Putaran kedua Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif Perancis, Minggu (7/7/2024) mengeluarkan hasil mengejutkan dan belum pernah terjadi sebelumnya. Di mana aliansi sayap kiri merebut perolehan kursi terbesar di parlemen, menggeser kubu sayap kanan yang diprediksi akan meraup suara terbanyak.
semarak.co-Namun, kemenangan sayap kiri gagal memperoleh kursi mayoritas di Majelis Konstituante Nasional Perancis atau Majelis Nasional. Kondisi tersebut mengantarkan Perancis dalam ketidakpastian politik yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Dilansir dari Sky News, Senin (8/8/2024), aliansi sayap kiri, Front Rakyat Baru atau Nouveau Front Populaire (NFP) mengamankan jumlah kursi terbanyak dalam parlemen. Hasil perhitungan sementara hingga Senin pagi menunjukkan, NPF diperkirakan meraup 177-198 kursi di Majelis Nasional.
Meski mendulang kursi terbanyak, kubu politik ini gagal meraih minimal 289 kursi dari total 577 kursi di Majelis Nasional untuk menjadi kekuatan mayoritas. Sementara itu, aliansi tengah atau sentris, termasuk partai Presiden Perancis Emmanuel Macron diperkirakan menduduki urutan kedua dengan 152-169 kursi.
Hasil tersebut menjadi pukulan telak bagi aliansi sayap kanan, Reli Nasional (Rassemblement National/RN), yang memenangi putaran pertama pemilu pada 30 Juni lalu. Menurut beberapa lembaga survei, RN diperkirakan berada di posisi ketiga dengan perolehan 135-145 kursi.
Sayap kanan yang diproyeksikan memenangkan pemungutan suara, akhirnya gagal usai sayap kiri dan aliansi sentris bekerja sama antara putaran pertama dan kedua pemungutan suara. Kerja sama dua kubu politik di Perancis ini bertujuan untuk memecah suara RN atau sayap kanan.
Sayangnya, hasil perkiraan menandakan tidak ada satu pun dari ketiga blok yang dapat membentuk pemerintahan mayoritas. Artinya, mereka juga akan membutuhkan dukungan dari pihak lain untuk meloloskan sebuah undang-undang di Majelis Nasional.
Kemungkinan pembentukan koalisi pemerintahan yang condong ke sayap kiri masih jauh dari kepastian. Dalam sejarahnya, Perancis tidak terbiasa dengan pembentukan koalisi pascapemilu yang sebenarnya umum di negara demokrasi parlementer Eropa utara, seperti Jerman dan Belanda.
Saat ini, Perancis mengimplementasikan Republik Kelima, konstitusi republik terbaru yang diperkenalkan pada 5 Oktober 1958. Republik Kelima dirancang oleh pahlawan perang dan mantan Presiden Perancis Charles de Gaulle untuk memberikan mayoritas parlemen yang besar dan stabil kepada presiden.
Konstitusi ini juga telah menciptakan budaya politik konfrontatif tanpa tradisi konsensus dan kompromi. Pendiri partai sayap kiri garis keras La France Insoumise (LFI), Jean-Luc Melenchon, mengesampingkan koalisi besar partai-partai dengan berbagai aliran.
Macron memiliki kewajiban untuk menyerukan aliansi sayap kiri agar berkuasa dan membentuk pemerintahan Perancis. Di kubu sentris, politikus dan Menteri Luar Negeri Stephane Sejourne dari Partai Renaissance pimpinan Macron mengeklaim siap bekerja sama dengan partai-partai arus utama.
Kendati demikian, pihaknya mengesampingkan kesepakatan apa pun dengan LFI pimpinan Melenchon. Eks Perdana Menteri Edouard Philippe dengan partai haluan kanan tengah juga mengesampingkan kesepakatan apa pun dengan partai sayap kiri garis keras.
Presiden Macron sendiri mengatakan akan menunggu majelis baru menemukan struktur untuk memutuskan langkah selanjutnya. Dikutip dari The Guardian, Senin, aliansi sayap kiri NFP terdiri dari kaum sosialis, ekologis, komunis, dan penganut kiri garis keras.
