enggan melaksanakan rekomendasi tersebut. Kasus ini pun jadi sorotan publik dan masyarakat. Yang ikut menyoroti dan membuka kasus ini adalah Komunitas Kaki Daun, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli terhadap lingkungan hidup dan cagar budaya.
“Yang paling penting, Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dalam kasus ini harus punya ketegasan. Itulah yang kita kawal. Pemda harus tegas terhadap Harvest yang tidak mau menjalankan rekomendasi tersebut,” tegas Ketua Komunitas Kaki Daun, M. Mahin Faqih seperti dilansir thejak.co
Saat dihubungi TheJak, kemarin, Mahin menyatakan, apalagi, dewan atau legislatif sudah mengeluarkan rekomendasi terkait hal itu. “Dewan sudah menjalankan fungsinya sesuai tupoksi, melakukan pengawasan dan eksekutif harus tegas, dong. Ayuk bareng-bareng tegakkan aturan itu,” cetusnya.
Kata Mahin, Harvest City harus mendapatkan teguran lisan, tertulis hingga sanksi hukum lainnya bila tidak bersedia menjalankan rekomendasi itu. “Kan, kalau rekomendasi teknisnya jelas, ya harus dilaksanakan, dong. Harvest harus patuh,” tukasnya.
Pengacara Grand Mekarsari, Dedy Dwi Yuliantyo, S. H. kepada TheJak, kemarin, di Jakarta mengatakan, Harvest telah menabrak dan melanggar peraturan.
“Ya jelas, Harvest menabrak aturan Bupati dan melanggar juga undang-undang dan peraturan kementerian lingkungan hidup. Jadi, Harvest sama saja ‘melecehkan’ Pemda Kabupaten Bogor. Melecehkan yang sudah ditandatangani bupati,” tandasnya.
Lebih lanjut, Dedy menjelaskan, kesepakatan bersama itu sudah dibuat sejak 2015. “Tapi, sampai detik ini (2017), Harvest menolak alias tidak bersedia menjalankan rekomendasi tersebut.
Alasannya, yang menandatangani kesepakatan tripatriat adalah CEO, bukan yang berwenang. Kan aneh. CEO sama direktur utama kan sama,” ujarnya heran.
Mengenai saluran irigasi, Dedy menerangkan, seharusnya, kali Cisadang itu melalui jalur tengah Harvest dan Mekarsari. “Tapi, ini ditutup oleh Harvest dan dipindahkan melingkar di pinggiran area dia.
Saluran air yang dari Mekarsari dikasih kecil. Karena saluran melalui Harvest diperkecil, maka debit air tidak masuk ke Cisadang. Karena salurannya kecil, pasti debitnya naik dan akan menyebabkan banjir. Nah, kalau banjir, maka akan mengganggu derah sekitar termasuk Kelurahan Cipenjo, Kecamatan Cileungsi,” ucapnya.
Dipaparkan Dedy lagi, yang ditutup Harvest itu saluran suplesi/irigasi dari lokasi PT. Borneo dan sekitarnya yang menuju kali Cisadang. Dan, sambungnya, kesepakatan bersama itu untuk penyelesaian pengganti saluran suplesi/air yang ditutup Harvest.
“Baik yang disepakati di Kantor Sekda Bupati Bogor maupun kantor Camat Cileungsi. Dan pihak Bupati Bogor melalui Sekda bersedia menerima saluran pengganti sesuai kesepakatan tersebut sebagai bagian dari sarana umum (PSU) yang (nantinya) diserahkan Harvest ke Pemda Kabupaten Bogor,” terangnya.
Ucap Dedy, sekarang ini, saluran suplesi/irigasi/air tersebut, harusnya tetap ada. “Adapun kalau mau dipindah ya harus ada izin dari dinas terkait.
Masalah dasarnya sepertinya saluran tersebut dimasukkan di girik (tanah) yang dianggap milik pribadi bukan pemda. Dan hal tersebut disetujui Pemda dengan bupati sebelumnya dalam master plan Harvest dan kemungkinan sekarang ini pun saluran tersebut sudah masuk dalam sertifikat sehingga Harvest dapat menyatakan miliknya. Jadi, ya Pemda makanya memilih penyelesaiannya oleh pihak Harvest dan PT. Borneo (Grand Mekarsari) saja,” urainya.
Ia menegaskan lagi, sudah ada kesepakatan bersama antara Harvest dan Mekarsari dan Pemda Kabupaten Bogor.
“Pemkab Bogor sudah merekomendasikan agar dibuatkan saluran bersama dengan biaya yang ditanggung bersama. Dari tahun 2015 itu.
Tapi, sampai sekarang tidak direalisasikan oleh Harveat. Kalau kami Mekarsari sudah mau. Intinya sudah ada peringatan dari Pemkab, dari kementerian juga, tapi Harvest mengabaikan rekomendasi itu semua
Kata Dedy, rombongan Komisi I DPRD Kabupaten Bogor sudah melakukan kunjungan ke lokasi dan memperingatkan lagi agar Harvest segera merealisasikan rekomendasi.
“Tapi, tidak ada itikat baik dari Harvest. Padahal, ini kan untuk kepentingan bersama. Kita juga bisa saja menutup dan keberatan dengan 7 pintu masuk air.
Kalau ditutup, semua Mekarsari dan lainnya pasti kebanjiran. Tapi kita kan enggak mau seperti itu. Karena, kita mau melaksanakan dan menjalankan kesepakatan bersama,” ungkapnya.
Saat ditanya apakah Mekarsari sudah melakukan somasi? Dedy menjawab, somasi sudah dilakukan. “Kita akan lakukan tindakan hukum lain.
Tapi, kita masih menunggu itikat baik mereka. Initinya, Harvest menabrak UU karena memindahkann saluran tanpa izin dan tidak melaksanakan UU,” tukasnya.
Sementara itu, pengacara Harvest City, Jamal, S. H. saat dikonfirmasi TheJak mengatakan, pihaknya membantah semua tudingan pihak Mekarsari. “Masing-masing kan, punya rekomendasi. Kalau tidak dijalankan, kan ya tidak apa-apa. Cuma rekomendasi kok. Saya tegaskan nggak ada yang ditabrak. Kami tidak menabrak aturan,” kilahnya.
Mengenai alasan penolakan menjalankan rekomendasi, Jamal menyebutkan bahwa dasar hukumnya lemah karena sesuai akte notaris yang berhak menandatangani kesepakatan hanya direksi.
“Terserah Pak Kukuh (ketua Komisi I DPRD Kabupaten Bogor) juga. Anda bisa tanya ke pengacaranya Mekarsari juga kok masing-masing punya rekomendasi. Saya mau rapat sudah dulu ya. Tolong nanti ID Card Pers Anda dan dari koran apa tolong kasih tahu nanti,” imbuh Jamal. (ags/lin)