Sebut Langkah Forum Purnawirawan TNI Usulkan Pemakzulan Gibran Sah dan Elegan, Ini Analisis Hukum Prof Mahfud

Prof Mahfud MD saat wawancara cegat. Foto: internet

Isu pemakzulan Wakil Presiden (Wapres) Gibran terus mengemuka setelah tuntutan resmi dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI menarik perhatian publik dan memicu diskusi mendalam di ranah hukum tata negara. Guru Besar Hukum Tata Negara Prof Mahfud MD pun ikut memberikan pandangannya terkait kekuatan argumentasi hukumnya.

Semarak.co-Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Pohulkam) Prof Mahfud MD menyampaikan soal kekuatan argumentasi hukumnya melalui kanal YouTube @Mahfud MD Official di program podcast atau sinier Terus Terang yang dipandu Host Rizal Mustari.

Bacaan Lainnya

Prof Mahfud menilai, Forum Purnawirawan Prajurit TNI punya argumen hukum yang kuat saat menyurati DPR RI dan MPR RI untuk memproses pemakzulan Wapres Gibran. Ada 5 alasan konstitusional pemakzulan, yakni empat pelanggaran hukum dan satu kategori perbuatan tercela.

“Ditambah satu alasan keadaan tertentu yang menyebabkan pejabat tak lagi memenuhi syarat jabatan. Menurut saya argumentasi hukumnya kuat, ya, karena apa? Karena untuk kalau, istilah konstitusi itu ya Pasal 7A, hasil amendemen Presiden dan atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya apabila diduga terlibat 5 hal,” ujar Prof Mahfud sambil merinci.

“Apa saja itu? Satu, melakukan pengkhianatan terhadap negara; kedua, terlibat korupsi; penyuapan; kemudian kejahatan berat. Kejahatan berat itu biasanya disamakan dengan kejahatan yang diancam dengan 5 tahun penjara ke atas. Lalu, perbuatan tercela, dan satu lagi soal keadaan.”

Menurut dia, kategori perbuatan tercela bersifat fleksibel dan sangat dipengaruhi oleh penilaian politik serta konteks sosial. Ia mencontohkan kasus pemakzulan Perdana Menteri Thailand yang dianggap mencederai martabat jabatan hanya karena mengikuti lomba masak.

“Perbuatan tercela itu ya sesuatu yang dapat merendahkan martabat, perilaku. Kepala pemerintahan di Thailand dulu dipecat karena dianggap tercela hanya karena ikut lomba masak dan menang. Padahal dia baru menang pemilu,” ungkap Mahfud dilansir kompas.com melalui laman berita msn.com, Rabu (11/6/2025).

Alasan keadaan dalam Pasal 7A bisa mencakup kondisi seperti kehilangan kewarganegaraan, sakit permanen, atau menyatakan mengundurkan diri. Misalnya tidak memenuhi syarat lagi sebagai presiden atau wakil presiden, apa misalnya? Sakit permanen yang disampaikan dokter, atau kehilangan kewarganegaraan, atau malah minta berhenti,” imbuh dia.

Meski dasar hukumnya kuat, Mahfud mengingatkan bahwa proses pemakzulan tetap akan bergantung pada dinamika politik di parlemen karena hukum, pada akhirnya, adalah produk politik.

“Secara hukum memang ada alasan, tapi dipersulit karena ada syarat-syarat yang berat. Tapi karena hukum adalah produk politik, yang sulit itu pun kalau situasi politik berubah bisa jadi mudah melakukannya,” katanya.

Dilaporkan bahwa pihak kompas.com sudah mendapatkan persetujuan dari Rizal untuk mengutip perbincangan dari podcast Terus Terang Mahfud MD yang berjudul “Bisakah Wapres Jatuh di Tengah Jalan? Bisa!”

Diberitakan sebelumnya, Forum Purnawirawan Prajurit TNI telah mengirim surat berisi desakan pemakzulan Gibran kepada pimpinan DPR, MPR, dan DPD RI. Di surat bertanggal 26 Mei 2025, terdapat tanda tangan 4 purnawirawan jenderal TNI, yakni Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan.

