Oleh Desmond J. Mahesa *
semarak.co-Di saat banyak orang sedang sibuk menikmati liburan akhir tahun sambil mempersiapkan diri untuk menyambut datangnya tahun baru 2023, secara tiba tiba Pemerintah mengeluarkan produk hukum berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang/Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Sampai saat ini keluarnya Perpu tersebut masih hangat dibicarakan dikalangan pengamat hukum tata negara bahkan oleh rakyat jelata di warung warung kopi tempat mereka biasa bercengkerama. Hal ini disebabkan karena begitu tingginya kadar “kontroversial” dari Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Mengapa Pemerintah merasa perlu untuk menerbitkan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja? Apakah alasan penerbitan Perpu ini sudah sesuai dengan ketentuan yang ada? Mengapa kebijakan pemerintah untuk mengeluarkan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja ini bisa disebut sebagai sekadar langkah berlindung dibalik sehelai daun saja? Ke depan bagaimana sebaiknya agar penerbitan Perpu tak dijadikan sebagai sarana untuk menjalankan agenda politik penguasa?
Alasan Terbitnya Perpu
Alasan diterbitkannya Perpu sebagaimana disampaikan oleh Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto adalah karena adanya risiko geo politik terjadinya perang antara Rusia dan Ukraina yang belum selesai, dan tidak diketahui kapan berakhirnya. Akibatnya, “Pemerintah hadapi krisis pangan, krisis energi dan krisis keuangan serta dampak perubahan iklim,” terang Airlangga.
Airlangga juga mengklaim, saat ini banyak negara-negara berkembang masuk dalam pengawasan dana moneter nasional atau International Monetary Fund (IMF) yang jumlahnya mencapai lebih dari 30 negara.
Padahal di satu sisi pada 2023 mendatang Indonesia sudah mengatur bujet negara dengan menetapkan defisit anggaran sebesar Rp 598,2 triliun atau setara 2,84% terhadap produk domestik bruto (PDB) sehingga pembangunan akan mengandalkan pada investasi swasta.
Menko Airlangga menyebut, pengeluaran Perpu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja ini sudah sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 138/PUU-VII /2009.”Kebutuhan mendesak untuk mengantisipasi kondisi global terkait dengan krisis ekonomi dan resesi global, serta perlunya peningkatan inflasi, dan ancaman stagflasi,” kata Menko Airlangga dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (30/12/2022).
Dengan keluarnya Perpu Nomor 2 tahun 2022 ini Airlangga menegaskan UU Omnibus Cipta Kerja yang sebelumnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK maka telah menjadi konstitusional dengan adanya Perpu yang menggantikannya.
Alasan terbitnya Perpu yang disampaikan oleh Airlangga kemudian dikuatkan oleh Menko Polhukam Mahfud MD yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya ada tiga faktor yang jadi pertimbangan mengapa pemerintah mengeluarkan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 atau Perpu Cipta Kerja.
Pertama, Karena adanya alasan mendesak untuk adanya sebuah ketentuan hukum dalam bentuk Perpu sebab kalau dibuat dalam bentuk Undang Undang akan memakan waktu lama. Artinya saat ini ada keadaan yaitu kebutuhan mendesak terbitnya Perpu Cipta Kerja untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat sesuai Putusan MK No 138/PUU-VII/2009, yang saat itu di tandatanganinya selaku Ketua MK.
Kedua Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai atau belum memenuhi kebutuhan yang ada.Mahfud menyebut saat ini ada kebutuhan mendesak penerbitan Perpu Cipta Kerja dan kegentingan memaksa.
Yakni untuk menyelesaikan masalah kekosongan hukum secara cepat dengan menerbitkan undang -undang.”Tapi Undang Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga ada kekosongan hukum atau Undang Undang yang ada tidak memberikan kepastian hukum,” terangya sebagaimana dikutip media.
Ketiga kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan yakni dengan penerbitan Perpu Cipta Kerja.
“Sebab itu pemerintah memandang, ada cukup alasan menerbitkan Perpu Nomor 2 tahun 2022 berdasarkan pada alasan mendesak sebagaimana yang telah disampaikan oleh Menko perekonomian,” imbuhnya.