Partai terbesar adalah France Unbowed atau LFI pimpinan Jean-Luc Melenchon, disusul Partai Sosialis (PS), Partai Hijau/Ekologis Perancis (LE-EELV), dan Partai Komunis Perancis (PCF). Sebelumnya, mereka saling mengkritik serta memiliki banyak perbedaan dalam ideologi dan pendekatan.
Namun, mereka memutuskan untuk membentuk blok guna menyingkirkan kelompok sayap kanan dari pemerintahan. NPF pun telah berjanji akan membatalkan reformasi pensiun dan imigrasi yang disahkan pemerintah saat ini.
Kubu ini juga berjanji mendirikan badan penyelamatan bagi migran tidak berdokumen, memfasilitasi aplikasi visa serta ingin menaikkan upah minimum. Jika tidak ada kesepakatan, konstitusi menyatakan bahwa Presiden Macron tidak dapat mengadakan pemilihan parlemen baru selama dua belas bulan ke depan.
Dilansir dari Politico, Senin, seperti dikutip kompas.com di msn.com, Selasa (9/7/2024), Perdana Menteri Perancis Gabriel Attal telah mengajukan pengunduran diri pada Senin pagi. Namun, politikus dari Partai Renaissance ini mengaku bersedia bertindak sebagai pejabat sementara sampai penggantinya terpilih.
Konstitusi Perancis menyatakan, presiden memutuskan siapa yang akan diminta untuk membentuk pemerintahan. Kendati demikian, siapa pun yang dipilih akan menghadapi mosi tidak percaya di Majelis Nasional yang akan bersidang selama 15 hari, mulai 18 Juli 2024.
Hal tersebut menunjukkan bahwa Macron perlu menunjuk seseorang yang dapat diterima oleh mayoritas anggota parlemen. Macron kemungkinan berharap memisahkan kaum sosialis dan ekologis dari aliansi kiri, mengisolasi LFI, untuk membentuk koalisi kiri-tengah dengan bloknya sendiri.
Namun, sekali lagi, tidak ada tanda-tanda perpecahan aliansi sayap kiri NFP dalam waktu dekat. Kemungkinan lainnya adalah pemerintahan teknokrasi yang akan mengelola urusan sehari-hari, tetapi tidak mengawasi perubahan struktural.
Di bagian lain diberitakan bahwa kemenangan partai politik sayap kanan pada putaran pertama pemilu Prancis berhasil diadang koalisi sayap kiri dalam pemilihan tahap dua pada Ahad. Pengakuan atas kedaulatan Palestina jadi salah satu janji pertama yang diucapkan politikus sayap kiri.
Tidak ada partai yang memenangkan mayoritas dalam putaran kedua pemilihan parlemen Prancis pada Ahad, di mana seluruh 577 kursi Majelis Nasional diperebutkan. Menurut media Paancis Le Monde, aliansi sayap kiri Front Populer Baru memenangkan 182 kursi.
Sementara Ensemble yang berhaluan tengah yang didukung Presiden Emmanuel Macron, memenangkan 168 kursi. “Kami akan memiliki perdana menteri dari Front Populer Baru,” cetus Jean-Luc Mélenchon, pemimpin sayap kiri Prancis, memposting di X pada Ahad malam.
“Kami akan dapat memutuskan banyak hal melalui keputusan. Di tingkat internasional, kita harus setuju untuk mengakui Negara Palestina,” demikian Jean Luc seperti republika.co.id dilansir msn.com, Selasa (9/7/2024).
Partai sayap kanan National Rally yang dipimpin Marine Le Pen memenangkan 143 kursi. Ini sebuah hasil yang mengecewakan bagi partai tersebut setelah memimpin putaran pertama pemungutan suara seminggu lalu dan tampaknya berada dalam jarak yang sangat dekat untuk mendapatkan mayoritas.
Sebaliknya, kandidat pertengahan dan sayap kiri bekerja sama untuk mengalahkan koalisi sayap kanan, National Rally, dengan mengeluarkan kandidat mereka dari pencalonan di mana partai lain memiliki peluang lebih besar untuk menang.