Selanjutnya Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto dan Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto. Lewat surat itu, Forum Purnawirawan Prajurit TNI menyorot bahwa Gibran memperoleh tiket pencalonan melalui putusan MK yang cacat hukum, yaitu Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Mereka menilai putusan itu melanggar prinsip imparsialitas karena diputus oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) saat itu, yakni Anwar Usman yang merupakan pamannya Gibran. Selain aspek hukum, Forum Purnawirawan Prajurit TNI juga menilai Gibran tidak pantas menjabat sebagai Wapres dari sisi kepatutan dan etika.

“Dengan kapasitas dan pengalaman yang sangat minim, hanya dua tahun menjabat Wali Kota Solo, serta latar belakang pendidikan yang diragukan, sangat naif bagi negara ini memiliki Wakil Presiden yang tidak patut dan tidak pantas,” seperti dikutip dari surat tersebut.

Kekuatan Argumentasi Hukum Forum Purnawirawan TNI

Menurut Mahfud MD, argumentasi hukum yang disampaikan Forum Purnawirawan Prajurit TNI tergolong kuat. Dasar hukumnya merujuk pada Pasal 7A UUD 1945 hasil amandemen, yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya apabila diduga terlibat dalam lima hal pelanggaran hukum, satu perbuatan tercela, atau satu kondisi tertentu.

Pelanggaran hukum yang dimaksud meliputi:

*) Pengkhianatan terhadap negara (Pancasila, NKRI).

*) Korupsi.

*) Penyuapan.

*) Tindak kejahatan berat (biasanya diancam hukuman 5 tahun ke atas).

*) Perbuatan tercela, yaitu perilaku yang dapat merendahkan martabat jabatan.

Mahfud MD mencontohkan kasus kepala pemerintahan di Thailand yang dipecat karena ikut lomba masak dan menang, dianggap sebagai perbuatan tercela. Keadaan yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden atau Wakil Presiden, seperti sakit permanen atau kehilangan kewarganegaraan.

Mahfud MD menekankan bahwa dugaan korupsi yang melibatkan keluarga dan pelanggaran etika yang telah dibuktikan oleh keputusan MKMK (terkait proses penetapan calon presiden dan wakil presiden sebelumnya) dapat menjadi alasan kuat.

Selain itu, isu yang disebut Fufu Fafa jika terbukti benar dan menyangkut Gibran Rakabuming Raka, juga bisa menjadi dasar pemakzulan. Meski argumentasi hukumnya kuat, Mahfud MD menjelaskan, prosedur pemakzulan sangatlah sulit dan berliku karena melibatkan banyak tahapan politik. Prosesnya meliputi:

*) Verifikasi Internal DPR: Surat tuntutan akan diproses di internal DPR, kemungkinan dibahas di komisi atau badan tertentu, dan setiap fraksi akan menanggapi.

*) Sidang Paripurna DPR: Jika memenuhi syarat, sidang paripurna DPR harus dihadiri minimal 2/3 anggota dan disetujui oleh 2/3 dari yang hadir untuk meneruskan proses ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mahfud MD menyoroti bahwa komposisi koalisi di parlemen saat ini dapat menjadi hambatan signifikan untuk mencapai kuorum dan persetujuan tersebut.

*) Proses di Mahkamah Konstitusi (MK): MK memiliki waktu maksimal 3 bulan untuk menilai pendakwaan (impeachment) tersebut.

*) Kembali ke DPR: Jika MK menyatakan pendakwaan benar, hasilnya dikembalikan ke DPR untuk disidangkan kembali, apakah akan diteruskan ke MPR atau tidak.

*) Proses di MPR: Jika disetujui DPR, MPR akan bersidang dengan kehadiran 3/4 anggota dan harus disetujui oleh 2/3 dari 3/4 yang hadir.

Mahfud MD menegaskan bahwa kerumitan prosedur ini dirancang untuk mempersulit upaya menjatuhkan Presiden dan/atau Wakil Presiden, berbeda dengan era sebelumnya yang cenderung lebih mudah.

Peran Politik dalam Proses Hukum

Meskipun konstitusi telah mengatur prosedur yang sulit, Mahfud MD mengingatkan bahwa hukum adalah produk politik. Konfigurasi politik dapat mengubah yang sulit menjadi mudah, sebagaimana banyak contoh dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia.

