Ekonom senior Rizal Ramli menyindir kinerja cabinet Presiden Joko Widodo yang cenderung mengadopsi World Bank dalam model pembangunannya. Padahal menurut Rizal, model ini ternyata hanya menghasilkan negara bangkrut. Capaian pertumbuhan ekonomi sangat lamban, dan menyisakan banyak ketimpangan di sana-sini. Karena itu, mantan Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya ke-4 mengingatkan, sudah saatnya Indonesia bersikap tegas dengan tidak lagi menggunakan model pembangunan ala Bank Dunia itu.
“Ekonomi kita mengalami pertumbuhan hanya kisaran 5 sampai 7 persen. Bandingkan dengan negara lain yang tidak menggunakan model Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi rata-rata diatas 10 persen,” kata Rizal Ramli saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional yang digelar Institut Ilmu Sosial Dan Manajemen STIAMI bertema Peranan Administrasi Publik Dalam Mewujudkan Pembangunan Ekonomi yang Mensejahterakan untuk Mengatasi Persoalan Kesenjangan Ekonomi dan rasa Kebangsaan, di gedung Lemhanas, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Sabtu (21/10).
Hal terpenting lainnya, lanjut Rizal, bahwa pertumbuhan ekonomi ala Bank Dunia juga membuat gap (jarak) antara si kaya dengan si miskin makin jauh. Ketidakadilan atas kue pembangunan semakin nyata. Indonesia saja, lanjut Rizal saat ini memiliki rasio ketimpangan yang semakin tinggi. Dimana 200 orang kaya di Indonesia menguasai 90 persen atas hasil-hasil pembangunan. Dan 10 persen lainnya dinikmati oleh sebagian besar penduduk Indonesia.
Rizal mengakui masalah korupsi memang menjadi kendala dalam hal pembangunan nasional. Tetapi korupsi bukanlah satu-satunya dan bukan pula menjadi masalah utamanya. Justru keberanian pemimpin untuk mengambil risiko itulah yang kini menjadi masalah di Indonesia. “Vietnam memiliki pemimpin yang berani ambil risiko. Lihat sekarang pertumbuhan ekonominya melesat melebihi Indonesia,” jelas mantan Menteri Koordinator Perekonomian era Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, tahun 2004.
Direktur Program Pascasarjana Institut STIAMI Taufan Maulamin mengingatkan hutang Indonesia saat ini Rp 4.500 triliun dengan beban cicilan dan bunga pada 2018, mencapai Rp 490 triliun. Dengan sumber daya alam yang melimpah, jumlah penduduk yang besar dan nilai-nilai Pancasila, sebenarnya Indonesia tidak perlu takut untuk melepaskan diri dari status pasien Bank Dunia.
Taufan mengingatkan Jepang, Korea, dan China adalah contoh negara yang tidak menggunakan model pembangunan Bank Dunia. Mereka menggunakan model pembangunan Asia Timur, yang pada 20 tahun kemudian menghasilkan pertumbuhan lebih dari 10%. “China dulu penghasilannya di bawah kita, hanya 100 dolar per kapita, kita sudah 150 dolar per kapita. Saat ini situasinya terbalik, kita 3000 dolar sementara mereka sudah 25 ribu dolar. Pun Jepang dan Korea. Menyusul kini Vietnam negara yang baru saja merdeka,” tegas Taufan yang juga Dewan Pengawas Syariah SMSFinance.
Menurutnya, untuk membawa Indonesia menjadi negara yang sejahtera dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak cukup pemimpin yang bersih dan sederhana. Pemimpin yang memiliki wawasan luas, memahami penyakit ekonomi negara dan mengerti langkah apa yang perlu dilakukan harus diutamakan pada pemilihan presiden yang akan datang.
Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Indonesia Prof Irfan Ridwan Maksum mengatakan, peran administrasi publik dalam mengatasi kesenjangan amat besar. “Budaya asal bapak senang atau ABS dalam sistem administrasi publik harus dihilangkan dan kita harus menuju ke pemerintahan yang bersih,” jelasnya.
Ia juga menyoroti bagaimana administrasi publik telah menimbulkan kesenjangan pembangunan baik pada era sentralistik mapun desentralistik. Bagaimana kesenjangan antardaerah pada era desentralisasi justeru semakin nyata dan lebih banyak menguntungkan Pulau Jawa. Karena itu, ia berpendapat bahwa pemerintah pusat harus memiliki role model untuk pemerataan pembangunan.
Rektor Institute STIAMI Panji Hendrarso mengatakan, kesuksesan pembangunan yang berkelanjutan tidak dapat dilepaskan dari peran administrasi public, yang saat ini memiliki peran memformulasikan dan melaksanaan kebijakan public. Ini terlihat oleh semakin dominannya peran birokrasi pemerintah dalam merumuskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang multidimensional seperti pembangunan ekonomi, kesejahteraan social, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, kependudukan lainnya.
“Perkembangan itu melahirkan dorongan untuk meningkatkan desentralisasi dan makin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, lalu melahirkan gerakan-gerakan servis administrasi public baru yang ingin menyampaikan pesan bahwa administrasi tidak boleh lupa nilai-nilai dan harus menghayati, memperhatikan serta mengatasi masalah-masalah social yang mencerminkan nilai nilai berkembang di masyarakat termasuk persoalan kesejahteraan,” tutupnya. (lin)