Media Yahudi Forward melansir, kelompok sayap kanan sedianya musuh lama Yahudi Prancis. Pendiri National Rally, termasuk ayah Le Pen, Jean-Marie Le Pen telah berulang kali dihukum karena ujaran kebencian dan penyangkalan Holocaust.
Sedangkan Pierre Bousequet yang bertugas di Waffen-SS Partai Nazi serta kandidat dalam pemilu ini juga dituduh antisemitisme. Namun, di tengah sorotan terhadap genosida Israel di Jalur Gaza, Yahudi Prancis justru mendukung sayap kanan karena kelompok kiri di negara itu saat ini yang paling kritis terhadap negara Israel.
Patut dicatat bahwa tudingan antisemitisme di Eropa tak hanya soal rasisme terhadap etnis Yahudi. Kerap kali, kritik terhadap negara Israel juga dimasukkan dalam antisemitisme. Ilmuwan politik Jean-Yves Camus mengatakan sebelum pemungutan suara bahwa ia merasa terjebak kelompok sayap kiri.
“Terutama ketika kaum Sosialis yang lebih moderat berkoalisi dengan partai Mélenchon. Kami cukup marah dan kecewa. Sebagai orang Yahudi, kami merasa dikhianati dan kami pikir akan lebih baik jika Partai Sosialis tidak menjalin aliansi dengan kelompok sayap kiri seperti ini,” tutur Camus.
Banyak orang Yahudi Perancis mengatakan bahwa retorika pro-Palestina dari sayap kiri telah membuka pintu bagi antisemitisme. Menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh Komite Yahudi Amerika (AJC) di Eropa, 92% orang Yahudi Prancis percaya bahwa kelompok kiri France Unbowed telah berkontribusi terhadap meningkatnya antisemitisme.
Kini, kebuntuan tampaknya terjadi di masa depan Prancis. Setelah pencalonan, Perdana Menteri Gabriel Attal yang berhaluan tengah dan memiliki akar Yahudi, mengatakan dia berencana untuk mundur.
Komunitas Yahudi yang berjumlah 500 ribu jiwa di negara tersebut telah terguncang sejak serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober dan kampanye militer Israel berikutnya di Gaza, yang telah menghancurkan sebagian besar wilayah kantong tersebut.
Prancis juga mengalami lonjakan antisemitisme sejak 7 Oktober. Kejutan bagi sebagian orang Yahudi Perancis terjadi segera setelah kejadian 7 Oktober, ketika beberapa politisi sayap kiri menolak untuk secara eksplisit mengutuk serangan Hamas terhadap Israel.
Le Pen, sementara itu berupaya mengubah citra partainya, meninggalkan antisemitisme, mengecam serangan Hamas, dan mendorong posisi pro-Israel. Partai tersebut sekarang menekankan sikap anti-imigrasi dan Eurosceptic.
CRIF, sebuah organisasi payung Yahudi Perancis, telah mendesak komunitas tersebut untuk menolak kelompok sayap kanan dan sayap kiri. Namun menjelang pemungutan suara hari Minggu, ketika dihadapkan dengan kebangkitan France Unbowed, beberapa suara terkemuka Yahudi menyerukan masyarakat untuk memilih partai Le Pen.
Salah satu ekspresi dukungan yang mencolok terhadap National Rally datang dari Serge Klarsfeld, seorang penyintas Holocaust Perancis yang terkenal karena memburu penjahat Nazi dan mendesak agar mereka diadili.
“Nasional Rally mendukung orang Yahudi, mendukung negara Israel,” kata Klarsfeld, 88 tahun, dalam wawancara yang disiarkan televisi secara nasional bulan lalu. “Ketika ada partai anti-Yahudi dan partai pro-Yahudi, saya akan memilih partai pro-Yahudi.”
Alain Finkielkraut, seorang filsuf terkemuka Perancis, juga mengatakan di majalah Le Point bahwa dia akan “mempertimbangkan mimpi buruk karena harus memilih National Rally untuk memblokir antisemitisme.” Sementara itu, sekelompok pemimpin komunitas Yahudi Prancis bertemu dengan Le Pen pada Senin. (net/kpc/rep/smr)