Seperti halnya Airlangga, Menko Polhukam Mahfud Md juga menegaskan bahwa putusan MK yang menyatakan Undang Undang Cipta Kerja (Ciptaker) inkonstitusional secara bersyarat gugur usai Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Alasannya Mengada-ada?
Alasan terbitnya Perpu seperti disampaikan oleh Airlangga maupun Mahfud MD ternyata panen kritikan dari para akademisi, pengamat hukum tata negara bahkan rakyat jelata.
Kalau keluarnya Perpu dikatakan karena adanya risiko geo politik terjadinya perang antara Rusia dan Ukraina yang belum selesai, dan tidak diketahui kapan berakhirnya, bukankah selama ini Pemerintah sering mengklaim Indonesia ekonominya kuat sehingga “kebal” dari krisis yang akan melanda?
Lain lagi alasan yang disampaikan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Menurut Lembaga ini, penerbitan Perpu dianggap tidak memenuhi syarat diterbitkannya Perpu yakni adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa, adanya kekosongan hukum, dan proses pembuatan tidak bisa dengan proses pembentukan Undang Undang seperti biasa.
YLBHI menilai penerbitan Perpu ini jelas bentuk pembangkangan, pengkhianatan atau kudeta terhadap Konstitusi negara, dan merupakan gejala yang makin menunjukkan otoritarianisme pemerintahan yang sekarang berkuasa.
Ini semakin menunjukkan bahwa Presiden tidak menghendaki pembahasan kebijakan yang sangat berdampak pada seluruh kehidupan bangsa dilakukan secara demokratis melalui partisipasi bermakna (meaningful participation) sebagaimana diperintahkan MK.
Presiden justru menunjukkan bahwa kekuasaan ada di tangannya sendiri, tidak memerlukan pembahasan di DPR, tidak perlu mendengarkan dan memberikan kesempatan publik untuk berpartisipasi didalamnya. Hal ini jelas bagian dari pengkhianatan konstitusi dan melawan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis sebagagaimana amanat Undang Undang Dasar 1945.
Senada dengan YLBHI,Pengajar Sekolah Tiggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, juga mengkritik Perpu ini melalui pernyatannya sebagaimana di kutip media.Bivitri menyebut alasan penerbitan Perpu ini menggambarkan pola pikir yang benar-benar pro pengusaha dengan menabrak hal-hal prinsipil yang seharusnya di jadikan acuannya. Ia menyoroti dua kesalahan dari segi hukum tatanegara.
Pertama, Putusan MK 91 Tahun 2020 memutus bahwa Undang Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat sampai 25 November 2023 atau 2 tahun setelah putusan dibaca. “Artinya, bahkan Undang Undang itu tidak bisa dilaksanakan, tidak punya daya ikat, jadi buat apa keluarkan Perpu untuk revisi sebagian ini?” kata dia.
Sehingga, Bivitri menyebut penerbitan Perpu ini menguatkan dugaannya bahwa pemerintah memang mengabaikan putusan MK. “Serta melaksanakan terus Undang Undang Cipta Kerja itu,” ujarnya.
Kedua, Bivitri menyebut tidak ada kegentingan memaksa seperti yang ditentukan dalam Pasal 22 UUD 1945 yang mengatur soal Perpu, maupun seperti yang ditetapkan dalam Putusan MK 139 tahun 2009. “Jelas-jelas saat ini hanya sedang liburan akhir tahun dan masa reses DPR, tidak ada kegentingan memaksa yang membuat presiden berhak mengeluarkan Perpu,” kata dia.
Untuk itu, Bivitri melihat Jokowi ingin mengambil jalan pintas dengan penerbitan Perpu Cipta Kerja, “Supaya keputusan politik pro pengusaha ini cepat keluar, menghindari pembahasan politik dan kegaduhan publik. Ini langkah culas dalam demokrasi. Pemerintah benar-benar membajak demokrasi,” kata dia seperti dikutip media.
Sementara itu Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Padang Feri Amsari menilai tindakan Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpu tentang Cipta Kerja adalah inkonstitusional karena Undang Undang Cipta Kerja telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK.