Ia mencontohkan Petisi 50 di era Orde Baru, di mana sekelompok purnawirawan dan tokoh masyarakat berhasil menyuarakan aspirasi mereka meskipun rezim saat itu sangat otoriter. Demokrasi saat ini, dengan adanya media sosial dan kebebasan berekspresi, memungkinkan dukungan masyarakat menguat dan berpotensi mengubah konfigurasi politik.

Prof Mahfud MD juga membandingkan dengan kasus pemakzulan Presiden Soeharto dan Gus Dur yang tidak selalu mengikuti mekanisme resmi yang berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa dinamika politik seringkali melampaui formalitas hukum.

Mekanisme Penggantian Wakil Presiden

Jika pemakzulan Wakil Presiden terjadi, konstitusi telah mengatur mekanismenya. Pasal 8 UUD 1945 menyatakan bahwa jika Presiden berhalangan tetap, diberhentikan, atau dimakzulkan, maka MPR akan memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan oleh Presiden.

Dua nama calon tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan Presiden, meskipun nantinya akan menjadi hasil kompromi politik. Prof Mahfud MD memprediksi, jika terjadi pergantian, calon wakil presiden bisa berasal dari koalisi pendukung Presiden.

(misalnya Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY yang dianggap memenuhi syarat dan memiliki track record baik) atau dari luar koalisi untuk membangun keseimbangan politik (misalnya Puan Maharani atau Ganjar Pranowo dari PDIP, sebagai partai terbesar).

Saat ini, setelah surat resmi diajukan, bola ada di tangan DPR. DPR akan merespons dengan melakukan kajian internal, mungkin melibatkan usulan dari anggota dewan, dan akan memanggil pengusul untuk menjelaskan bukti-bukti tuntutan mereka.

Seluruh proses ini akan sangat bergantung pada konfigurasi politik di parlemen dan dukungan publik. Bahkan langkah Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengirimkan surat resmi ke DPR dan lainnya untuk mengusulkan pemakzulan Wapres Gibran merupakan tindakan yang sah secara konstitusional

“Dan mencerminkan etika berdemokrasi yang elegan. Menurut saya benar, dan itu lebih elegan ya karena dilakukan tidak secara sembunyi-sembunyi dengan kasak-kusuk yang tidak sehat, tapi dinyatakan secara resmi,” ujar Mahfud masih dalam podcast di kanal YouTube @Mahfud MD Official, dikutip Rabu (11/6/2025).

Ia megingatkan, para purnawirawan TNI yang tergabung dalam forum tersebut tetap memiliki hak politik sebagai warga negara, termasuk menyampaikan aspirasi terkait jalannya pemerintahan. Menurut Mahfud, para pensiunan TNI itu tidak harus selalu sejalan dengan institusi militer tempat mereka pernah bertugas.

“Mereka memang purnawirawan TNI, mereka memang anggota forum angkatan atau mantra di TNI, tetapi mereka tidak harus sama dengan induknya dalam menggunakan hak politik ini,” ujar mantan ketua MK yang dilansir kabargarut melalui laman berita msn.com, Rabu (11/6/2025).

Dalam urusan politik, purnawirawan bisa bersikap mandiri dan bertindak berdasarkan penilaian mereka sendiri terhadap kondisi negara. “Mungkin dalam hal-hal yang sifatnya umum atau dalam hal-hal tertentu mereka bisa sama, tetapi kalau menyangkut hal politik, mereka bisa berbuat sendiri. Dan itu sah,” katanya.

Ia juga mengapresiasi cara penyampaian aspirasi yang dianggap lebih sehat dan terbuka ketimbang lewat cara-cara provokatif di media sosial. “Daripada bikin semacam video atau TikTok atau apapun yang tidak jelas sumbernya, provokatif, lebih baik begini, masuk dan itu harus direspons secara positif,” pujinya.

Menurut Mahfud, sikap Forum Purnawirawan tersebut mencerminkan prinsip negara demokrasi yang memberikan ruang kebebasan kepada rakyat untuk mengajukan kritik, aspirasi, bahkan usulan terhadap perubahan jabatan publik.

“Justru kita menegaskan bahwa negara kita negara demokrasi, artinya memberi kesempatan kepada siapapun untuk mengajukan aspirasinya, untuk merebut jabatan-jabatan publik, untuk mengkritik dan memberi arah terhadap jalannya pemerintahan, itu dibuka di dalam demokrasi,” imbuhnya. (net/msn/kpc/gar/smr)

Pos terkait