Buku ke-20 Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) akan diluncurkan 10 September 2021 dengan judul Hadapi dengan Senyuman merupakan isi sikap optimisme dan keyakinan bahwa Badai Covid-19 Akan Berlalu.
semarak.co-Melalui buku ini, MPR RI juga mencatat berbagai kerusakan sebagai konsekuensi dari pendemi Covid-19 yang melanda dunia ini. Ada ancaman lain di tengah-tengah merosotnya ekonomi rakyat, yakni radikalisme, anarkisme, rasialisme, sparatisme, intoleran dan adu domba antar anak bangsa.
Sehingga diperlukan penguatan kebangsaan guna menjaga kebhinekaan dan sikap kenegarawanan yang otentik. Sehingga gerakan masif yang harus dilakukan semua elemen bangsa adalah, selain vaksinasi kesehatan juga vaksinasi ideologi.
Buku seri tulisan pandemi ini sempat tertunda dan baru mulai naik cetak setelah kita bersama berhasil melalui puncak penularan Covid-19 pada gelombang dua. Keberadaan PPHN akan menggambarkan capaian besar yang ingin diraih Indonesia dalam 50 sampai 100 tahun ke depan.
Presiden, gubernur, bupati/wali kota terpilih bertugas menjabarkan teknis cara pencapaian arah besar Indonesia yang terangkum dalam PPHN. Dengan demikian, visi misi calon presiden, gubernur, dan bupati/wali kota akan merujuk kepada PPHN sebagai visi misi negara.
Tidak ada lagi proyek mangkrak, atau proyek pembangunan yang dikerjakan serampangan. Seperti yang beberapa hari ini dikeluhkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), banyak program pemerintah daerah yang tidak sinkron dengan program pemerintah pusat.
“Misalnya, ada pembangunan waduk, tetapi tidak ada irigasinya. Ada pelabuhan, tetapi tidak ada akses jalan,” tulis Bamsoet dalam rilis yang dilansir melalui WAGroup Alumni HMI, Minggu (5/9/2021).
Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia 2021-2022 dan Rektor IPB University Prof Dr Arif Satria memberi testimoni atas buku ke-20 Bamsoet. Sekali lagi, tulis Arif, kita ingin Indonesia menjadi bangsa besar dengan visi besar.
Apa visi kita tahun 2045? Berbagai skenario telat dibuat dan menjadikan Indonesia sebagai negara adidaya tahun 2045, persis 100 tahun Indonesia merdeka. Banyak yang pesimis terhadap visi ini. Namun untuk menjadi bangsa besar yang pertama kali harus dibangun adalah optimisme dan kepercayaan diri.
“Korea selatan bisa hadir sebagai negara maju saat ini karena yang dibangun adalah kepercayaan diri masyarakat desa. Saat itu Park Chung Hee yang berkuasa di era 1960 an, saat Indonesia dan Korea Selatan setara secara ekonomi,” tulis Arif seperti dikutip dalam rilis yang beredar ini.
Oleh karena itu, lanjut Arif, visi besar tersebut harus menjadi visi bangsa Indonesia secara keseluruhan, bukan hanya visi pemerintah yang sedang berkuasa. Dinamika politik pasti terjadi, namun jangan sampai mengganggu konstruksi visi besar bangsa Indonesia.
Oleh karena itu ketika visi besar telah ada, maka tugas berikutnya adalah memastikan langkah-langkah perencanaan dan pelaksanaan pembangunan efektif untuk mewujudkan visi tersebut. Di sinilah kita perlukan suatu sistem yang bisa menjamin itu semua: matang, terukur, dan berkesinambungan.
“Di sinilah tantangannya, yaitu bagaimana proses rekonstruksi prinsip kesinambungan perencanaan pembangunan harus dilakukan baik secara teknokratik maupun politik,” terang Arif lagi.
Karena itu, sambung dia, kini waktu yang amat tepat bagi Bambang Soesatyo ketua MPR RI untuk kembali hadir dengan buku barunya yang berjudul Negara Butuh Haluan, sebagai lanjutan atas buku sebelumnya yang berjudul Cegah Negara Tanpa Arah. Dua buku tersebut sekaligus sebagai pemantik baru diskursus urgensi haluan negara.
“Tentu upaya mas Bambang ini harus kita apresiasi. Namun saya lebih mengapresiasi langkah Mas Bambang bila munculnya buku ini tidak sekedar untuk memantik atau meramaikan diskursus lagi,” imbuh Arif.
Akan tetapi lebih dari itu, yaitu sebagai modal untuk memulai langkah politik menyelamatkan masa depan bangsa dengan Pokok-Pokok Haluan Negara, yang mampu menjadi menjamin produk perencanaan pembangunan nasional yang matang, terukur, dan berkesinambungan.
Ada juga testimoni dari Guru Besar Ekonomi Politik IPB Prof Didin Damanhuri. Sudah saatnya Indonesia memilih Mazhab Pemikiran Ekonomi berbasis Konstitusi. Sebab, kata Didin, kelemahan kita sekarang ini adalah berjalan tanpa arah yang jelas dan hanya mengandalkan RPJMN yang dikembangkan dari Visi dan Misi Presiden Terpilih.
Sehingga tingkat comprehensiveness, partisipasi stakeholder dan legitimasi mandat rakyat terhadap platform pembangunan menjadi rendah. Dengan begitu, apabila terjadi penyimpangan dari Presiden terhadap RPJMN tidak jelas pertanggungjawabannya.
Oleh karena itu, Model GBHN seperti masa lalu akan jauh lebih mendalam content-nya, jauh lebih luas partisipasi para elite strategis-nya serta jauh lebih legitimate mandat rakyat-nya terhadap platform pembangunan.
Oleh karena itu, dengan model GBHN tersebut, pertanggungjawaban Presiden baik terhadap ketaatan terhadap Konstitusi-UUD45 maupun terhadap aspirasi rakyat, akan jauh lebih.
Rencana akan adanya PPHN (Pokok Pokok Haluan Negara) seperti yang dilontarkan Ketua MPR Bambang Soesatyo adalah kemajuan dibandingkan dengan berdasakan RPJMN yang hanya berbasis kepada Visi Presiden terpilih.
Seperti diketahui, buku karya Bambang Soesatyo berjudul: Negara Butuh Haluan ini merupakan lanjutan buku sebelumnya pada Mei 2021 berjudul: Cegah Negara Tanpa Arah, merupakan advokasi substansial tentang butuhnya Haluan Jangka Panjang Pembangunan sebagai konsekuensi dari pasal 33 UUD’45 ayat 1 yang berbunyi: Peerekonomian disusun. Jadi, bukan diserahkan semata kepada Pasar Bebas! (smr)