Kemudian MK mengamanatkan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun hingga 25 November 2023.”Ini jelas-jelas langkah inkonstitusional yang ditempuh oleh presiden. Padahal, MK meminta perbaikan dua tahun Undang Undang tersebut,” ujar Feri seperti dikutip CNNIndonesia.com Jumat (30/12/22).
Karena penerbitan Perpu yang dianggap inkonstitusional tersebut pada akhirnya ahli hukum tata negara Refly Harun meminta kepada DPR supaya menolak Perppu tentang Cipta Kerja. Sebab, terang dia, MK mengamanatkan Undang Undang Cipta Kerja agar diperbaiki bukan dengan mengeluarkan Perppu tentang Cipta Kerja.
Secara yuridis formal, sebuah Perpu yang dikeluarkan oleh Presiden agar bisa menjadi Undang Undang memang harus mendapatkan persetujuan DPR pada masa sidang berikutnya. Dalam kaitan ini karena penerbitan Perpu dinilai melawan hukum maka sejumlah pakar hukum berharap DPR akan menolaknya.
Tetapi apakah nanti DPR akan menolak Perpu Cipta Kerja untuk disahkan menjadi Undang Undang sebagaimana harapan para pengamat hukum tata negara? Kalau melihat konstelasi politik yang ada di DPR saat ini rasanya cukup sulit untuk memenuhi harapan bahwa DPR akan menolaknya.
Karena diakui atau tidak Lembaga wakil rakyat itu saat ini sudah “Seiring sejalan dan seia sekata” dengan pemerintah yang sedang berkuasa. Nyaris tidak ada perlawanan yang berarti dilembaga perwakilan tersebut karena hampir semua partai sudah “samikna waatokna” dengan pemerintah yang berkuasa.
Sehingga kelembagaan wakil rakyat sudah mirip mirip kondisinya dengan Lembaga DPR jaman orde baru (Orba) berkuasa. Lembaga perwakilan yang hanya menjadi stempel pemerintah belaka. Sepertinya keluarnya Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja ini akan terus bergulir menambah catatan panjang tentang produk produk hukum yang dinilai kontroversial dalam proses kelahirannya.
Seperti seperti Undang Undang Mineral dan Batubara (Minerba), Undang Undang Ibukota Negara (IKN), Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja, Revisi Unang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) yang melemahkan, Revisi Undang Undang Mahkamah Konstitusi (MK), Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Pidana( KUHP), dan kebijakan-kebijakan lainnya.
Berlindung Dibalik Sehelai Daun
Terdapat sebuah peribahasa yang menggambarkan perilaku seseorang yang ingin menutupi kesalahannya dengan melakukan perbuatan yang seolah olah benar adanya. Pepatan itu terungkap dalam rangkaian kata kata: “Seperti berlindung di balik sehelai daun.”
Yang artinya keadaan dimana seseorang berusaha untuk menutupi kesalahnnya tetapi orang tersebut menutupi dengan cara yang salah, dan akhirnya orang banyak malah menjadi tahu dimana letak kesalahannya.
Pepatah diatas seperti cukup pas untuk menggambarkan langkah langkah yang ditempuh pemerintah yang telah menerbitkan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Mengapa demikian? dimana logikanya? Untuk memahami duduk persoalannya, kiranya kita perlu mengingat kebelakang tentang proses kelahiran Undang Undang Omnibuslaw Cipta Kerja.
Seperti diketahui bersama Undang Undang Cipta Kerja saat proses kelahirannya diwarnai dengan demo penentangan dimana mana. Proses pembuatan Undang Undangnya yang terkesan siluman dalam waktu yang cukup singkat pada hal pasal pasal yang harus dibahas sangat banyak jumlahnya sehingga menimbulkan rasa curiga tentang misi yang di usungnya.
Pada akhirnya beberapa elemen masyarakat mulai buruh, organisasi massa, tokoh tokoh masyarakat dan mahasiswa ramai ramai berunjuk rasa menentang Undang Undang Cipta Kerja. Menanggapi adanya penentangan tersebut Presiden Jokowi justru “lari” dengan mempersilakan pihak yang tidak setuju untuk uji materi atau judicial review ke MK.
Setelah berbagai upaya judicial review dilakukan, maka pada akhirnya MK menyatakan bahwa Undang Undang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945, dan memberikan waktu dua tahun bagi Pemerintah untuk memperbaikinya.
Lagi-lagi, untuk menjawab permasalahan ini, Pemerintah Presiden Jokowi kembali lari berlindung dengan menerbitkan Perpu atas Undang Undang inkonstitusional bersyarat tersebut, bukan memperbaiki proses pembuatan Undang Undangnya sebagaimana yang diamanatkan MK.
Tak sebatas itu, pemerintahan Jokowi juga semakin menampakkan sisi keotoriterannya. Salah satu poin yang diamanatkan MK adalah memperbaiki Undang Undang baru dengan memerhatikan meaningful participation atau secara singkat dapat diartikan dilibatkannya dan didengarkannya aspirasi masyarakat sebagai salah satu prasyaratnya.
Alih-alih melaksanakan meaningful participation, pemerintah justru membungkam aspirasi masyarakat umum seperti yang diamanatkan dengan menerbitkan Perpu yang kurang kuat alasan penerbitannya. Alasan yang digunakan untuk diterbitkannya Perpu ini pun terkesan mengada-ada.
Alasan mendesak yakni meningkatnya inflasi dan ancaman stagflasi, hingga efek perang Rusia-Ukraina serta beberapa hal lainnya menjadi alibi yang terkesan asal ada saja demi untuk memperjuangkan kepentingan investor/pengusaha.
Sungguh sangat ironis ketika MK memutuskan Undang Undang Cipta Kerja inkonstitusional, Presiden justru mengakalinya dengan menerbitkan Perpu yang tidak kuat legitimasinya. Pada hal perintah MK jelas bahwa Pemerintah harus memperbaiki Undang Undang Cipta Kerja yang cacat prosedur pembuatannya dan bukan menerbitkan Perpu dengan dalih sudah ada “kegentingan yang memaksa”.
Lagi pula Mahkamah Konstitusi dalam putusannya juga melarang Pemerintah membentuk Peraturan-peraturan turunan pelaksana dari Undang Undang Cipta Kerja yang telah dinyatakan Inkonstitusional bersyarat oleh MK. Tetapi dalam perjalanannya Pemerintah terus membentuk peraturan turunan tersebut seolah olah menganggap sepi Keputusan MK.
Tak pelak penerbitan Perpu Undang Undang Cipta Kerja menunjukkan konsistensi ugal-ugalan dalam pembuatan kebijakan demi memfasilitasi kehendak investor, pemodal atau pengusaha. Ini jelas tampak dari statemen pemerintah saat konferensi pers bahwa penerbitan Perpu ini adalah kebutuhan kepastian hukum bagi pengusaha, bukan untuk kepentingan rakyat pada umumnya.
Dengan terbitnya Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Pemerintah juga beranggapan bahwa putusan MK yang menyatakan Undang Undang Cipta Kerja (Ciptaker) inkonstitusional secara bersyarat gugur dengan sendirinya. Apakah memang benar demikian adanya? Benarkah Perpu bisa membatalkan keputusan MK?
Dalam kaitan tersebut DPR dan Presiden sebagai lembaga negara membentuk undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD I945. Apablia terdapat undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, maka dapat dilakukan pengujian ke MK.
Secara teoritis dan yuridis menurut I Dewa Gede Palguna dalam bukunya Mahkamah Konstitusi Dasar Pemikiran, kewenangan, dan perbandingan dengan negara lain (hal. 163) terdapat dua bentuk pengujian.
Yakni Pengujian formal yakni pengujian terhadap prosedur dan mekanisme pembentukan undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan Pengujian materil yakni pengujian terhadap materi muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dari suatu undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Ketika permohonan pengujian formal terhadap suatu undang-undang dikabulkan oleh MK berarti pembentukan undang-undang itu terbukti bertentangan dengan UUD 1945, maka seluruh undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (ini juga berlaku untuk Undang Undang Cipta Kerja).
Sementara itu jika suatu pengujian materil dikabulkan maka hanya materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari suatu undang-undang yang dimohonkan pengujian itu saja yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Putusan MK meskipun bersifat deklaratif namun final dan mengikat. Putusan MK yang bersifat final mengandung makna bahwa putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang lainnya.
Sifat final dalam putusan MK dalam undang-undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikatnya (final and binding). Putusan MK yang bersifat mengikat dapat diartikan bahwa putusan MK tidak hanya berlaku bagi para pihak, namun berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia (erga omnes) dan memiliki kekuatan hukum tetap.
Hal itu merupakan konsekuensi yuridis untuk menekankan bahwa putusan hakim atau pengadilan wajib ditaati oleh siapapun juga. Putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dipandang dari sudut kekuatannya memiliki kekuataan mengikat yang sama dengan undang-undang.
Oleh karena itu saat MK memutuskan Undang Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, maka MK kemudian memerintahkan kepada Pemerintah untuk memperbaiki proses pembuatan Undang Undang Cipta Kerja sesuai ketentuan yang ada.
Yaitu Undang-undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bukan dengan jalan menerbitkan Perpu yang alasannya terkesan mengada ada.
Awalnya ketika RUU Cipta Kerja sedang dibahas dan diminta oleh masyarakat agar prosesnya transparan dan partisipatif sesuai dengan prosedur pembuatan suatu Undang Undang, tidak terlalu ditanggapi bahkan Presiden meminta masyarakat mengajukan gugatan ke MK.
Tetapi setelah MK dalam keputusannya menyatakan Undang Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan minta supaya Pembuat Undang Undang memperbaiki proses pembuatannya selama dua tahun, tapi malah Perpu yang di terbitkannya.
Langkah-langkah Pemerintah yang terkesan berusaha untuk menghindar dari perintah Undang Undang dan Keputusan MK tersebut tak ubahnya bagaikan bunyi kata pepatah, Seperti berlindung di balik sehelai daun.
Yang artinya keadaan dimana seseorang berusaha untuk menutupi kesalahnnya tetapi orang tersebut menutupi dengan cara yang salah, dan akhirnya orang banyak malah menjadi tahu dimana letak kesalahannya.
Masih mending kalau daun yang digunakan untuk berlindung itu berdiameter lebar seperti daun pisang misalnya sehingga bisa digunakan untuk berlindung menutupi sosok yang ingin menyelinap dibaliknya.
Tapi kalau kemudian daun yang digunakan itu cuma selebar daun kelor maka menjadi tidak berguna karenanya dan bahkan bisa menjadi bahan tertawaan orang yang melihatnya.
Aji Mumpung
Perpu merupakan salah satu jenis dari Peraturan Pemerintah (PP). Jenis PP yang pertama adalah untuk melaksanakan Perintah Undang Undang. Jenis PP yang kedua yakni PP sebagai pengganti Undang Undang yang dibentuk dalam hal ihwal Kegentingan yang Memaksa.
Perpu merupakan jenis perundang-undangan yang disebutkan dalam UUD NRI Tahun 1945, yakni dalam Pasal 22. Pasal 22 UUD 1945 menyebutkan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Perpu.
Pasal 1 angka 4 Undang Undang No.12 Tahun 2011 memuat ketentuan umum yang memberikan definisi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Pasal 1 angka 3 Perpres 87 Tahun 2014 juga tidak memberikan batasan pengertian pada Perpu melainkan menyebutkan definisi yang sama sebagaimana tercantum dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 dan UUD 1945.
Dengan demikian Perpu sebenarnya merupakan suatu Peraturan Pemerintah yang bertindak sebagai suatu Undang-Undang atau dengan perkataan lain Perpu adalah Peraturan Pemerintah yang diberi kewenangan sama dengan Undang-Undang.
Kewenangan pembentukan Perpu menurut UUD 1945 hanya diberikan kepada Presiden, termasuk kewenangan untuk menetapkan terjadinya hal keadaan darurat negara.
Karena itu, kewenangan tersebut bersifat subjektif artinya hak untuk menetapkan Perpu didasarkan atas penilaian subjektif dari Presiden sendiri mengenai adanya keadaan darurat negara (state of emergency) yang menimbulkan kegentingan yang memaksa.
Dalam prakteknya kewenangan Presiden untuk mengeluarkan Perpu tersebut dipergunakan terlalu luas dalam menafsirkan hal ihwal Kegentingan yang Memaksa karena murni hanya bersandar pada subyektivitas Presiden semata. Sehingga Presiden memang bisa sangat longgar menafsirkan kondisi “Kegentingan Yang Memaksa”.
Hal tersebut bisa terjadi karena hingga saat ini, baik di Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No.12 Tahun 2011).
Maupun Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Perpres No.87 Tahun 2014), yang menyebutkan tentang kewenangan Presiden menetapkan Perpu yang didasarkan pada hal ihwal Kegentingan yang Memaksa, tidak memuat parameter yang jelas mengenai indikator Kegentingan yang Memaksa tersebut.
Belum adanya satupun peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit mengatur kriteria Kegentingan yang Memaksa yang menjadi dasar baik bagi Presiden menetapkan Perpu maupun bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menerima/menolak pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang penetapan Perpu, berdampak pada rentannya Presiden dan DPR memanfaatkan Perpu sebagai alat kepentingan politik semata.
Dominasi kepentingan politik terhadap kepentingan publik akan membawa negara pada kekuasaan absolut (tirani) yang menjurus kepada penindasan. Penindasan yang berlebihan terhadap hak dan kebebasan masyarakat berarti kekuasaan telah terbentuk dalam pola despotism.
(bentuk pemerintahan dengan satu penguasa, baik individual maupun oligarki, yang berkuasa dengan kekuatan politik absolut), yang pada akhirnya bisa berakibat perpecahan dan tindakan brutal masyarakat atau anarkisme sosial oleh akibat kesewenang-wenangan penguasa.
Meskipun kewenangan presiden dalam pembentukan Perpu dapat dikatakan merupakan hak subyektif presiden namun semestinya harus tetap bersandar pada keadaan obyektif Kegentingan yang Memaksa.
Pemenuhan keadaan Kegentingan yang Memaksa ini yang seringkali dikesampingkan, bahkan cenderung tidak menjadi prasyarat dalam pembentukan Perpu termasuk dalam kasus Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Karena itu Pembentukan Perpu yang merupakan hak subyektif presiden ini ke depan harus diatur penggunaaannya dalam suatu peraturan perundang-undangan agar negara ini tidak menjadi negara penguasa melainkan negara hukum sebagaimana mestinya.
Agar siapapun yang berkuasa tidak aji mumpung menafsirkan “Kegentingan Yang Memaksa” dengan semau maunya saja. Jangan sampai terus terjadi dimana setiap rezim yang berkuasa seolah berlomba membentuk perpu sebagai langkah cepat mengatasi problem kenegaraan yang secara subyektif dibilang dalam kondisi “genting dan memaksa”.
Padahal, jika merujuk pada pandangan teoritik, harusnya tidak boleh terjadi tindakan mengobral Perpu untuk tujuan tertentu apalagi sekadar demi kepentingan penguasa atau pengusaha yang di belanya.
Dalam kaitannya dengan keluarnya Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja maka tidak ada salahnya kalau Pemerintah menarik kembali Perpu ini kemudian mengembalikan semua proses pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan Prinsip Konstitusi, Negara Hukum yang demokratis, dan Hak Asasi Manusia.
Yaitu dengan melaksanakan putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 dengan melakukan perbaikan UU Cipta Kerja dengan syarat-syarat yang diperintahkan MK. Kalaupun terpaksa Presiden harus mengeluarkan Perpu maka Perpu yang dikeluarkan adalah Perpu berkaitan dengan pembatalan Undang Undang Cipta Kerja yang dinilai cacat dalam proses pembuatannya oleh MK.
Kini pilihannya nampaknya hanya ada dua Pemerintah taat pada keputusan MK yang berarti mentaati konstitusi negara atau tetap mengambil jalannya sendiri sesuai dengan bersandar pada “kebenaran” yang diyakininya. Jika pilihan pertama yang di ambilnya maka masih terbuka harapan untuk adanya perbaikan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jika pilihan kedua yang dipilih maka berarti pemerntah yang berkuasa saat ini memang sudah bertekad untuk mengarahkan perjalannya menuju pola pemerintahan despotism yang bisa menyulut perpecahan dan kegaduhan sosial akibat kesewenang-wenangannya. Bagaimana menurut Anda?
*) Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Gerindra
sumber: WAGroup INDONESIA ADIL MAKMUR (postSenin2/1/2022/)